The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

SUARA PEMBARUAN DAILY


SUARA PEMBARUAN DAILY, 8/3/2003

Catatan Jakarta

OPM, Bukan Musuh TNI Saja...

Sabam Siagian

Seorang teman yang bermukim di Bandung baru-baru ini cerita bahwa di kalangan para mahasiswa dan angkatan muda di sana, Jenderal Ryamizard Ryacudu diandalkan sebagai tokoh harapan masa depan. Ia tambahkan, ucapan-ucapan tokoh militer yang sekarang bertugas sebagai Kepala Staf Angkatan Darat dan berumur 53 tahun itu, amat diperhatikan. Mungkin karena ucapan Jenderal Ryamizard selalu tegas-tegas, mudah dipahami tanpa liku-liku pemikiran yang membingungkan.

Pada hari Kamis (6/3) lalu, ia hadir dan menyam-paikan kata sambutan pada peringatan ulang tahun Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) di Jakarta.

Baru-baru ini saya sempat bercakap-cakap dengan Jenderal Ryamizard di kediaman resminya, di kompleks perwira tinggi AD, tanpa ada suatu agenda konkret. Kesan saya, dia memang seorang "soldiers' soldier", seorang militer sejati. Tidak mengherankan kalau di kalangan prajurit biasa Jenderal Ryamizard dianggap sebagai "bapak" mereka.

Kesan lain yang saya peroleh, bagi Jenderal Ryamizard, mempertahankan "Negara Kesatuan RI" merupakan suatu "kredo".

Dalam kata sambutannya pada upacara peringatan ulang tahun Kostrad, Jenderal Ryamizard bicara tentang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Situasi di provinsi RI paling barat sudah diatur oleh suatu kesepakatan yang mengikutsertakan sebuah organisasi internasional dan para peninjau militer dari sejumlah negara tetangga.

Suatu pola kebijakan pemerintahan Presiden Megawati sedang diterapkan di sana. Pada minggu-minggu mendatang ini, kita akan saksikan, apakah pelaksanaan kesepakatan di Aceh itu cukup efektif untuk memulihkan ketenteraman dan mendorong pembangunan.

Sedangkan di provinsi RI paling timur, Papua, situasinya serba encer dan tambah semrawut. Jenderal Ryamizard menegaskan, "GAM dan OPM adalah musuh negara, bukan musuh TNI saja". Dia tekankan bahwa intern TNI tidak boleh ada "polarisasi pendapat" tentang GAM dan OPM.

Persepsinya tentang ancaman dari luar tampak dari ucapannya bahwa "kita tidak boleh terlarut dalam pembentukan opini kelompok tertentu". Ryamizard juga minta supaya "mewaspadai pihak-pihak yang sengaja atau tidak sengaja, malah telah menjual bangsa kepada bangsa lain".

Tidak usah diragukan bahwa Pak Kasad bersikap amat tulus dalam menyampaikan kata-kata peringatan itu. Juga dapat dipahami, kalau dia mengungkapkan kejengkelannya, karena ada "kelompok yang selalu mendiskreditkan TNI yang sedang berjuang mengamankan negara".

Mari kita fokuskan perhatian kita pada situasi di Papua. Sungguh ironis bahwa kegiatan OPM justru dapat angin, karena kesimpangsiuran kebijakan yang diterapkan di sana. Konkretnya, kontradiksi antara pola kebijakan yang reformatoris (menampung aspirasi masyarakat dan menyalurkannya secara kelembagaan) dan pola kebijakan yang menekankan sekuriti demi Negara Kesatuan RI (menumpas secara tegas setiap gerakan separatisme) justru menimbulkan kekecewaan dan kebingungan.

Dengan demikian, tercipta suatu kondisi sosial-psikologis yang malahan merupakan persemaian subur untuk separatisme. Pemahaman itu tidak memerlukan analisis yang njelimet.

