Tangkap Wiranto dan Kawan-Kawan Supaya Tidak Ada Tribunal
Internasional
Hilversum, Kamis 27 Februari 2003 05:30 WIB
Jakarta nampaknya kebakaran jenggot setelah bekas Jenderal Wiranto dan
kawan-kawan dijadikan terdakwa kejahatan kemanusiaan oleh jaksa penuntut umum
di Timor Leste. Tidak tanggung-tanggung Presiden Indonesia Megawati Soekarnoputri,
ketua MPR Amien Rais, politisi partai dan Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda
angkat bicara untuk melindungi para tertuduh penjahat kemanusiaan ini. Kepada
Radio Nederland, Luhut M Pangaribuan, praktisi hukum masalah internasional
mengatakan para terdakwa sulit dibawa ke Dili. Pangaribuan yang pekan lalu bertemu
Presiden Timor Leste Xanana Gusmão berpendapat, Jakarta seharusnya berani
menangkap Wiranto, kalau tidak pintu tribunal internasional terbuka lebar.
Luhut M Pangaribuan [LP]: Tidak mungkin itu ya efektif, itu apa yang dilakukan oleh
Jaksa yang ada di Tim Tim itu, karena pengadilan yang di Tim Tim itu kan bukan
pengadilan internasional. Sebagaimana disepakati, di Timor Timur akan diadakan
pengadilan ad hoc. Di Indonesia juga dilakukan yang sama, karena berjanji akan
mereka masing-masing akan memenuhi standar internasional.
Jadi dua-duanya itu berdiri sendiri, walaupun secara teknis pernah ada kesepahaman
antara Jaksa Agung Republik Indonesia dengan De Melo saya kira, yang intinya
adalah dalam menjalankan proses pengadilan yang terpisah di tempat-tempat ini
karena masing-masing, baik tersangka, maupun saksi-saksi atau alat bukti yang lain
bisa berada di dua tempat yang berbeda sehingga ada kesulitan. Tapi itu sifatnya kan
kesepahaman secara legal tidak bisa diterapkan.
Radio Nederland [RN]: Ada satu catatan menarik bahwa mereka lewat jalur Interpol,
baik Timor Leste maupun Indonesia sama-sama teken, ikutan Interpol. Apakah
mungkin Interpol Indonesia menangkap Wiranto?
LP: Tapi kita belum ada perjanjian ekstradisi misalkan dengan Timor Timur. Interpol
itu kan hanya satu kerja sama saja kan itu. Misalnya Indonesia dengan Singapore.
Ada kerja sama Interpol tapi tak satu pun penjahat konglomerat yang ada di
Singapore tidak dibawa ke Indonesia. Apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah Timor
Timur adalah mengeluarkan apa yang disebut Red Notice. Tapi kalau Red Notice
tidak dilakukan, tidak ada sanksi apa pun. Jadi hanya dicatat saja dalam catatan
mereka ternyata Indonesia itu tidak efektif dalam kerja sama Interpol.
RN: Tapi apa maknanya? Apa simbol yang sebenarnya yang berusaha ditonjolkan di
Timor Leste? Apa karena ad hoc HAM di Jakarta ini tidak berjalan dengan baik
sehingga mereka terpaksa harus melakukan itu?
LP: Minggu yang lalu saya kan ke Timor Leste. Saya memberikan testimony di depan
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Saya memberikan keterangan di sana, dan saya
sudah mendengarkan ini. Dan saya juga sudah memberikan komentar. Yang mereka
ingin sampaikan adalah bahwa sungguh sebenarnya ada kejadian pelanggaran hak
asasi manusia di Timor Timur. Dan pelakunya itu mestinya itu adalah
penanggunjawab keamanan di Indonesia, dalam hal ini Pangab, dan dalam hal ini kan
Wiranto.
Dalam pengadilan ham ad hoc yang ada di Jakarta sekarang ini berhenti sampai
dengan di Den Pasar. Jadi saya kira bisa juga sekaligus bahwa ini menjadi kritik
terhadap bagaimana menjalankan pengadilan hak asasi di Indonesia yang mungkin
nanti bisa dikualifikasikan sebagai di bawah standar internasional. Dengan demikian
itu tidak pernah dianggap menjadi satu pengadilan. Sehingga nanti dengan sendirinya
international jurisdiction itu dapat dipakai terhadap masalah ini.
Kan sudah banyak dikritik bagaimana pengadilan ham ad hoc yang berjalan di Jakarta
sekarang ini yang sepertinya seperti di bisnis domestik itu kan. Tidak ada
kepentingan masyarakat internasional, padahal janjinya waktu itu kepada Sekjen
PBB adalah bahwa Indonesia akan mengadili pelanggar-pelanggar-pelanggar ham ini,
tapi dengan standar internasional.
Tapi juga di sisi lain kalau bukan, maka dengan sendirinya sesuai dengan hukum
internasional, hukum internasional menjadi berlaku kan. Seperti saya katakan tadi, ya
betul ada pelanggaran HAM berat di Timor Leste, tapi pelakunya itu adalah sampai
dengan Pangdam Udayana, sebab berlaku asas yang disebut Top Down. Kan itu
pembelaannya dia itu kan. Nah apa yang dilakukan oleh Jaksa Agung Timor Leste itu
adalah tidak demikian.
Bahwa penanggungjawabnya itu adalah bahkan barangkali dengan data-data yang
lebih konkret. Artinya dia secara langsung dan tidak langsung ikut di dalam peristiwa
itu, ya harus bertanggung jawab. Bagaimana pun besarnya kita. Kan tidak mungkin
kita mengalienasi diri dari masyarakat internasional. Apalagi secara ekonomi
ketergantungan itu kan luar biasa.
Secara hukum internasional kan ada sanksi-sanksi. Mana kala pelanggarannya itu ya
agak ringan kan bisa dikucilkan. Mana kala itu sudah sangat serius, katakanlah
sudah melanggar apa yang disebut international customary law kan bisa dienforce.
Melalui Dewan Keamanan, nanti bisa diinstruksikan untuk membentuk tribunal seperti
terjadi di Yugoslavia.
RN: Dan untuk mencegah itu paling aman memang mau nggak mau harus mengadili
Wiranto di ad hoc ham Jakarta ya?
LP: Saya kira demikian.
Demikian Luhut M Pangaribuan praktisi hukum masalah internasional.
© Hak cipta 2001 Radio Nederland Wereldomroep
|