KOMPAS, Senin, 17 Februari 2003
Ada Apa di Balik Inpres Pemekaran Provinsi Papua?
MANTAN Presiden RI pertama, Soekarno, pada 12 Agustus 1959 kepada sekitar 500
masyarakat Biak, Papua, mengatakan, orang Papua segera keluar dari belenggu
kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, ketelanjangan, dan penindasan
kolonialisme. Warga Papua akan mendapatkan otonomi daerah sehingga secepat
mungkin mencapai kesejahteraan yang setingkat dengan saudara-saudaranya di
daerah lain. Warisan kolonialisme berupa kemiskinan harus dibasmi.
S>small 2small 0< meninggal setelah membawa bangsa Papua ke dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tetapi, ucapan dan janjinya kepada masyarakat
Papua masih diingat sejumlah tokoh Papua.
Mantan Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Eluay (almarhum) misalnya,
saat Presiden Megawati Soekarnoputri, putri Soekarno, dikukuhkan sebagai
pemimpin bangsa ini, mulai angkat bicara.
"Bapaknya dulu telah memberi janji membangun kesejahteraan dan pembebasan dari
penindasan, tetapi sampai 40 tahun, Papua tetap terbelenggu dan tertindas. Maka
janji-janji itu harus ditebus oleh anaknya. Janji itu utang. Saya akan menghadap
beliau dan sampaikan itu," kata Theys yang keburu diculik dan dibunuh, 10 November
2001.
Hampir 95 persen masyarakat Papua menaruh harapan besar ketika Megawati
menjadi presiden menggantikan Abdurrahman Wahid.
MENGAPA pemerintah pusat begitu cepat mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres)
Nomor 1 Tahun 2003 tentang pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 45 Tahun
1999 mengenai Pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat (Irjabar), Irian Jaya Tengah
(Irjateng), dan Irian Jaya Timur (Irjatim). Sementara, Papua baru saja menjalankan UU
No 21 Tahun 2001 mengenai otonomi khusus (otsus), yang baru satu tahun
diberlakukan. Pemerintah pun sampai hari ini belum memberi satu pernyataan yang
terbuka dan memuaskan kepada masyarakat mengenai Inpres tersebut.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Papua John Ibo kepada pers pekan
lalu di Jayapura usai menerima para demonstran yang menolak pemekaran
mengatakan, Badan Intelijen Nasional (BIN) ada di balik proses pemekaran itu. Dua
hari sebelum peresmian Provinsi Irjabar, 6 Februari 2003, pejabat Gubernur Irjabar
Brigjen Marinir (Purn) Abraham Atururi menghadap Ibo dan secara tegas mengatakan,
dirinya diperintahkan Hendro Priyono segera meresmikan Provinsi Irjabar.
Atururi adalah mantan Wagub Papua, yang ditunjuk menjadi Pejabat Gubernur Irjabar
melalui Keppres No 327/M/ 1999. Sedangkan pejabat Gubernur Irjateng dijabat oleh
Herman Monim, juga mantan Wagub Papua.
Proses peresmian Provinsi Irjabar itu pun berlangsung aman, bahkan sekitar 15.000
warga Papua menghadiri proses peresmian itu, kemudian melakukan konvoi keliling
Manokwari.
Mengapa BIN mendesak pemekaran itu. Menurut Ibo, Presiden Megawati dan BIN
telah mendapat laporan dari kelompok elite politik Papua bahwa otsus telah menjurus
kepada kemerdekaan Papua. Cepat atau lambat, otsus mempersiapkan
kemerdekaan itu.
Pusat menilai, ada celah-celah dalam UU No 21 Tahun 2001 yang memberi peluang
kemerdekaan itu. Misalnya, pengakuan UU adanya bendera Papua, lagu kebangsaan
Papua, dan simbol persatuan Papua, walau atribut itu disebutkan dalam UU sebagai
bagian dari budaya bangsa Papua.
Keanggotaan Majelis Rakyat Papua (MRP) sesuai dengan UU No 21/2001 terdiri dari
unsur adat, perempuan, dan agama. Unsur adat selama ini dinilai sebagai pejuang
kemerdekaan Papua yang terekspresi dalam Presidium Dewan Papua (PDP) dan
Lembaga Musyawarah Adat Papua. Di dalam adat ini ada pemimpin yang disebut
pemimpin besar bangsa Papua yang dijabat Theys Eluay, kemudian digantikan oleh
Tom Beanal.
