SUARA PEMBARUAN DAILY, 21/2/2003
Indonesia sebagai Medan Jihad
Oleh Neni Utami Adiningsih
Hari - hari ini suasananya identik dengan suasana di awal September 2001 lalu, yang
penuh dengan ketegangan, ketidakpastian, silang pendapat dan saling dukung.
Ketika itu dengan dalih mencari Osama bin Laden yang dituduh sebagai aktor
intelektual peristiwa hancurnya World Trade Center dan Pentagon (New York,
Amerika Serikat), 11/9/2001, kemudian Amerika Serikat melakukan agresi terhadap
Afghanistan (7/10/01).
Peristiwa tersebut kian mencuatkan istilah jihad. Dengan deraian air mata diserukan
untuk berjihad bagi Muslim di Afghanistan. Saat inipun demikian juga. Dengan dalih
akan menghancurkan persenjataan pemusnah massal, Amerika bersiap menyerang
Irak. Akibatnya berbagai partai, lembaga, organisasi, kelompok yang umumnya
berlatar belakang Islam ramai berkumpul, berdemonstrasi, berorasi untuk menolak
rencana tersebut. Tak ketinggalan ajakan berjihad apabila Amerika benar - benar
menyerang Irak.
Tentu saja solidaritas untuk mencegah terjadinya perang adalah sebuah tindakan
yang sangat terpuji. Hanya saja perlu dipertanyakan, benarkah ini merupakan
tindakan solidaritas yang murni, terlebih lagi konsisten?
Konsistensi
Hal ini penting untuk dipertanyakan mengingat masih banyaknya tindakan yang tidak
konsisten. Dengan dalih solidaritas terhadap sesama Muslim (merasa ikut sakit bila
Muslim lain disakiti) maka ajakan jihad tersebut ditanggapi secara intens. Bahkan
ada pernyataan bahwa 'dengan menyerang Irak berarti Amerika telah menyatakan
perang terhadap umat Islam seluruh dunia'.
Di sisi lain, ketika ramai-ramai menyerukan jihad guna 'menolong' saudaranya Muslim
di Irak, sangat banyak yang tidak sadar bahwa pada saat bersamaan banyak perilaku
mereka yang justru berpeluang untuk 'menyakiti' Muslim di Indonesia, yang notabene
adalah saudara terdekat. Lewat sampah misalnya. Kok bisa? Bukankah di setiap
acara 'kumpul - kumpul' selalu meninggalkan sampah berserakan? Hal ini seringkali
dianggap sepele, padahal dampaknya sangat besar. Bukankah ini akan semakin
memicu terjadinya banjir? Belum lagi dampak kemacetan bahkan aksi anarki yang
mungkin terjadi (ingat, masalah agama sangatlah sensitif).
Ada kekhawatiran bahwa tindakan tersebut hanya dilandasi oleh desakan emosional
semata. Karena kalau memang alasannya solidaritas sesama Muslim, mengapa
mereka tidak menangis, tidak mengutuk, tidak berdemonstrasi serta tidak
mengangkat bendera jihad untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, pembajakan
HAKI, korupsi, pornografi, narkoba, HIV/ AIDS, perusakan hutan, dan pencemaran
lingkungan. Bukankah itu semua adalah musuh nyata yang siap menyerang umat
Muslim di Indonesia? Bukankah semua itu mendatangkan bencana yang membuat
umat Muslim Indonesia menderita? Bukankah mereka menjadi kehilangan harta,
intelektual, moral bahkan jiwanya?
Musuh Indonesia
Berikut ini beberapa musuh nyata Indonesia. Musuh yang selayaknya diperangi.
Musuh pertama, kebodohan. Kondisi pendidikan di Indonesia sangat parah. Hanya
29% dari gedung SD yang dalam kondisi baik. Kondisi identik terjadi di jenjang yang
lebih tinggi (W. Djojonegoro, 2000). Apalagi instrumen pendukung pendidikan
(perpustakaan, laboratorium, komputer) juga sangat terbatas. Akibatnya, selain
semakin banyak anak yang tidak bisa sekolah (6,6 juta anak, 2000), kualitasnya pun
rendah.
