SUARA PEMBARUAN DAILY, 11/2/2003
Disaksikan 4 Utusan Organisasi Internasional
Pdt Damanik Jadi Alat Permainan Elite Politik
PALU - Dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah
(Sulteng) yang menyatakan Pdt Rinaldy Damanik MSi membawa/memiliki 7 pucuk
senjata api (senpi) beserta 144 butir amunisinya saat hendak mengevakuasi korban
kerusuhan Poso di Desa Peleru, Kabupaten Morowali pada Agustus 2002 lalu,
hanyalah semata-mata rekayasa dari oknum-oknum tertentu yang ingin
mempertahankan kekuasaannya di negara ini.
Demikian eksepsi Damanik yang disampaikan tim kuasa hukumnya dari Tim
Pembela Keadilan dan Kebenaran (TPKK) dalam persidangan lanjutan, Senin (10/2),
di Pengadilan Negeri (PN) Palu.
Disebutkan, Damanik yang juga Koordinator Crisis Center-Gereja Kristen Sulawesi
Tengah (CC-GKST) Pusat Tentena-Poso, telah dijadikan alat permainan elite politik
pemerintahan maupun aparat keamanan untuk mengeruk keuntungan atas sebuah
jabatan dan pangkat.
Sidang semakin menarik perhatian karena selain dijaga ketat puluhan aparat
keamanan itu, juga dihadiri 4 utusan International Islamic-Christian Organization
Reconciliation dan Reconstruction (IICORR) berpusat di London, Inggris. Yakni, Mr
Zein Al-Abdin Omar (Direktur IICORR), Dr Anthony Peet (A Promivent British
Surgeon/IICORR Board Member), Joanna Milosz (International Representative
IICORR) dan Baroness Caroline Cox (Chairman IICORR juga Deputy Speaker of
House of Lord British Parliament).
Mona Soroinsong, juru bicara GKST Tentena yang ikut mendampingi ke-4 utusan
IICORR mengatakan, ke-4 utusan khusus itu datang dari London untuk melihat
secara dekat proses peradilan terhadap Damanik di Palu sehingga mengetahui persis
peristiwa yang sebenarnya.
Sementara dalam eksepsi Damanik setebal 30 halaman yang diberi judul "Melawan
Terorisme Negara", Jhonson Panjaitan SH yang membacakan eksepsi mengatakan,
tuduhan bahwa kliennya memiliki barang bukti berupa 7 senpi beserta 144 butir
amunisi yang dinyatakan penyidik tertangkap tangan di Desa Peleru pada 17 Februari
2002, hanyalah sebuah rekayasa penyidik agar memenuhi prosedur hukum bisa
menyeret Damanik ke peradilan. Dan semua itu, diduga dilakukan atas kerja sama
penyidik dengan pihak-pihak tertentu guna menyudutkan Damanik, sementara
oknum-oknum yang harusnya bertanggung jawab justru lepas dari tuntutan hukum.
Begitu juga perolehan barang bukti yang dituduhkan pada Damanik sangat diragukan
kebenarannya. Sebab kenyataan saat kejadian, aparat kepolisian sama sekali tidak
langsung menyita barang bukti sekaligus menangkap Damanik selaku orang yang
dituduh memiliki/membawa senpi secara tanpa izin tersebut.Damanik justru nanti
ditangkap di Jakarta saat hendak memberikan klarifikasi atas tuduhan yang
dikenakan padanya di Mabes Polri pada 10 September 2002 atau hampir sebulan
setelah kejadian di Desa Peleru.
Berdasarkan ketentuan Pasal 40, 42 Ayat (1) dan Pasal 129 KUHAP, menurut TPKK,
tuduhan yang dialamatkan ke Damanik sama sekali tidak berdasar dan cacat hukum.
TPKK juga menyoroti sikap aparat penyidik yang menangkap Damanik secara
sewenang-wenang dan melanggar hak asasi manusia (HAM). (128)
----------
Last modified: 11/2/2003
|