Akan tetapi, MRP sampai hari ini belum disahkan pemerintah. Ibo sendiri menilai
pusat telah memilih sikap curiga secara berlebihan terhadap MRP. Jika MRP tidak
disahkan, maka otsus tidak dapat diberlakukan secara utuh.
Berita di media massa Nasional beberapa waktu lalu mengenai keterlibatan Gubernur
Papua JP Solossa mendukung kegiatan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di luar
negeri. Pernyataan itu keluar dari Wakil Ketua DPR Suryo Guritno dari F-PDIP yang
menyebutkan, Gubernur Solossa telah mendukung kegiatan OPM di luar negeri
dengan membagi-bagi dana otsus.
Solossa ketika dimintai tanggapan dari pers hanya tertawa. "Biarkan saja. Itu laporan
fitnah dari orang Papua sendiri. Tuhan yang tahu semua itu," kata Solossa.
Data lain menyebutkan, Inpres lahir sebagai penyeimbang kekuatan Golkar di Papua.
Golkar Papua dinilai memiliki andil sangat besar dalam meringankan perkara Akbar
Tandjung. Karena itu, PDI-P berupaya menggembosi kekuasaan Golkar tersebut
dengan mengangkat Atururi sebagai kader PDI-P.
Semua data tersebut sampai ke pusat melalui sejumlah elite politik Papua yang ingin
mendapatkan jabatan dalam pemekaran provinsi. Termasuk di dalam kelompok ini
adalah pejabat pemerintah provinsi sendiri.
Sifat kesukuan masih mendominasi kehidupan orang Papua. Terdapat sekitar 312
suku (data BPS 2000) di Papua. Suku terbesar adalah Biak Numfor berjumlah
148.104 jiwa dan terkecil suku Nalka dengan jumlah penduduk empat orang, di
Jayawijaya.
Keragaman suku ini memiliki mental, sikap, budaya, dan perilaku berbeda-beda pula.
Sifat kesukuan masih sangat kuat sehingga sangat mudah dihasut dan diprovokasi.
Contoh, perjuangan OPM selama hampir 42 tahun. Setiap kelompok OPM dari suku
itu mengangkat pemimpin sendiri, dan tidak mengakui eksistensi pimpinan dan
anggota OPM dari suku lain. Perjuangan mereka sangat lemah karena mudah
diprovokasi dan dihasut pihak lain.
Sebaliknya, kebijakan dan perhatian pemimpin bersangkutan lebih ditujukan kepada
suku di mana dia berasal. Karena selama putra dari suku itu menjabat sebagai
Gubernur Papua selalu ada istilah SOS (semua orang Sorong), SOB (semua orang
Biak), dan semua orang Yawa (Yapen Waropen).
Sifat ini terkait dengan pengakuan, ketaatan, dan penghormatan tradisional terhadap
"Tuan Tanah" dan "Kepala Suku" setempat. Sifat hormat terhadap kepala suku jauh
lebih kuat dibandingkan dengan pemerintah.
Pemerintah RI memahami sistem tersebut dan memanfaatkan pada setiap momen
sejak Papua bergabung dengan RI. Misalnya, Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera
tahun 1969). Beberapa tokoh adat yang disegani masyarakat diberi perhatian khusus
agar tokoh bersangkutan dapat mempengaruhi para bawahan.
Terkait dengan sifat tersebut, pembangunan otonomi khusus sangat sulit. Otsus
menghasilkan dana sampai puluhan trilyun rupiah, tetapi masyarakat tidak saling
mendukung. Antara pejabat pemerintah pun saling menjatuhkan.
Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Demi Wakman, jika benar
Inpres lahir atas bujukan dan propaganda orang Papua sendiri di Jakarta, maka yang
perlu dibenahi adalah sikap dan perilaku para elite politik Papua sendiri. Orang Papua
saling menjatuhkan dan berebut kekuasaan, yang pada akhirnya mengorbankan
kepentingan rakyat kecil.
Tetapi, bagaimanapun pemerintah pusat harus konsekuen dengan otonomi khusus,
karena pemerintah yang menetapkan dan mengesahkan UU itu. UU Otsus lahir
terkait dengan desakan kemerdekaan Papua (1999-2000) yang ditandai dengan
Kongres Papua II, pengibaran bendera bintang kejora, dan lagu "Hai Tanahku Papua".