Kedua, kemiskinan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), setidaknya 1 dari 4
penduduk Indonesia termasuk miskin. Kemiskinan inilah yang memaksa sebagian
warga Indonesia mengadu nasib di luar negeri, termasuk secara ilegal. Selain itu juga
memaksa 6,5 juta anak menjadi pekerja. 50.000-100.000 di antaranya menjadi anak
jalanan, 140.000-200.000 anak menjadi pekerja seks komersial. Kemiskinan juga
menyebabkan 7,2 juta siswa SD/ SLTP terancam putus sekolah. Menyebabkan 10-12
juta balita menjadi kekurangan gizi. Dan menyebabkan 7 dari 10 siswa SD mengalami
anemia.
Ketiga, narkotika dan obat berbahaya (narkoba). Saat ini diperkirakan ada 6,5 juta
penduduk Indonesia yang menjadi pecandu narkoba, 90% adalah generasi muda.
Dengan omzet yang sangat luar biasa besarnya. Pada tahun 1999 saja sudah
mencapai Rp 1,2 triliun (Kompas, 26/7/ 1999). Merebaknya narkoba ini perlu
diwaspadai, sebab juga menjadi salah satu pemicu merebaknya HIV/AIDS. Data di
Subdit AIDS/PMS Ditjen P2M & PLP Departemen Kesehatan memperlihatkan bahwa
hingga September 2002 telah ada 3.374 kasus (diperkirakan jumlah sebenarnya 100
kali lipat dari data).
Musuh keempat, kebobrokan moral. Saat ini, yang namanya perjudian, prostitusi,
pornografi, seks bebas, sexual abuse kian merajalela dan terang-terangan. Dunia
tontonan pun semakin 'buka - bukaan' dan vulgar. Simak 'goyang Inul' yang begitu
heboh.
Sedihnya, aneka bentuk kebobrokan moral tersebut juga menyebabkan anak- anak
menjadi korban. Penelitian di Semarang memperlihatkan bahwa 80% dari korban
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah anak usia balita hingga 18 tahun. Dari
jumlah itu, 65% di antaranya kasus incest (sexual abuse yang dilakukan oleh
keluarga sendiri). Ironinya, anak - anak pun semakin banyak yang menjadi pelaku
tindak asusila.
Kelima, kriminalitas. Kian hari kian marak saja. Bahkan kini tidak hanya merampok
harta, tetapi juga merampok kekayaan intelektual dalam bentuk pembajakan.
Setidaknya 15 juta keping VCD (90%) yang beredar di Indonesia adalah produk
bajakan. Sebagian besar berupa video porno. Setidaknya setiap tahun ada 336 juta
buah kaset bajakan. Setidaknya 93% dari perangkat lunak produksi para produsen
yang bergabung dalam Business Software Alliance (BSA) telah dibajak, dengan nilai
sekitar 193 juta dolar AS. Belum lagi pembajakan buku dalam bentuk reproduksi buku
lokal secara tidak sah, menerjemahkan tanpa hak menggandakan, melakukan
kompilasi, memotokopi.
Keenam, korupsi. Hasil survei The Political and Economic Risk Consultancy Ltd
(2002), memperlihatkan bahwa tingkat korupsi dan kroniisme di Indonesia paling
tinggi di Asia (peringkat 3 di dunia). Sehingga tidaklah aneh bila Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) menemukan ribuan kasus penyimpangan pengelolaan keuangan
negara. Ironinya penyimpangan terbesar justru terjadi di Departemen Pendidikan
Nasional dan Departemen Agama yang notabene adalah 'polisi' moral. Belum lagi dari
sisi pungli. Hampir di setiap sudut kehidupan bernegara dan bermasyarakat, diikuti
dengan 'aktivitas' pungli. Pendeknya, dari lahir sampai meninggal, penduduk
Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari pungli.
Ketujuh, kehancuran lingkungan. Hutan kita sudah hancur.
