SUARA PEMBARUAN DAILY, 29 Januari 2007
PGI Minta Pemerintah Selesaikan Kasus Poso Tanpa Kekerasan
[MANADO] Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) meminta pemerintah
menyelesaikan kasus Poso tanpa kekerasan dan diungkap sampai ke akar-akarnya.
Hal itu ditegaskan Ketua Umum PGI Pdt Dr Andreas Yewangoe pada penutupan
Sidang Majelis Pekerja Lengkap PGI (MPL) PGI tahun 2007 di Kalasey, Minahasa,
Sulawesi Utara (Sulut), Jumat (26/1). Turut hadir dalam acara penutupan Sidang MPL,
Wakil Gubernur Sulut, Freddy Harry Sualang.
Sidang tahunan PGI ini diikuti sebanyak 200 orang peserta yang berasal dari
perwakilan 83 sinode gereja anggota, PGI Wilayah/Sinode Gereja-gereja Am Sulawesi
Utara dan Tengah, mitra perempuan dan pemuda gereja-gereja, mitra PGI dari dalam
dan luar negeri.
Selain menyoroti penuntasan masalah Poso, Sidang MPL membahas secara khusus
peraturan daerah (perda) bernuansa agama, permasalahan masyarakat di Papua, dan
mendoakan bangsa dan negara Indonesia yang terus-menerus dilanda bencana alam
dan kecelakaan. Sidang MPL PGI yang berlangsung selama enam hari ini juga
mengevaluasi program kerja PGI tahun 2006 dan menyusun program tahun 2007
dengan pikiran pokok "Meneguhkan ulang komitmen kebangsaan demi
mempertahankan keutuhan NKRI".
Yewangoe mengatakan, penyelesaian masalah Poso dengan kekerasan dapat
menimbulkan masalah baru sehingga akan terus menyengsarakan masyarakat. Oleh
karena itu, aparat keamanan di Poso semestinya lebih persuasif agar tidak
menimbulkan ketegangan dalam masyarakat.
Ditegaskan, permasalahan Poso sudah berlangsung dalam waktu yang cukup lama
dan telah menelan korban jiwa dan material yang sangat banyak. Permasalahan ini
terus menyisakan ketidaknyamanan, teror, penembakan, dan pembunuhan. Oleh
karena itu, pemerintah mesti menuntaskannya secara mendasar agar warga
masyarakat dapat terlindungi.
Masalah Papua
Sementara itu, mengenai Papua, Sidang MPL merekomendasikan dukungan terhadap
gerakan bersama pemimpin lintas agama di Papua untuk menjadikan Papua sebagai
Tanah Damai. "Gereja harus berperan maksimal untuk menjadikan Papua sebagai
tanah damai bagi kesejahteraan masyarakat Papua," kata Sekretaris Umum PGI, Pdt
Dr Richard Daulay.
Menurutnya, permasalahan di Papua harus ditangani secara komprehensif dengan
kesungguhan hati dan tanpa curiga sebab masyarakat Papua adalah bagian integral
dari Indonesia. "Tanah Papua sangat kaya, sudah selayaknya mereka hidup
sejahtera," kata Richard.
Peserta Sidang MPL sepakat untuk memberikan dukungan kepada masyarakat
Papua melalui jaring gereja dengan mengedepankan penegakan hak asasi manusia
(HAM), keadilan, peningkatan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. "Kita akan
memberikan pendampingan yang selayaknya kepada saudara-saudara kami di
Papua. Kami sudah siap dengan program pelatihan credit union," kata Ketua Sinode
Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Pdt Dr Jadiaman Perangin-angin.
Senada dengan itu, anggota MPL dari Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat
(GPIB) Pdt J.D.Sihete, MTh mendorong gereja-gereja anggota PGI agar serius
memprogramkan beasiswa program doktor bagi sejumlah pemuda berprestasi di
Papua.
Sidang MPL PGI tahun 2007 merekomendasikan pelaksanaan Sidang MPL tahun
2008 di Papua. Diharapkan, perhatian gereja-gereja di Indonesia terhadap Papua
semakin intensif menjelang pelaksanaan sidang tahun mendatang.
Revitalisasi Kebangsaan
Pemilihan pikiran pokok Sidang MPL PGI tahun 2007, "Meneguhkan kembali
komitmen kebangsaan" atau revitalisasi kebangsaan, menurut Yewangoe , bertolak
dari situasi kebangsaan akhir-akhir ini yang melemah. Kepentingan-kepentingan
kedaerahan dan kelompok menjadi sangat menonjol. Gereja-gereja di Indonesia mesti
ikut mencegah jangan sampai hal itu keterusan dan menyebabkan negara dan
bangsa ini pecah. Gereja-gereja terpanggil untuk mengingatkan bangsa ini agar tidak
terjerumus ke dalam cara berpikir dan bertindak sektarian.
Menurut Yewangoe, sebagai konsekuensi pada komitmen kebangsaan, PGI
mendorong gereja-gereja di Indonesia untuk menyusun program kerja yang
memberikan tempat yang signifikan bagi revitalisasi kebangsaan. Sehubungan
dengan itu, gereja-gereja perlu membuat program-program yang menyentuh
kebutuhan warga gereja antara lain, pendidikan politik kewarganegaraan.
Pendidikan politik ini tidaklah dimaksudkan agar semua orang berlomba-lomba
menjadi anggota legislatif atau pejabat negara. Tetapi dimaksudkan agar warga gereja
memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara di dalam NKRI. "Hanya
pemahaman yang benar seperti inilah memungkinkan warga gereja hidup
berdampingan secara harmonis dengan saudara-saudara sebangsanya," tambahnya.
[136/144]
Last modified: 29/1/07
|