Pemerintah jangan lagi membohongi rakyat. Sudah cukup penderitaan orang Papua
sejak tahun 1961-2003. Sudah ribuan korban jiwa jatuh secara sia-sia, dan
pelanggaran HAM di tanah Papua sampai hari ini, hanya karena mereka menuntut
hak sebagai warga negara dan keadilan di tanah air sendiri.
Menurut Wakman, perlu dilakukan Judicial Review terhadap Inpres tersebut karena
bertentangan dengan UU Otonomi Khusus, dan tidak berdasarkan aspirasi
masyarakat. Keputusan itu atas kehendak pemerintah secara sepihak.
"Mengapa orang Papua selalu diperlakukan tidak adil di negeri ini. Mengapa ketika
orang Papua menuntut hak-hak mereka sebagai warga negara selalu dicap sebagai
anggota OPM, pejuang kemerdekaan, dan seterusnya. Ini karena perbedaan ras atau
apalagi. Yah, akhirnya persoalan Papua terus bergulir dari generasi ke generasi," kata
Wakman.
Apabila pusat menghendaki pemekaran tahun 2003, harus datang ke Papua dan
berdialog dengan masyarakat. Pemerintah harus memberi penjelasan kepada
masyarakat Papua mengenai alasan pemekaran sesuai dengan Inpres Nomor 1
Tahun 2003. Dengan cara ini, pusat mengajarkan sifat demokrasi yang baik dan
benar.
"Sudah bukan zamannya lagi pusat menggunakan kewenangan untuk meniadakan
semua aspirasi dan kepentingan masyarakat. Jika pemekaran itu dipaksakan sangat
disayangkan. Muncul pertanyaan, mengapa kebijakan pusat yang sangat tidak adil
terus-menerus menimpa orang Papua," kata Wakman.
INPRES tersebut telah mengkotak-kotakkan masyarakat Papua, yang bisa saja
melahirkan konflik horizontal. Masyarakat menempatkan diri pada dua kekuatan,
yakni menolak dan mendukung bersama elite politik masing-masing. Menolak
pemekaran masih terbagi dua kelompok, yakni pendukung kemerdekaan Papua dan
menunda pemekaran.
Menolak Inpres dan menunda pemekaran datang dari sebagian besar masyarakat
bersama pemerintah provinsi dan DPRD. Mereka memberi alasan antara lain, Papua
baru satu tahun menjalani UU No 21 Tahun 2001 mengenai otsus. Majelis Rakyat
Papua yang memiliki kewenangan tertinggi di Papua belum disahkan pemerintah.
Gubernur JP Solossa menegaskan, pemekaran provinsi tetap dijalankan tetapi belum
saatnya. Pemekaran provinsi paling tepat dibicarakan setelah otsus diberlakukan
selama 5-10 tahun, setelah disetujui dan diusulkan oleh MRP ke pemerintah pusat.
"Konsentrasi pemerintah setempat dan masyarakat saat ini adalah otsus. Karena itu,
pemerintah pusat diharapkan segera merealisasi peraturan pelaksanaan MRP
sehingga lembaga ini segera diresmikan dan mulai bekerja. Tanpa MRP, otonomi
khusus tidak dapat dijalankan secara efektif dan efisien," kata Solossa.
Dengan pertimbangan sampai jangka waktu 5-10 tahun, seluruh wilayah Papua sudah
maju di mana infrastruktur, terutama jalan darat yang menghubungkan kabupaten,
kecamatan, dan desa-desa di Papua, sudah dibangun merata, sumber daya manusia
sudah maju, peradaban sebagian besar masyarakat yang masih semiprimitif sudah
ditinggalkan melalui pembangunan otsus.
Di Papua ada kabupaten sangat miskin, tetapi ada kabupaten sangat kaya sehingga
otsus akan membangun pemerataan kesejahteraan di seluruh daerah, kemudian
dilanjutkan dengan pemekaran provinsi.
Yang perlu dilakukan adalah pemekaran 14 kabupaten. Masyarakat pun mendukung
pemekaran kabupaten tersebut karena otonomi terpusat di daerah kabupaten.
