TEMPO, 20 Februari 2003
Ali Imron: "Saya Tak Menyangka akan Jadi Bintang Lapangan"
DI layar televisi, dia memang menjadi "bintang". Melalui saluran televisi Reuters dan
CC, Ali Imron, tertuduh pelaku peledakan bom Bali, menjelaskan proses pembuatan
bom itu tanpa beban. Wajahnya dan senyumnya yang khas, yang memperlihatkan
satu giginya yang ompong, dapat disaksikan seluruh penjuru dunia. Saat itu, dengan
gamblang bak seorang ahli, ia menjelaskan perakitan bom yang telah mencabut
nyawa lebih dari 180 orang di Legian, Kuta, Bali, 12 Oktober tahun lalu.
Pengajar ilmu falak di Pondok Pesantren Al-Islam, Tenggulun, berusia 33 tahun itu
memang tak menunjukkan sedikit pun kekhawatiran ketika menjelaskan satu per satu
langkah pembuatan bom. Tak aneh jika sikap ini membuat para ahli bom dari
Australian Federal Police--yang ikut menyaksikan rekonstruksi di ruang rapat utama
Kepolisian Daerah Bali di Denpasar--hanya bisa geleng-geleng kepala.
Keinginan untuk menyampaikan penyesalan atas aksi biadab yang ia lakukan
bersama kelompoknya telah memompa keberanian ayah tiga anak ini untuk tampil
dan menyampaikan peristiwa dahsyat itu secara apa adanya--walaupun ia mengaku
tidak tega melihat dua kakaknya, Ali Gufron alias Muchlas dan Amrozi, berada di
balik terali besi. Bungsu dari delapan bersaudara anak pasangan Haji Nurhasim dan
Tariyem, asal Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur, itu pun mengatakan, "Apa yang
saya katakan bisa membuat mereka marah, tapi hati saya lega." Yang membuatnya
agak prihatin adalah kantongnya yang kosong. Dia mengaku, "Setelah bom Bali,
saya hanya diberi uang Rp 2 juta oleh Idris, yang saya berikan untuk ongkos istri
saya melahirkan anak ketiga."
Bagaimana ia bisa mendapat ilmu meracik bom, sampai menyimpan puluhan senjata
dan amunisi? Bagaimana pula ia terlibat cekcok dengan Imam Samudra? Rabu
malam hingga Kamis dini hari pekan silam, wartawan TEMPO Edy Budiyarso berhasil
mewawancarainya di ruang reserse Polda Bali. Mengenakan kaus tahanan berwarna
biru, sembari sesekali menenggak sebotol Hemaviton, Ali Imron kuat berbincang
selama dua setengah jam hanya ditemani beberapa potong dodol. Berikut ini
petikannya.
Bagaimana Anda bisa bercerita dengan gamblang dalam rekonstruksi perakitan bom?
Rekonstruksi itu bukan drama, sandiwara, atau rekayasa polisi.
Dari mana Anda belajar merakit bom?
Belajar dari Afgan (Afganistan).
Bisa Anda ceritakan perjalanan Anda menuju Afganistan?
Dari rumah sebenarnya saya belum mengerti tentang pergerakan dan harakah.
Menjelang lulus dari Madrasah Aliyah Muhammadiyah Parangan, Lamongan, pada
1991, saya memiliki keinginan untuk pergi ke Malaysia, untuk bertemu dengan kakak
saya, Ali Gufron atau Muchlas. Setelah lulus, saya ke Kuala Lumpur, kemudian ke
Johor Bahru menemuinya.
Anda menceritakan tujuan Anda ke Malaysia kepada Ali Gufron?
Iya. Saya sampaikan niat saya untuk bisa sekolah lagi. Masa, baru datang langsung
menjadi tenaga kerja? Lalu dia jawab, "Kalau begitu, tunggu." Alhamdulillah, setelah
ditunggu satu minggu, ada jawaban dari dia, saya bisa sekolah ke Pakistan.
Apakah pernah terbayang pelajaran apa yang akan Anda dapat dari Pakistan?
Sempat terpikir itu sekolah biasa. Visa ke Pakistan saya dapat dari Singapura.
Setelah mendapat visa, saya diajak ke Negeri Sembilan. Di sana ketemu dengan
Abdullah Sungkar dan Ustad Abu Bakar Ba'asyir.
Apa yang Anda bicarakan dengan dua orang tersebut?
Saya masih belum tahu apa-apa. Hanya, menjelang kami berangkat, kok, seperti ada
perjanjian. Waktu itu, saya bertiga dengan dua orang teman kakak saya.
