Media Indonesia, Kamis, 13 Februari 2003
Agama Sering Dijadikan Kedok
JAKARTA (Media): Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi mengatakan, pertikaian yang
melibatkan umat beragama di Indonesia sering kali disebabkan adanya upaya
menyalahgunakan agama oleh pihak tertentu guna mencapai kepentingan politik dan
ekonomi.
"Selama ini tidak ada konflik agama, bahkan di Maluku sekalipun atau daerah lain di
Indonesia. Yang terjadi adalah konflik kepentingan politik dan ekonomi dengan
pelibatan umat beragama," kata Hasyim pada acara tatap muka dengan kaum
muslimin di Canberra Islamic Center (CIC), Australia, kemarin.
Menurut Hasyim, Indonesia kini berada di tengah proses transisi demokrasi yang
berjalan begitu cepat, sehingga tidak dapat dihindari lagi munculnya berbagai
masalah, baik politik maupun ekonomi.
Limbahan masalah berimbas negatif kepada kerukunan umat beragama, sehingga
akhirnya juga memicu berbagai konflik sosial di berbagai daerah di Indonesia,
katanya.
Hasyim Muzadi di Canberra memimpin delegasi Gerakan Moral Nasional Indonesia
dalam rangkaian lawatan sepekan ke Australia bersama dengan Ketua Konferensi
Waligereja Indonesia (KWI) Kardinal Julius Darmaaatmadja dan anggota eksekutif
Persatuan Gereja Indonesia (PGI) Andreas Anagguru Yewangoe.
Selain ketiga tokoh agama itu, ikut juga dalam delegasi Ketua PBNU Rozy Munir dan
pembantu khusus Abdul Wahid Maktub. Selama berada di Australia mereka
mengunjungi Sydney, Canberra, dan Melbourne.
Selain Austalia, para tokoh lintas agama yang tergabung dalam Gerakan Moral
Nasional Indonesia itu akan melakukan lawatan ke Vatikan dan parlemen Uni Eropa
guna menggalang dukungan menentang serangan Amerika Serikat (AS) ke Irak.
Lawatan dimulai dengan mengunjungi Australia pada 9-17 Februari, dilanjutkan
menuju Vatikan dan parlemen Uni Eropa di Brussel, Belgia, pada 17-25 Februari.
Nurcholish Madjid ditunjuk sebagai ketua delegasi ke parlemen Eropa.
Bayangan politik
Sementara itu, Kardinal Julius Darmaatmadja mengatakan, hubungan antarumat
beragama di Indonesia memiliki sejarah yang baik ditandai dengan kehidupan rukun
dan saling toleransi di antara mereka.
Namun, ia tidak menolak kenyataan adanya pihak tertentu yang secara sistematis
terus-menerus berupaya merusak kerukunan umat beragama di Indonesia.
"Saya melihat adanya agenda yang ingin merusak kerukunan itu dari pihak yang
tersembunyi dalam strata sosial di Indonesia," katanya.
Julius menegaskan, konflik yang melibatkan umat beragama di Indonesia sering kali
terjadi di bawah bayangan kepentingan politik, ekonomi, dan etnis. "Kadang kala kita
sulit membedakannya karena sudah bercampur baur berbagai kepentingan, tapi yang
pasti bukan untuk alasan agama."
Menurut dia, peledakan bom di masjid dan gereja sering kali menjerumuskan semua
pihak ke dalam kesimpulan singkat bahwa pelakunya tentu dari kelompok agama.
Misalnya, kata Julius, jika ada bom di Masjid Istiqlal, maka dengan mudah terjerumus
menerka pelakunya dari kelompok Kristen atau sebaliknya.
Padahal, kata dia, kejadian itu merupakan rekayasa pihak yang tidak bertanggung
jawab yang ingin melihat umat beragama saling bertikai sehingga keharmonisan
beragama di Indonesia akan hancur.
Sementara itu, Andreas menekankan perlunya agama dijadikan dorongan moral bagi
tindakan kehidupan sehari-hari.
"Namun, selama ini saya melihat agama sudah dijadikan alat untuk mencapai tujuan
tertentu bagi kepentingan politik dan ekonomi. Tujuan itu kemudian menimbulkan
konflik di tengah masyarakat," katanya.
Agama dijadikan topeng politik juga mendapat sorotan dari Ketua PP Muhammadiyah
Syafi'i Ma'arif ketika menyampaikan khotbah salat Idul Adha 1423 di Yogyakarta,
Selasa (11/2).
Ia menjelaskan, umat Islam telah menjadi umat yang rapuh dan gamang, tak berdaya.
Pesan egaliter yang ditunjukkan melalui ibadah haji, menurut dia, telah tercabik-cabik
oleh pola hidup sebagian elite yang feodal dan terlalu memuja doktrin daulat tuanku.
Akibatnya, kata dia, umat sering dijadikan kuda tunggangan, demi meraih kekuasaan
dan istana. Hal itu, kata dia, terjadi lantaran umat Islam terlalu terpaku dan terpukau
oleh simbol, tetapi mengabaikan substansi agama.
Ia juga menyoroti kondisi di Tanah Air. Ia menjelaskan, Indonesia sudah hampir 60
dasawarsa menjadi bangsa yang merdeka, namun sampai saat ini belum menemukan
pemimpin yang adil, kuat, dan punya visi masa depan. Buktinya, kata dia, sebagian
besar rakyat masih saja bergumul dengan penderitaan dan kemiskinan lahir batin.
Ironisnya, kata Syafi'i, di tengah keadaan yang seperti ini, sebagian pemimpin malah
meminta rakyat yang sudah menderita agar tetap berkorban. Sedangkan pemimpin
sendiri tidak menunjukkan contoh yang baik tentang pengorbanan, katanya.
(EW/Ant/P-2)
Copyright © 1999-2002 Media Indonesia. All rights reserved.
|