Mereka menilai, UU Otsus memberi kewenangan seluas-luasnya kepada orang
Papua untuk menjadi "tuan" di negeri sendiri seperti terjabar dalam program kerja
Gubernur Papua JP Solossa.
Dalam masa otonomi khusus, hak-hak dasar orang Papua diprioritaskan. Misalnya,
hak ulayat, hak mendapatkan pekerjaan, hak mendapatkan pelayanan kesehatan dan
pendidikan. Hak ini sudah mulai terasa setelah satu tahun otonomi berjalan, yakni
pengobatan dengan biaya serendah mungkin, bahkan cuma-cuma bagi masyarakat
yang tidak mampu sama sekali, dan pembebasan sumbangan pembangunan
pendidikan (SPP) walau masih terjadi berbagai penyelewengan dan ketidakberesan
dalam praktik di lapangan.
Satu tahun otonomi berjalan hampir 98 persen kantor Pemerintah Provinsi dan
Dinas-Dinas Provinsi dijabat putra asli Papua. Walau dalam kenyataan sering
diterjemahkan keliru, yakni putra asli adalah orang dari suku tertentu seperti orang
Sorong.
Pemekaran itu pun tidak menguntungkan karena penduduk Papua hanya berjumlah
2,3 juta jiwa. Jumlah tersebut belum mampu dibagi menjadi tiga provinsi. Kalau
dipaksakan maka satu provinsi hanya dihuni oleh sekitar 700.000 penduduk. Itu pun
penyebaran penduduk sangat tidak merata.
Kelompok kedua yang menolak pemekaran adalah Presidium Dewan Papua (PDP),
OPM dan pendukung kemerdekaan. Mereka menilai, pemekaran sebagai upaya
menggagalkan aspirasi kemerdekaan Papua sebagaimana tertuang dalam Kongres II
Papua, 29 Mei-4 Juni 2000.
Sekjen PDP Thaha Mohammad Alhamid mengatakan, menolak pemekaran karena
pemekaran bertentangan dengan amanat kongres yang menghasilkan sejumlah
resolusi dan keputusan, antara lain mengenai pengembalian hak kemerdekaan
bangsa Papua yang telah diperoleh 1 Desember 1962, namun digagalkan mantan
Presiden Soekarno melalui Trikora.
Kongres II Papua melegitimasikan pengurus PDP untuk mensosialisasikan perebutan
kembali kemerdekaan itu ke luar negeri.
Ditambahkan Ketua Umum Suara Perempuan Papua Ny Beatriks Koibur, pemekaran
provinsi Papua menggagalkan perjuangan menuju kemerdekaan. Padahal, perjuangan
itu telah menelan ratusan bahkan ribuan korban jiwa dan harta benda yang tidak
ternilai.
Wakil Lembaga Studi dan Advokasi HAM Papua, Alo Renwarin menilai Inpres
membuka peluang untuk menghadirkan Komando Daerah Militer (KODAM) baru,
mobilisasi transmigrasi dari luar Papua guna menempati sebagian besar wilayah
kosong, penyerahan jabatan kepada para eselon I-II di setiap departemen di Jakarta
yang belum mendapat jabatan dan pengurasan sumber daya alamsecara
besar-besaran oleh warga pendatang. Inpres menggagalkan otonomi khusus, karena
itu perlu ditinjau kembali.
KELOMPOK yang mendukung pemekaran adalah mereka yang menghendaki adanya
share kekuasaan di Papua. Kekuasaan dan kewenangan yang terpusat di provinsi
sangat mempersulit pelayanan kepada seluruh masyarakat. Apalagi Papua dengan
luas sekitar 142.000 km˛ atau 3,5 kali luas Pulau Jawa yang dihuni sekitaar 2,3 juta
jiwa. Jumlah penduduk tersebut pun tidak merata, bahkan sekitar 14 suku sama
sekali belum dikenal dan diketahui. Mereka ini termasuk suku terasing dan belum
tersentuh pembangunan sama sekali.
Pemekaran akan mempercepat pembangunan infrastruktur terutama jalan-jalan yang
menghubungkan kabupaten, kecamatan, dan desa di Papua. Selama ini transportasi
hanya mengandalkan pesawat sehingga menelan biaya sangat besar dan masyarakat
tidak dapat berkembang secara cepat. (KORNELIS KEWA AMA)
Copyright © 2002 PT. Kompas Cyber Media
|