Apa isi perjanjian dengan Abdullah Sungkar dan Ba'asyir?
Saya bersalaman dengan Abdullah Sungkar dengan mengucapkan wa'allah bahwa
saya akan melaksanakan perintah Allah dan rasul-Nya dan meninggalkan larangan
Allah dan rasul-Nya semampu saya. Baru sesampai di Pakistan, dari jemaah yang
sudah lebih dulu, saya diberi tahu bahwa janji yang saya ucapkan itulah baiat.
Anda mengatakan tidak tahu apa yang akan dipelajari di Pakistan dan Afganistan.
Apakah kakak Anda, Ali Gufron alias Muchlas, tak memberikan pesan-pesan
sebelum Anda pergi?
Dia hanya berpesan agar saya memperbaiki niat, ikhlas, dan sabar.
Bagaimana perjalanan Anda dari Malaysia ke Pakistan dan bagaimana dapat
langsung bertemu dengan kelompok yang dituju?
Dengan pesawat Malaysian Airlines ke Pakistan. Di sana rupanya sudah ada yang
mengatur. Ada seorang suruhan Abdullah Sungkar dan Ba'asyir bernama
Ismail--orang Malaysia yang bertemu di Negeri Sembilan. Dialah yang mengurus.
Apa saja yang dilakukan selama berada di Pakistan?
Dari Karachi, kami langsung ke Peshawar. Di sana sudah ada yang menjemput.
Lantas kami ikut pengajian-pengajian yang isinya tentang jihad. Ada sekitar 25 orang
peserta, dari Arab, Thailand, dan terbanyak dari Filipina. Dari Indonesia, saya bertiga
dengan Sarjio dari Solo dan Arismunandar dari Kompak, Surakarta. Selain
mempelajari jihad, kami mendapat pelajaran tentang tafsir Al-Quran. Dari Peshawar,
terkadang kami pergi ke Lahore, juga ke Islamabad, untuk mengikuti pengajian. Itu
semua berlangsung sampai satu setengah tahun.
Jihad seperti apa yang disampaikan guru-guru Anda di sana?
Jihad untuk menghadapi Rusia.
Bagaimana Anda bisa masuk ke Afganistan?
Tahun 1993, kami masuk ke Afganistan, di daerah Thurkom, perbatasan dengan
Pakistan. Tempat itu milik komandan jihad Afganistan, Syekh Abdul Rossul Sayaf,
dari kelompok Ijtihad Islamiyah Afganistan. Afganistan memang memiliki program
latihan perang untuk menghadapi Rusia, yang ada kemungkinan akan datang lagi.
Apa saja yang diajarkan oleh para instruktur di kamp-kamp latihan tersebut?
Saya dilatih seperti dalam akademi militer. Instrukturnya kebanyakan berasal dari
Arab, ada juga yang berwajah Melayu, dan dari Afgan sendiri. Karena kami bukan
tentara tapi sukarelawan jihad Afganistan, setiap hari kami lari naik-turun gunung
untuk menggembleng fisik. Juga digembleng akidah, yaitu ilmu din, yang
menekankan fiqul jihad atau fikih yang membicarakan jihad.
Apa saja pelajaran ilmu kemiliteran yang Anda dapat?
Pelajaran militer dibagi empat. Pertama, pengenalan bahan peledak, pengenalan
tentang detonator, pengenalan tentang detonating cord, dan cara-cara merakit bahan
peledak menjadi bom. Kami mempelajari teknik meledakkan pohon, rel kereta api,
dan gedung. Juga cara menempatkan ranjau: ranjau antipersonel, ranjau antitank, dan
ranjau kendaraan. Pada waktu itu kami memang memfokuskan soal peledakan.
Anda juga mahir mempergunakan berbagai macam senjata api?
Itu pelajaran yang kedua. Dikenalkan berbagai macam senjata, dari pistol, revolver,
laras panjang, stand gun, senjata antitank, antipesawat, hingga artileri. Kami juga
dilatih membongkar-pasang senjata dan cara merawatnya dan memperbaiki
kerusakan. Baru kemudian kami dilatih menembak. Kami diajari menembak dalam
segala situasi. Ketiga, pelajaran tentang peta. Walaupun sedikit, dikenalkan
jenis-jenis peta, cara membaca kompas, dan yang paling penting fungsi penggaris
militer atau service protector, karena peta akan berfungsi dalam penembakan artileri.
Pelajaran yang terakhir?
