The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

DetikCom


DetikCom, Rabu, 19/3/2003

Kolom

Untung Ada Tomy Winata

Sumber : M Najib Azca

detikcom - Jakarta, Untung ada Tomy Winata. Kalau tidak, saya bayangkan, ikhtiar menata republik pasca reformasi akan jauh lebih sulit untuk dilakukan.

Saya teringat pertengahan Oktober tahun lalu. Waktu itu saya tengah berada di Ambon, untuk keperluan riset mengenai peranan security apparatus dalam konflik berdarah berumur panjang di sana. Salah seorang yang saya wawancarai adalah petinggi kota Ambon. Ketika berbicara mengenai upaya meretas konflik menahun di Ambon, ia melontarkan ide menarik dan kontroversial yang hendak dilaksanakannya.

Menurutnya, untuk menciptakan kondisi aman di Ambon, tidak mungkin tanpa menggerakkan roda ekonomi masyarakat dan selanjutnya meningkatkan tingkat kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang babak belur didera konflik berkepanjangan itu. Buruknya kondisi ekonomi dan tingginya pengangguran akan selalu menjadi bahan bakar kekerasan tanpa akhir. Persoalannya, dalam kondisi keamanan yang masih labil dan rentan seperti di Ambon saat itu (juga hingga sekarang), siapa pengusaha yang berani masuk dan berusaha di Ambon?

Jawabnya: orang seperti Tomy Winata —- yang akrab dipanggil TW. Menurutnya, pengusaha nekad, bermodal besar dan punya beking kuat seperti TW-lah yang akan berani masuk berbisnis ke Ambon dalam kondisi rawan seperti saat itu. Rupanya dia tidak keliru.

Ketika bertemu dengan TW beberapa waktu sebelumnya di Jakarta, demikian tuturnya, TW menanggapi dengan baik ide untuk berbisnis di Ambon. Dia bahkan berjanji menggelontorkan kepeng sekian juta dolar ke jazirah para raja itu. Syaratnya satu: diberi otoritas untuk menjaga keamanan oleh orang-orangnya sendiri. Di depan sang petinggi kota Ambon itu, TW juga sempat menelepon petinggi Angkatan Darat (AD) dan Pangdam Pattimura mengabarkan pembicaraan mereka.

Saya tidak tahu bagaimana kelanjutan rencana bisnis itu. Saya juga tidak tahu apakah rencana yang tampak bagai "obat mujarab" dalam jangka dekat itu, tidak akan menanam "bom waktu" persoalan besar di masa mendatang. Tapi kisah itu memberi ilustrasi bagus mengenai betapa kekar dan perkasanya bisnisman muda kelahiran Pontianak, 23 Juli 1958 itu. Dan keperkasaan TW, seperti sudah ditulis berbagai media dan diakuinya, memang tak lepas dari kelekatannya dengan bisnis militer, khususnya AD.

Mulai merajut hubungan bisnis sejak 1972, saat ia berusia 15 tahun, nama TW baru melejit pada 1989, ketika melalui PT Danayasa Arthatama yang bekerjasama dengan Yayasan Kartika Eka Paksi milik AD mengerjakan mega proyek Kawasan Bisnis Sudirman dengan investasi US $ 3,25 miliar.

Nama TW berkibar di bawah patron Jenderal TB Silalahi, mantan Sekjen Departemen Pertambangan dan Energi serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dalam Kabinet Pembangunan VI Soeharto yang kini menjadi orang kunci di grup bisnis Tomy. Tomy juga dikenal sangat dekat dengan Jenderal TNI (Purn) Edi Sudradjat, mantan KSAD dan Menteri Pertahanan dan Keamanan.

Tomy Winata, tentu, bukan yang pertama dan satu-satunya. Sejumlah kajian mengenai bisnis militer seperti tim LIPI (1998) maupun ICW (2002) membariskan banyak nama yang menjadi kongsi penting bisnis kalangan berbaju hijau ini.

Bahkan di masa kejayaan Orde Baru agak sulit untuk mencari pengusaha besar yang tak punya kerjasama dengan tentara. Bermula terutama sejak nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing pada akhir 1957, keterlibatan militer dalam bisnis kemudian menggurita sejak awal Orde Baru. Liem Sioe Liong (yang berpatron ke Suharto) dan Bob Hasan (yang berpatron ke Gatot Subroto) merupakan dua nama kongsi bisnis militer yang tersohor sejak awal rejim Suharto.

Yang menarik, selain melakukan bisnis resmi dan terang (seperti perdagangan dan konstruksi), Tomy juga menggelar sejumlah bisnis 'remang-remang'. Yang termasuk di sini misalnya: bisnis tempat hiburan, perjudian, bahkan, konon, penyulundupan dan perdagangan 'barang-barang terlarang'. Ia dikabarkan merupakan salah satu pentolan dari "Gang of Nin?"- sekelompok orang yang menguasai bisnis haram itu.

Nama lain yang santer diwartakan adalah Ari Sigit Soeharto dan Yorrys Reweyai. Kombinasi antara kongsi bisnis dengan tentara dan 'bisnis remang-remang' rupanya merupakan racikan ampuh yang membuat roda bisnis TW menggelinding kencang dan –- tak kalah penting -- aman.