Selain didera kebakaran (setidaknya 5 juta ha/ tahun) juga diperparah oleh
penebangan liar (minimal 3,6 juta ha/tahun). Bila hal ini terus terjadi, seluruh hutan di
Sumatera akan hilang pada tahun 2005-2010, sedangkan yang di Kalimantan pada
tahun 2010-2015. Di Jawa Baratpun, diperkirakan hutannya sudah akan habis pada
tahun 2004 atau 2005 nanti (Kompas, 8/1/03). Dengan kondisi lingkungan yang
sedemikian memprihatin- kan maka tidaklah aneh bila kini Indonesia didera oleh
aneka bencana (tanah longsor, banjir bandang, kekurangan air bersih) serta aneka
penyakit.
Kedelapan, lemahnya hukum. Sedihnya semua musuh di atas dihadapi oleh
lemahnya penerapan hukum di negeri ini. Sangat banyak aturan yang tidak dijalankan
dengan benar. Akhirnya semua orang bisa berlaku seenaknya saja. Semua orang
mengajukan kebenarannya masing - masing.
Aneka 'musuh' di atas, yang bersumber dari tak terkendalinya hawa nafsu, sangatlah
layak untuk diperangi.
'Gajah di seberang lautan tampak, kuman di pelupuk mata tidak tampak'. Kiranya
pepatah ini tepat diterapkan guna mencermati fenomena jihad di negeri ini. Memang
bukan suatu hal yang salah bila kita menolak serangan Amerika atas Irak. Juga
bukanlah hal yang salah bila ada Muslim Indonesia yang ingin berjihad ke Irak. Dan
tindakan agresi Amerika itu juga bukan tindakan yang benar. Namun tidakkah kaum
Muslim Indonesia sadar bahwa sesungguhnya di negeri sendiri ini sesak akan musuh
(lihat ulasan sebelumnya) yang juga layak untuk diperangi? Bahkan para musuh
tersebut tidak kalah terorganisasinya, bak para teroris. Sehingga mereka kian
merajalela, bagai gurita raksasa.
Selama ini, ajakan jihad lebih sering diidentikkan dengan ajakan berperang. Memang
jihad dimaknai sebagai al-qital (berperang). Namun hendaknya dipahami bahwa arti
'jihad' itu sangatlah luas, tidak terbatas hanya pada adu fisik (perang). Bahkan seusai
memenangkan Perang Badar, Rasulullah mengatakan bahwa jihad yang terberat
adalah jihad memerangi hawa nafsu yang buruk. Pertanyaannya, mengapa Muslim
Indonesia tidak mengangkat bendera jihad untuk memeranginya?
Mengapa umat Muslim tidak juga berjihad untuk memerangi kerakusan masyarakat
yang menebang pohon sembarangan saja, yang mengorupsi uang negara, yang
seenaknya saja mengutip pungli? Mengapa tidak berjihad untuk memerangi gejolak
nafsu setan yang membuat kriminalitas dan kasus HIV/ AIDS meningkat, yang
membuat narkoba, pornografi, prostitusi, seks bebas, sexual abuse menjadi kian
terang - terangan?
Mengapa umat Muslim tidak berjihad untuk membangunkan otak masyarakat kita
yang selama ini tidur, yang malas membaca, yang lebih senang mencuri hasil kerja
intelektual orang lain? Mengapa umat Muslim tidak berjihad untuk memerangi
buruknya etos kerja dan disiplin masyarakat kita (buktinya seenaknya saja
membuang limbah dan sampah)? Mengapa umat Muslim tidak berjihad untuk
memerangi kesombongan, yang membuat hukum menjadi mandul? Mengapa...?
Mengapa ... ?
Sebaiknya kita mulai belajar konsisten. Jangan sampai hanya sibuk mengutuk orang
lain dan sibuk memeranginya, namun tanpa sadar (atau sadar?) berlaku sebagai
musuh (atau menjadi 'kaki tangan' musuh) yang justru merugikan bahkan membunuh
orang (termasuk Muslim) lain. Jangan sampai kita terpaku untuk berjihad di negara
lain, sementara Indonesia sendiri sesungguhnya merupakan medan jihad yang sangat
besar, sulit bahkan mematikan.
Penulis adalah pengelola (ibu) rumah tangga, pengamat masalah sosial
kemasyarakatan, tinggal di Bandung.
----------
Last modified: 21/2/2003
|