Pelajaran keempat adalah taktik perang, bagaimana strategi penyerangan secara
umum, malam hari, cara menyergap dan meng-counter penyergapan, serta cara
mundur. Sampai dalam taktik mundur, kami diajari lari sambil menanam ranjau.
Kenapa Anda pulang kembali ke Malaysia?
Sekitar tahun 1994 Afganistan dikuasai gerakan Taliban. Mereka sudah bergerak
sampai ke Jalalabad, sehingga sudah dekat dengan kamp kami. Taliban akan
memerangi kelompok mana saja yang tidak mau tunduk (kepada mereka--Red.).
Waktu itu Syekh Sayaf tidak mau ikut Taliban, sehingga kami segera meninggalkan
Afganistan dan masuk ke Pakistan.
Dari Pakistan Anda ke Malaysia bersama dua orang dari Indonesia?
Hanya bersama Sarjio karena Arismunandar sudah pulang lebih dulu.
Anda tidak melaporkan latihan Anda dengan Muchlas, kakak Anda?
Saya dianggap kurang taat karena saya memang kurang suka dengan cara-cara
kepatuhan mutlak. Karena itu, saya kurang bisa bergaul dengan kelompok itu
(Muchlas dan kawan-kawan--Red.).
Setelah pulang ke Indonesia, Anda masih bergaul dengan kelompok Jamaah
Islamiyah?
Saya sering diminta melapor ke Solo karena saya dianggap berada di bawah Abu
Fatih di Solo. Apa-apa disuruh lapor, mungkin dianggap saya ini alumni Afganistan
sehingga akan diatur-atur. Apalagi sama-sama satu jemaah. Soal (sifat) kurang taat
itu memang sudah bawaan saya.
Apa benar Anda terlibat dalam pengeboman malam Natal 2000?
Benar. Waktu itu Hambali datang dari Malaysia ke Surabaya. Hambali bicara soal
pengeboman gereja. Saya kebagian mengebom gereja Mojokerto.
Dengan siapa saja Anda bertemu dengan Hambali?
Saya bersama dengan Amrozi, Hutomo Pamungkas, dan Ali Fauzi.
Siapa yang menjalin kontak dengan Hambali sampai bisa bertemu di Surabaya?
Mungkin Amrozi. Dia yang selalu membawa handphone. Pertemuan berlangsung di
sebuah kamar Hambali di Hotel Mesir, Surabaya.
Bagaimana Anda bisa memastikan orang yang Anda temui adalah Hambali?
Kami mengenal dia dengan nama Hambali. Saya mengetahui nama lainnya dari
koran, apalagi dia sudah lebih dulu mengenal Amrozi dan Ali Fauzi di Malaysia.
Apa saja yang diperintahkan Hambali kepada Anda?
Dia mengatakan saya yang akan mengatur keperluannya. "Segala urusan di lapangan
terserah kamu semua," katanya. Dia memberi uang kepada Amrozi, tapi besarnya
saya tidak tahu. Setelah itu, Amrozi membeli potasium klorat, belerang, serta
aluminium powder, karena TNT, detonator, dan firing device disediakan oleh Abdul
Matin.
Bagaimana Anda bertemu dengan Dulmatin?
Mungkin Dulmatin sudah dikontak Hambali lebih dulu.
Bagaimana kemudian Anda bisa memutuskan mengebom gereja di Mojokerto?
Dari perbincangan, "Apa ada sasaran selain di Surabaya?" Dijawab, ada, gereja di
Mojokerto. Besoknya kami mensurvei ke Mojokerto dengan sedan Crown putih milik
Amrozi. Jumlah kami waktu itu lima orang. Kami juga sempat melihat sasaran lain,
sehingga kami sempat berputar-putar ke Jombang dan Bojonegoro.
Anda tidak memprotes disuruh mengebom gereja saat itu?
Tidak. Saat itu pemikiran saya sama dengan pemikiran Hambali. Pemahaman jihad
kami sama, yang terpikir adalah pahala saja.
Anda juga pernah ke Ambon?
Iya. Tapi masih awal, tahun 1998, belum seramai kemudian. Saya mendapat tugas
dari Dewan Dakwah Surakarta lewat Arismunandar untuk mengecek apa yang
sesungguhnya terjadi di Ambon. Waktu itu ada perjanjian pertama. Jadi, belum ada
apa-apa.
Bagaimana Anda sampai bisa menyimpan senjata-senjata yang katanya dari Ambon?
Ya, itu peranan saya dalam kasus Ambon selanjutnya.
Bagaimana senjata itu sampai ke tangan Anda dan Anda sembunyikan di hutan di
Tenggulun?