Seorang jenderal berbintang dua di Mabes TNI yang saya temui akhir tahun lalu juga mengakui, meski bernada gundah: kenyataannya TNI butuh banyak uang, dan fulus yang paling gampang mengalir dan berjumlah besar ya dari sektor 'remang-remang' itu. Ia bahkan menyebutkan seorang kolonel di Mabes TNI yang berfungsi khusus sebagai 'penghubung' dengan sektor bisnis 'remang-remang' itu.

Memang, seperti diakui oleh Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, pada tahun 2000 pemerintah hanya mampu memenuhi sekitar 25% dari anggaran militer (Kompas, 24 Mei 2000). Untuk menutupinya TNI melakukan berbagai usaha bisnis. Kegiatan bisnis TNI, menurut hasil kajian ICW (2002), bisa dikategorikan menjadi tiga: pertama, bisnis formal melalui yayasan dan koperasi yang didirikan oleh TNI sebagai institusi; kedua, bisnis informal, melalui penempatan personel TNI, baik yang sudah pensiun maupun yang masih aktif dalam perusahaan swasta dan BUMN; ketiga, criminal economy, bentuknya antara lain keterlibatan anggota TNI dalam berbagai aktivitas kriminal seperti beking perjudian, penyulundupan, perdagangan senjata dan sebagainya. Pola kongsi bisnis Tomy Winata dengan militer, tampaknya mencakup sekaligus ketiga kategori itu.

Buahnya: munculah mata rantai triumvirat pengusaha-tentara-preman. Dengan adanya mata rantai segi tiga itu, maka pola kekerasan negara mengalami sofistikasi: tidak lagi dilakukan secara langsung oleh milter, melainkan melalui proxy-nya, para preman itu.

Aditjondro dalam tulisannya Financing Human Right Violations (2001) mencoba melacak dan memetakan keterkaitan antara kelompok-kelompok vigilantis ini dengan militer serta kelompok pengusaha yang menjadi sumber dananya. Ia membariskan 17 nama pengusaha yang menurut pelacakannya merupakan sumber finansial utama kelompok-kelompok preman dan paramiliter yang, pada masa Orde Baru, tentu berada di bawah payung perlindungan militer. Ketika gelombang reformasi datang, termasuk menggusur Soeharto dari pucak kekuasaan, banyak yang berharap mata rantai kekerasan itu akan terputus, atau setidaknya melemah.

Namun harapan itu rupanya jauh api dari panggang. Model perselingkuhan bisnis 'kotor' ala Tomy Winata sebenarnya pernah coba ditebas oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Dalam sebuah acara Presiden Wahid pernah secara terbuka menyebut Tommy sebagai cukong dari bisnis perjudian di kawasan Pulau Ayer (di Kepulauan Seribu). Malah dirinya telah memerintahkan Kapolri saat itu, Jenderal Rusdihardjo, dan Jaksa Agung Marzuki Darusman untuk menutup pulau itu dan menyita kapal pesiar yang digunakan untuk perjudian.

Namun perintah sang presiden rupanya tumpul (Kompas, 22 April 2002). Belakangan, ia bahkan dikabarkan berhasil mendekati tokoh "RI-1½", Taufik Kiemas. Maka gerak bisnis haram Tomy Winata pun kembali melenggang tenang, bahkan bisa jadi makin percaya diri. Kasus penyerbuan kantor Humanika beberapa waktu lalu dan terakhir teror ke kantor Tempo, merupakan contoh bagus pola bisnis ala Tomy Winata.

Di situlah uniknya sosok Tomy Winata. Alih-alih menutup-nutupi, ia justru mendemonstrasikan kedigdayaanya lantaran berkongsi bisnis dengan tentara secara terbuka dan banal. Superioritas Tomy, juga sejumlah anak buahnya, terhadap aparat keamanan acap kali dipertontonkan di depan khalayak (Kronologi teror ke Tempo yang dibuat Achmad Taufik memberi ilustrasi kuat). Sehingga menjadi lebih terang dan mudah sebenarnya bagi masyarakat dan negara untuk bersikap: apakah pola perselingkuhan bisnis model Tomy Winata yang mengandalkan kekuatan segi tiga pengusaha-tentara-preman layak untuk ditolerir dan dibiarkan berjaya.

Begitulah: untung ada Tomy Winata. Ikhtiar menata republik pasca reformasi, karenanya, menjadi sedikit lebih mudah karena ia seperti mengikhlaskan dirinya menjadi exemplar: contoh banal buah perselingkuhan bisnis angkatan bersenjata dengan 'dunia hitam'. Sehingga persoalannya menjadi sedikit lebih ringkas: apakah ada keberanian dan ketegasan sikap dari Pemerintah Republik Indonesia saat ini untuk bertindak! Atau kita semua memang ikhlas berada di bawah kekuatan tiranik baru triumvirat pengusaha-tentara-preman?

Canberra, 16 Maret 2003

Mahasiswa Pasca Sarjana di Australian National University (ANU), Canberra, yang pernah menulis buku berjudul Hegemoni Tentara (LkiS, 1998) dan kini sedang meriset peranan security apparatus dalam konflik di Ambon.

[Foto: Tomy Winata (nrl)]

Copyright © 1998 - 1999 ADIL dan detikcom Digital Life.
 


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/batu_capeu
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044