KOMPAS, Rabu, 19 Februari 2003
Tidak Jelas, Alasan Pemekaran Papua
Jakarta, Kompas - Walaupun digugat berbagai kalangan, proses kelahiran Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemekaran Papua belum juga jelas. Para
pejabat terkait mengaku tidak pernah mengusulkan Presiden Megawati Soekarnoputri
agar mengeluarkan inpres tersebut.
Dari Jayapura dilaporkan, yang terjadi di daerah itu bukan cuma kebingungan di
kalangan rakyat, tapi juga meningkatnya intensitas konflik antarwarga Papua. Ribuan
warga Papua kemarin nyaris bentrok, antara pendukung dan penentang inpres
tersebut.
Pihak Departemen Dalam Negeri menyatakan tidak pernah mengusulkan terbitnya
Inpres No 1/2003 yang berisi perintah percepatan pemekaran Provinsi Papua. "Masak
kami meminta Presiden untuk memerintahkan kami agar mengerjakan tugas kami
sendiri," kata Dirjen Otonomi Daerah Oentarto, Selasa(18/2).
Namun, Oentarto menyatakan Departemen Dalam Negeri siap melaksanakan
instruksi tersebut dan mendukung esensi keputusan yang dinilainya tepat waktu itu.
Secara terpisah Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono membantah
anggapan bahwa konsep inpres itu merupakan usulan BIN. "Tidak dong. Inpres itu
yang membuat Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM). Itulah kalau (pers)
curiga melulu. Tidak ada itu. Tidak benar," kata Hendropriyono menjawab wartawan,
kemarin.
Namun, seperti juga Oentarto, Kepala BIN juga menyatakan setuju dengan
pemekaran Provinsi Papua untuk memperpendek rentang kendali pemerintahan di
sana.
Sebelumnya, Deputi Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Indonesia
Timur (PPKTI) Michael Menufandu menyatakan terkejut dengan inpres yang tiba-tiba
muncul itu. Namun, sebagai aparat pemerintah, pihaknya juga harus mengamankan
kebijakan pimpinan nasional tersebut.
Inpres No 1/2003 itu lengkapnya berjudul Percepatan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian
Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan
Kota Sorong.
Menurut Oentarto, kelahiran inpres itu tepat waktu, sebagai peringatan kepada
institusi pemerintahan di tingkat pusat dan daerah untuk segera melaksanakan
pemekaran Papua yang lama tertunda.
Menurut Oentarto, inpres itu hanya merupakan aturan pelaksanaan Undang-Undang
(UU) No 45/1999. Kalaupun pelaksanaannya tertunda lebih dari tiga tahun, itu lebih
karena adanya toleransi pemerintah pusat pada penolakan masyarakat Papua,
dengan aksi pendudukan kantor pemerintahan di Jayapura.
Persoalan legalitas lahirnya Inpres No 1/2003 sebenarnya tidak perlu dipertanyakan,
jika dibaca secara keseluruhan dari UU No 22/1999 mengenai pemerintahan daerah,
UU No 45/1999, serta UU No 21/2001 mengenai otonomi khusus. Pemekaran Irian
Jaya menjadi tiga provinsi telah diatur sebelum peraturan otonomi khusus Papua
diundangkan.
Oentarto juga menolak anggapan bahwa UU No 21/2001 dilatarbelakangi keinginan
pemerintah pusat meredam desakan kemerdekaan Papua untuk lepas dari Indonesia.
Pemekaran Papua semata-mata didasari kepentingan rentang pelayanan dan
percepatan pembangunan sebagai dasar otonomi. "Kalau ada keinginan merdeka,
jawabannya bukan dengan UU," kata Oentarto tegas.
Hal senada dilontarkan Hendropriyono bahwa Inpres No 1/2003 merupakan suatu
instruksi dan tinggal menjabarkannya. Semua pihak hendaknya bijak untuk mengerti
bahwa dari sisi geografis, Papua besarnya beberapa kali Pulau Jawa.