Setahu saya dari cerita Mubarok, almarhum Usaid, dan Sarjio, senjata itu berasal dari
Filipina yang diselundupkan ke Ambon. Saya mendengar mereka mulai kesulitan
menyimpan senjata di sana, apalagi ada yang rusak. Mereka meminta saya
memperbaikinya karena saya memang bisa. Mereka bilang nantinya akan diambil
lagi.
Menurut pengakuan mereka, senjata itu diambil untuk apa?
Mereka bilang akan dibawa lagi ke Ambon. Apalagi ketika ada kejadian Poso. Jadi,
kalau tidak Ambon ya Poso, kalau tidak Poso ya Ambon.
Ada sebagian orang yang masih tidak percaya kelompok Anda yang melakukan
pengeboman Bali, sampai muncul komentar bahwa itu bom mikronuklir, dari mantan
Kepala Bakin Z.A. Maulani.
Silakan orang berkomentar apa saja. Boleh saja orang bilang mikronuklir yang bahan
utamanya potasium klorat, bukan uranium. Seharusnya orang yang menganalisis itu
memiliki pengetahuan tentang bom. Mereka tidak tahu bom mobil itu beratnya satu
ton lebih. Kalau muncul efek kebakaran, itulah sifat dari black powder (bubuk
hitam--Red.). Sedangkan ledakan dahsyat adalah efek detonating cord (sumbu
detonator--Red.). Sedangkan dampak yang paling parah di kanan karena kami
meletakkan booster (penguat--Red.) di sebelah kanan mobil.
Bukankah rak sudah tersusun sehingga Anda sebenarnya tidak ikut merakit secara
lengkap?
Pemasangan detonating cord dilakukan oleh Dr. Azhari. Walaupun saya tidak melihat
langsung penyambungan antarbagian, saya tahu (pengerjaannya--Red.) karena cara
penyambungan untuk bom yang ada di dalam filing cabinet itu standar. Hanya firing
device yang dibawa Dulmatin itulah yang belum bisa saya buat.
Jadi peran Anda dalam perakitan bom Bali sebenarnya apa?
Saya diserahi tugas untuk menjadikan (bom) dari detonator non-elektrik menjadi
detonator elektrik (dari bom dengan sumbu biasa menjadi bom dengan sumbu
elektronik--Red.). Kemudian (saya) memasang detonator-detonator di dalam bom.
Jadi itu saja yang saya kerjakan.
Ada saksi yang menyebut bom Paddy's berawal dari tas ransel. Apa benar?
Itu aslinya adalah rompi yang dibawa dari Solo. Rompi itu sudah dijahit dan
dimodifikasi dari sana, kemudian di Bali kami tinggal menempelkan bom yang
beratnya sekitar 4-5 kilogram TNT. Itu baru TNT, belum detonating cord, yang saya
perkirakan ada 5-6 meter panjangnya.
Dari mana Anda mendapatkan TNT yang biasanya menjadi bahan peledak standar
TNI?
TNT itu sudah dibawa Abdul Ghoni alias Umar Besar dari Solo. Katanya dibeli dari
Ambon.
Bagaimana Anda percaya bahwa TNT itu berasal dari Ambon?
Saya yakin itu dari Ambon karena bentuknya sudah bubuk. Di Ambon, TNT berasal
dari roket-roket yang ditemukan di laut zaman perang dulu yang digergaji dan diambil
TNT-nya. Kalau TNT dibeli dari aparat atau mafia, biasanya masih berbentuk blok atau
stik.
Bom Bali direncanakan di Solo, di rumah Herniyanto. Anda ikut dalam pertemuan
tersebut?
Saya ikut sekali. Waktu itu yang hadir Amrozi, Ali Gufron, Dulmatin, Abdul Ghoni,
Mubarok, dan Idris.
Apa yang dibicarakan dalam pertemuan tersebut?
Membagi tugas masing-masing. Saya menyimpulkan itu pertemuan terakhir sebelum
ke Bali.
Jadi memang Anda tidak ikut merancang aksi pengeboman dari awal?
Ya, walaupun secara ilmu militer, saya lebih mumpuni. Mungkin dianggap adik
sendiri, nanti tidak enak.
Apa sebelumnya Amrozi tidak pernah menceritakan pertemuan di beberapa tempat
di Solo?
Tidak. Saya tahu belakangan Amrozi pernah melakukan pertemuan di Klewer. Saya
orang yang tidak suka banyak teori, banyak berita, tapi tidak ada aksinya.
