The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Radio Netherland Hilversum


Proses Malino Kedua Akibatkan Para Pengungsi Maluku Terlantar

Hilversum, Minggu 20 April 2003 15:15 WIB

Lebih dari setahun setelah Perdamaian Malino Kedua, proses perdamaian untuk Maluku ini ternyata kurang berhasil. Ada kesan, bahwa aparat berwajib cuci tangan, dan proses bantuan membuat korupsi marak dan nasib pengungsi, yang semula berjumlah sekitar 300-an ribu jiwa, menjadi terkatung-katung. Demikian menurut Zairin dari LSM Tapak Ambon. Berikut penjelasan Zairin sekembalinya dari Sidang Komisi Hak Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa, yang juga mengangkat soal Maluku.

Zairin [Z]: Sebenarnya orang menaruh banyak harapan terhadap proses yang ada, walaupun kami dari civil society menganggap bahwa proses itu sebenarnya juga top down, lebih ditekankan dari Jakarta ke bawah. Rekomendasi beberapa point yang diharapkan itu bisa berjalan, sehingga proses menuju ke rekonsiliasi di Maluku itu bisa jalan. Tapi sudah tidak kedengaran implementasi dari point-point Malino itu sendiri, misalnya tim penyelidik independen nasional yang awalnya diharapkan bisa banyak membongkar kasus itu sendiri. Tragedi kemanusiaan di Maluku itu sejauh mana itu bisa diungkap lewat tim penyidik independen nasional. Dan tpn itu ternyata itu juga tidak berjalan, bahkan sudah tidak kedengaran apa sih yang dilakukan dari tpn itu yang selama ini ditunggu-tunggu oleh masyarakat.

Sebenarnya di situ pemerintah seakan-akan memposisikan diri sebagai pihak yang mencoba medamaikan dua pihak yang bertikai di sana. Sementara bukan rahasia bahwa dalam konflik Maluku itu keterlibatan pemerintah dan keterlibatan oknum aparat keamanan, tapi aparat keamanan dan kepolisian yang terlibat di sana pun, itu tidak nampak di Malino itu. Seakan-akan hanya dua pihak, Muslim dan Kristen yang bertikai.

Butir-butir dari kesepakatan perdamaian Malino itu tidak dilaksanakan di lapangan seperti pembentukan TPN yang saya bilang tadi. Bahkan ada kesan masyarakat itu semacam pertama mungkin cuci tangan pemerintah di situ, selama ini terjadi pembiaran oleh negara terhadap proses yang berlangsung selama tiga tahun di sana.

Radio Nederland [RN]: Pembiaran kekerasan ya?

Z: Ya, pembiaran kekerasan. Dengan adanya kesepakatan perdamaian Malino seakan-akan pemerintah itu yang jadi mediator, sebagai orang yang menengahi konflik yang terjadi di sana. Padahal yang terjadi hampir tiga tahun itu kan pemerintah melakukan pembiaran di sana. Itu tidak jelas posisi pemerintah dalam kesepakatan perdamaian Malino. Seakan-akan dua belah pihak itu yang bertikai.

Nah, sebenarnya tanpa ada kesepakatan perdamaian itu banyak inisiatif lokal yang sudah berjalan. Walaupun tidak diakomodir oleh pemerintah. Misalnya teman-teman Baku Bae Maluku dengan proses mereka. Atau banyak kelompok lain yang bisa mendorong ke proses rekonsiliasi.

RN: Tadi proses yang berada di bawah sejak berjalan ini seperti Baku Bae tadi, itu tidak pernah dilibatkan, tidak diajak dalam proses perdamaian yang dari atas sini ya, Malino ini?

Z: Ya, itu misalnya di Maluku Tenggara yang kondisinya jauh lebih kondusif dari Ambon dan wilayah lainnya. Itu tidak ada yang dilibatkan dari situ. Orang yang dilibatkan itu kebanyakan tidak punya proses di lapangan. Institusi masyarakat sama sekali dilibatkan dalam proses itu. Yang dilibatkan hanya perwakilan, kemudian disebut sebagai delegasi Muslim dan delegasi Kristen.

Itu jelas memposisikan dua komunitas yang ada di sana itu seakan-akan selama ini biang keladi konflik di sana. Padahal proses-proses yang dibangun di Maluku Tenggara dan lain-lain itu melibatkan institusi adat atau orang yang mempunyai legitimasi secara adat. Dan itu lebih didengar ke bawah, ketimbang mereka yang hanya ditunjuk mewakili delegasi Muslim dan Kristen di Malino itu.

Kita harus jujur bilang bahwa banyak konflik kepentingan yang terjadi di Ambon. Banyak bantuan yang kemudian mengalir ke Ambon. Walaupun sebenarnya di pulau-pulau yang ada di luar Ambon itu jauh kondisinya lebih kondusif. Tapi di Ambon selalu dikesankan bahwa kondisinya belum bisa untuk pembauran antara dua komunitas yang ada di sana, bahkan ada tuntutan dari masyarakat kenapa darurat sipil nggak dicabut saja. Toh daerahnya yang dikesankan agak rawan cuma di Ambon, tinggal kota Ambon. Karena ada segregasi wilayah itu. Itu kalau dilebur pun, saya rasa masyarakat sudah bisa.

Dan sekarang kondisi masyarakat sudah masuk keluar dari yang komunitas Muslim ke wilayah komunitas Kristen sudah saling kunjung-mengunjungi. Ada kepentingan untuk mengesankan bahwa sesuatu daerah itu kondisi keamanannya masih rawan, karena ada sekuriti bisnis di situ, ada bisnis pengawalan di situ. Karena kondisi dikesankan masih rawan sehingga mobilisasi massa tentu butuh pengawalan. Dan kepentingan terhadap bantuan ke Ambon, itu juga sebenarnya juga menghancurkan civil society di sana, misalnya penanganan pengungsi, sehingga banyak kasus korupsi yang kemudian muncul.

RN: Lalu apa yang Anda angkat di Jenewa. Anda baru kembali dari sidang komisi hak asasi manusia PBB di Jenewa.

Z: Ya, kami lebih stressing ke masalah pengungsi karena banyak korupsi yang terjadi di sana terhadap bantuan yang mestinya sampai ke pengungsi itu kemudian mengakibatkan masalah pengungsi terkatung-katung.

Demikian Zairin dari LSM Tapak Ambon.

© Hak cipta 2001 Radio Nederland Wereldomroep
 


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/batu_capeu
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044