Inpres Pemekaran Propinsi Papua Cermin Pusat Tidak Percaya
Daerah
Hilversum, Selasa 11 Februari 2003 20:45 WIB
Sikap rakus mengatur oleh penguasa Jakarta kembali diperagakan lewat Instruksi
Presiden nomor 1 tahun 2003, tentang percepatan pembentukan propinsi Irian Jaya
Tengah dan Irian Jaya Barat. Padahal sebelumnya di tahun 2001 lewat UU no. 21,
pemerintah pusat telah memberikan kewenangan melalui Otonomi Khusus Papua.
Artinya soal pemekaran menjadi hak penuh Papua. Menurut John Ibo, ketua DPRD
Papua, Inpres itu memperlihatkan pemerintah pusat tidak pernah percaya dengan
daerah. Lebih lagi menurutnya dengan Inpres itu rakyat Papua kembali dikecewakan.
Ini bisa memancing kembali keinginan rakyat Papua untuk merdeka yang sempat
teredam dengan otonomi khusus.
John Ibo [JI]: Saya menerima hampir enam ribu orang mengadakan unjuk rasa ke
kantor DPRD propinsi. Mereka menuntut pencabutan Inpres no. 1 tahun 2003, karena
merasa itu sebuah intimidasi dan penipuan kepada rakyat di tanah Papua.
Semangatnya mengandung kontradiksi kepada rakyat Papua. Dasar pemikiran
mereka bahwa kepada rakyat sudah diserahkan UU no. 21 tentang otonomi khusus
dan mereka sudah senang menerima. Walaupun UU Otonomi khusus itu juga ditolak
rakyat, karena rakyat ingin merdeka. Tetapi nampaknya setahun berjalan itu, mereda.
Tetapi tiba-tiba pemerintah pusat mengajukan melalui Presiden mengemukakan
Inpres no. 1 untuk menghidupkan kembali pemekaran propinsi-propinsi di Irian Jaya
yang tiga tahun lalu tidak berlaku di propinsi Papua. Karena, walaupun UU ada, tapi
pelaksanaan tentang pemekaran propinsi telah ditolak oleh rakyat Papua. Tetapi
pemerintah pusat tidak memperhatikan istruksi UU no. 21.
Tetapi mereka ajukan instruksi presiden no. 1 dalam sebuah surat perintah oleh
menteri dalam negeri kepada gubernur propinsi Papua mengatakan bahwa sejalan
dengan Inpres no. 1 merupakan operasionalisasi dari UU no. 21 tentang otonomi
khusus. Dalam pelaksanaan/implimentasi atas Inpres no. 1 itu, pemerintah tak
pernah menurunkan petunjuk pelaksanaan siapa yang harus menjadi pejabat gubernur
pada Irian Jaya bagian tengah dan Irian Jaya bagian Barat. Tetapi dalam sebuah
perintah, yang menurut rakyat Papua itu perintah yang ilegal sifatnya, Abraham
Ataruri disuruh bertugas oleh Hendropriyono, yang bukan presiden RI, tetapi juga
menteri dalam negeri.
Tetapi perintah yang salah itu mengakibatkan pro dan kontra pada rakyat Papua.
Sebab aturan pelaksanaan tidak ada untuk menjalankan pemerintahan pemekaran
propinsi itu. Di Papua sendiri kaum intelektual akan disponsori oleh Universitas
Cendrawasih akan duduk mengkaji Inpres no. 1 dibandingkan kepada UU 45 dan UU
no. 21 dalam rangka langkah-langkah membuat judicial review (peninjauan kembali
hukum, red.) kepada pihak-pihak tertentu di Jakarta.
Radio Nederland [RN]: Pak John Ibo, padahal rakyat telah menolak pemekaran
propinsi Papua, tetapi toh Inpres itu dikeluarkan juga. Menurut pak John Ibo, kenapa
ini? Ada apa itu, pak?
JI: Kami hanya dapati pemerintah pusat tidak menghargai pemerintah daerah. Dan itu
mungkin karena mereka melihat pemerintah daerah propinsi Papua kekuatan
politiknya sangat kecil. Selalu ada dalam intervensi oleh pemerintah pusat yang
merasa diri terlalu besar. Padahal menurut kajian hukum, langkah-langkah yang
diambil itu justru menimbulkan provokasi bagi daerah ini terutama masyarakatnya.
Kami sangat menyesal, karena aksi-aksi yang dilakukan di sini adalah di dalam
operasi intelijen. Mereka memang menggunakan beberapa alasan untuk percepatan
pembangunan di Papua, maka propinsi perlu dimekarkan. Tanpa disadari bahwa
sekarang kami sedang melakukan pemekaran kabupaten. Sebab, hanya pemekaran
kabupatenlah yang akan menjawab rentang kendali daerah menjangkau masyarakat
terpencil, bukan dengan pemekaran propinsi.
Demikian John Ibo, Ketua DPRD Papua.
© Hak cipta 2001 Radio Nederland Wereldomroep
|