Coba Anda telusuri proses kesemrawutan yang terjadi di Papua. Dengan susah payah, Rencana Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, dapat dirampungkan untuk kemudian diundangkan. Berbagai aspirasi dan ide ditampung, disalurkan dan dirumuskan oleh Panitia Khusus DPR yang dipimpin oleh Sabam Sirait. Ia dianggap sebagai tokoh yang akseptabel oleh sebagian besar masyarakat Papua.

Tidak semua kelompok masyarakat di Papua yang menyambut baik UU Otonomi Khusus. Ada yang masih tetap bersikap curiga terhadap "orang-orang dari Jawa". Namun pembentukan Majelis Rakyat Papua yang antara lain ditetapkan di UU Nomor 21/2001 itu dapat meyakinkan mayoritas masyarakat supaya bersikap partisipatif.

Undang-undang itu memerlukan tahap sosialisasi dan penyesuaian admistratif, khususnya yang menyangkut pengaturan alokasi dana ke provinsi otonomi khusus dan distribusinya ke kabupaten-kabupaten.

Proses itu belum selesai, maka keluarlah Instruksi Presiden No 1 Tahun 2003. Instruksi itu merupakan pelaksanaan dari suatu undang-undang yang lahir ketika BJ Habibie menjadi Presiden. Yakni UU Nomor 45/1999 tentang pembentukan provinsi-provinsi baru di Papua.

Tapi Inpres No 1/2003 itu kembali mempergunakan sebutan "Irian Jaya" berdasarkan UU No 45/1999 tadi. Maka terbentuklah, paling sedikit di atas kertas, Provinsi Irian Jaya Barat dengan ibu kota Manokwari. Kalau benar bahwa Gubernur Jaap Salossa tidak diberitahu lebih dulu tentang pembentukan provinsi baru di wilayah tanggung jawabnya itu, maka bayangkan kesemarawutan administratif yang sekarang terjadi.

Kita telusuri lagi perkembangan akhir-akhir ini untuk mendudukkan ucapan wanti-wanti Jenderal Ryamizard dalam kerangka sosial politik yang lebih luas dan konkret.

Kalau Majelis Rakyat Papua sudah dapat difungsikan, dan tidak diundur-undurkan pembentukannya, maka penyeluran aspirasi secara terbuka dan melembaga itulah yang merupakan tameng ampuh terhadap ide separtisme. Keyakinan pada proses demokrasi rupanya masih harus dimantapkan di kalangan kita sendiri.

Dan bagaimana peranan TNI, khususnya Angkatan Darat, di Papua? Menyusun ulang struktur komando yang jelas, mengadakan sistem logistik dan skala gaji yang memadai untuk daerah penugasan yang begitu terpencil, menjaga dengan ketat disiplin dengan peningkatan Polisi Militer dan Jaksa Militer, menjalin kerja sama yang efektif dengan Polisi - semuanya itu perlu dilakukan dengan penjadwalan yang ketat supaya peranan TNI di Papua dipuji dan direspek.

Kritikan terhadap TNI-AD di Papua bukanlah hanya merupakan kampanye untuk mendiskreditkannya.

Sebelum Jenderal Ryamizard menjadi Kasad, mungkin saja terjadi insiden-insiden yang menyangkut elemen-elemen TNI-AD yang tidak boleh ditolerir dalam negara Pancasila.

Fokus yang mesti dipertajam bukanlah menilai GAM dan OPM sebagai musuh negara, tapi memperlakukan masyarakat Aceh dan masyarakat Papua sebagai sesama bangsa Indonesia. GAM dan OPM akan terisolasi dan negara kesatuan RI akan tetap utuh kalau kesadaran sebagai bangsa Indonesia mekar mantap di Aceh dan di Papua.

Penulis adalah pengamat perkembangan sosial politik di Indonesia, serta masalah internasional, berdomisili di Jakarta.

----------
Last modified: 8/3/2003

 


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/batu_capeu
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044