"Kami juga ingin masyarakat Papua maju. Kalau mereka kita kasih kesempatan
menduduki posisi pada level provinsi, kapan lagi? Sekarang semuanya bekucetan
(berkumpul) di Jayapura saja. Padahal banyak sekali orang-orang berkualitas di
Sorong, Timika, atau Merauke," ujar Hendro.
Ia mengakui, pemekaran juga dilatarbelakangi aspek keamanan. "Kalau kita bagi
semakin kecil, kan kita juga akan semakin mudah dalam kontrol, supervisi,
mengamankan rakyat dan menyejahterakan masyarakat," katanya.
Adu unjuk rasa
Ribuan orang terlibat aksi unjuk rasa di Jayapura nyaris menimbulkan bentrok. Para
pendukung Inpres No 1/2003, berhadapan dengan para penentang pemekaran Papua.
Awalnya, pukul 10.00 yang terlihat di jalan-jalan Jayapura adalah iring-iringan ratusan
kendaraan dari sekitar 2.000 massa, mengarah ke halaman kantor DPRD Papua.
Mereka membawa spanduk dan berbagai poster berisi dukungan terhadap pemekaran
Papua.
Setelah berkumpul mereka menggelar orasi yang berisi pernyataan, pemekaran
Papua merupakan langkah tepat dan solusi terbaik untuk meningkatkan
kesejahteraan Papua.
Beberapa juru bicara tampil seperti Origenes Antoh yang mewakili pemuda dan
mahasiswa Sorong, Jack Kalem dari masyarakat Jayapura, dan Isak Wenda dari
Jayawijaya.
“Kami rindu pembangunan. Hampir 38 tahun tidak pernah ada perubahan pembangunan
sama sekali baik di provinsi, kabupaten, kota, kecamatan dan desa," ujar Origenes.
Di tengah "kampanye" pemekaran Papua itu, tiba-tiba mantan tahanan politik
Kalisoso, Saul Bomay, tampil memecah perhatian. "Ini rekayasa politik untuk
memecah belah orang Papua. Kita diadu domba untuk kepentingan elite politik di
Jakarta. Kami menolak pemekaran," ujarnya.
Sebagian massa ternyata mendukung Bomay. Ratusan pemuda dan mahasiswa yang
tadinya mendukung pemekaran, tiba-tiba berbalik menghujat pendukung pemekaran.
Mereka mencaci maki anggota DPRD dan para elite politik yang merekayasa
dukungan terhadap Inpres No 1/2003.
Adu argumentasi berkembang menjadi perebutan podium antara para pembicara.
Saling teriak antara pembicara makin menjadi dan hampir menyebabkan bentrokan
fisik, sampai akhirnya anggota Brimob turun tangan mengamankan situasi.
Intensitas konflik naik
Koordinator Advokasi Forum Nasional Kepedulian Hak Asasi Manusia (FNKHP)
Papua Emi Sahertian, Selasa kemarin, menyatakan pemekaran Papua hanya akan
memperkuat intensitas konflik di wilayah tersebut. Konflik di Papua yang selama ini
lebih berdimensi vertikal potensial akan menjadi konflik vertikal dan horizontal.
"Ini bukan upaya resolusi konflik, tetapi justru merupakan kebijakan pemerintah pusat
memelihara konflik di Papua," kata Sahertian.
Pemekaran Provinsi Papua menjadi tiga provinsi, menurut dia, menyebabkan
kebingungan di kalangan masyarakat Papua. UU No 21/2001 tentang Otonomi
Khusus sampai saat ini belum berjalan secara efektif, tetapi tiba-tiba pemerintah
melalui Inpres No 1/2003 menghidupkan UU No 45/1999 yang ditunda
pemberlakuannya, karena tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat Papua.
"Dengan pemekaran provinsi ini, tidak jelas lagi nasib otonomi khusus Papua.
Bahkan, nama pun dikembalikan menjadi Irian Jaya," katanya.
Ditambahkan, pemekaran wilayah Papua lebih merupakan kepentingan politik dan
ekonomi pemerintah pusat daripada aspirasi masyarakat Papua. Yang juga
dikhawatirkan, pemekaran ini akan diikuti militerisasi. (wis/kor/dik/BUR)
Copyright © 2002 PT. Kompas Cyber Media
|