KOMPAS, Senin, 17 Februari 2003
Papua Tak Penuhi Dimensi Politis-Teknis untuk Dimekarkan
Jakarta Kompas - Wilayah Provinsi Papua dinilai tidak memenuhi dimensi politik
maupun dimensi teknis untuk dimekarkan. Karena itu, Instruksi Presiden (Inpres) No
1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan Undang-undang (UU) No 24 Tahun
1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Mimika,
Puncak Jaya, dan Kota Sorong, harus dicabut.
Staf pengajar Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Andi Ramses mengemukakan,
pembentukan daerah otonom harus selalu dilihat dari dua dimensi, yakni politik dan
teknis.
"Dalam konteks Papua, dimensi politik tidak muncul. Orang Papua adalah satu
entitas politik, yang melihat dirinya sebagai satu kesatuan puak," ungkap Andi dalam
talk- show mingguan yang diselenggarakan Pusat Kajian Komunikasi Bisnis dan
Politik (Puskakom) dan Pro2 FM, di Jakarta, Sabtu (15/2).
Andi menjelaskan, masyarakat Papua hanya ada satu. Ini berbeda misalnya dengan
di Jawa Barat, di mana orang Banten secara jelas berbeda dengan orang Sunda.
Sementara dari dimensi teknis, kata Andi, pembentukan daerah otonom selalu
ditujukan untuk peningkatan efisiensi dan efektivitas pemerintahan. Dengan demikian,
pembentukan daerah otonom dimaksudkan untuk memperluas jangkauan pelayanan
terhadap masyarakat.
Dari dimensi ini, menurut Andi, juga tidak ada urgensi untuk memekarkan Papua.
Sebab persoalan kinerja pemerintahan tidak dapat dijawab dengan membentuk
provinsi atau kabupaten/kota baru.
Persoalan yang dihadapi Papua adalah bagaimana meluaskan jangkauan pelayanan
pemerintah untuk wilayah yang sangat luas itu. Untuk itu, pemerintah tidak hanya
harus hadir secara fisik di tengah masyarakat, akan tetapi pemerintah bekerja di
tengah masyarakat.
"Dengan demikian, yang dibutuhkan Papua untuk saat ini adalah pemekaran
kecamatan sebagai wilayah pelayanan. Bukan pemekaran kabupaten/kota, apalagi
pemekaran provinsi," katanya.
Berdasar dua dimensi itu, Andi menyimpulkan bahwa untuk saat ini Papua tidak perlu
dimekarkan, dan Inpres No 1/2003 harus segera dicabut.
Ferry Mursyidan Baldan, anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, sepakat dengan
Andi. Apa pun bahasanya, kata Ferry, inpres itu jangan diberlakukan dan harus
dicabut. "Bila diberlakukan, akan berdampak pada ketidakpastian Papua," ujar Ferry,
yang pernah menjadi Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Otonomi Khusus
Papua.
Sementara itu, menurut Deputi Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan
Timur Indonesia (PPKTI) Michael Menufandu, sebagai aparat pemerintah pihaknya
harus mengamankan kebijakan pemimpin. "Inpres itu bisa saja nanti dilaksanakan
dengan memekarkan provinsi, setelah empat kabupaten/kota terbentuk dan berjalan,
dan kemudian nanti berkembang menjadi 28 kabupaten/kota," tutur Menufandu.
Namun demikian, ia mengaku terkejut juga ketika Presiden Megawati mengeluarkan
Inpres No 1/2003. "Kami terkejut, kok tiba-tiba ada inpres. Sementara kami mencari
jalan untuk meminta kearifan dari pemerintah pusat, tiba-tiba datang radiogram
memerintahkan inpres itu dilaksanakan. Sementara kami mempelajari radiogram itu,
tiba-tiba ada orang yang melantik dirinya sebagai pejabat gubernur, lalu meresmikan
kantornya sendiri," ungkapnya.
Menufandu menggambarkan situasinya seperti sedang berlangsung permainan sepak
bola, dan tiba-tiba ada orang mabuk masuk ke lapangan. "Agar permainan tidak
terganggu, orang mabuknya harus kita keluarkan dulu," ucapnya. (LAM)
Copyright © 2002 PT. Kompas Cyber Media
|