Apakah Amrozi atau Mubarok pernah menceritakan pertemuan mereka dengan Abu
Bakar Ba'asyir sebelum ledakan bom Bali?
Tidak.
Ada informasi Amrozi meminta izin untuk "amaliah" di Bali kepada Ba'asyir?
Saya tidak tahu persoalan izin. Begini ceritanya. Waktu itu ada berita Abu Bakar
Ba'asyir terkait dengan orang-orang yang diperiksa di Malaysia dan Singapura,
padahal rencana peledakan Bali sudah matang. Imam Samudra dan Idris sudah di
Bali. Saya, yang pulang sebentar ke Lamongan, bertemu dengan Amrozi dan
Mubarok, yang kebetulan datang dari Solo. Saat itulah saya tanyakan, apa rencana
Bali tidak membuat Abu Bakar Ba'asyir cs jadi kacau, apa rencana di Bali diteruskan.
Jawabannya tidak ada masalah. Berarti jalan terus.
Anda tahu bahwa Abu Bakar Ba'asyir pemimpin tertinggi dari kelompok Jamaah
Islamiyah?
Tahu, dia paling atas. Tapi, apa saya masih tercatat atau tidak sebagai anggota
jemaah, saya tidak tahu karena saya tidak pernah melapor.
Anda tahu bahwa kakak Anda, Ali Gufron, merupakan petinggi Jamaah Islamiyah
dengan pangkat Ketua Mantiqi Ula?
Saya mendengar cerita itu dari Rozi. Tapi saya tidak peduli atas cerita-cerita
tersebut. Mantiqi itu apa, wakalah itu apa.
Polisi juga menemukan buku Pedoman Umum Perjuangan Jamaah Islamiyah.
Sebagai anggota, Anda pernah membacanya?
Itu yang lucu. Saya sebagai anggota, kalau di polisi, mungkin sudah mayor. Kok,
melihat saja tidak pernah. Apalagi membaca. Jadi saya tak tahu warna sampulnya.
Saya tahu ada buku tersebut dari Amrozi. Rozi pernah bercerita ada buku tersebut
yang ia singkat dengan PUPJI.
Kabarnya, Anda sempat berantem dengan Imam Samudra pada detik-detik terakhir
menjelang eksekusi bom?
Saya memang tak menyangka akan jadi bintang lapangan. Saya hanya sekali diajak
rapat. Awalnya hanya menjadi sopir ke Bali.
Apa saja yang membuat Anda ribut dengan Imam?
Pertama, ia berjanji akan ada orang yang membawa bom ke tempat tujuan, ternyata
kedua Iqbal tak bisa nyupir. Idris sama saja. Kedua, soal bom Renon, Imam maunya
bom bunuh diri. Saya bilang, siapa yang mau dibunuh, wong sepi tak ada orang.
Apalagi, ketika akhirnya sayalah yang ditunjuk meledakkan Renon, Imam bilang
kalau bisa sampai pagar (Konsulat AS). Imam sendiri mudah tersinggung. Kalau
merasa ada yang tidak patuh, dia marah dan menganggap tidak taat kepada
pemimpin. Sedangkan sebagai pemimpin, dia tidak turun langsung saat peledakan.
Mengapa Anda menyatakan pelaku peledakan bom Bali perlu dibanggakan? Anda
bangga dengan aksi kejam itu?
Sekarang ini saya sudah sadar. Kemarin memang saya mengatakan bahwa
kemampuan kami yang melakukan peledakan di Bali ini patut dibanggakan sebagai
putra Indonesia. Tapi perlu disalahkan karena penerapannya yang salah.
Imam Samudra dikabarkan sudah meminta maaf kepada keluarga korban yang
muslim. Anda sendiri?
Saya meminta maaf kepada semuanya. Walaupun mereka bukan muslim,
seharusnya tidak boleh diperlakukan seperti itu.
Apa yang membuat Anda sadar? Apakah ada tekanan polisi?
Tidak. Ini perenungan saya selama 14 hari di Pulau Berukang. Jihad kok jadi
menderita, padahal dari pengalaman sahabat nabi dan para tabi'in, jihad membuat hati
semakin tenang. Di sana, Mubarok sering bertanya, apa jalan kami salah. Saya
jawab, mungkin salah.
Anda tidak mengajak mereka untuk seperti Anda?
Itu terserah mereka. Saya melihat mereka menganggap apa yang mereka lakukan
benar.
Anda sempat berbincang-bincang dengan kakak Anda dan Imam Samudra di dalam
sel?
Saya sebenarnya kasihan melihat Ali Gufron, Imam Samudra, dan Amrozi berada di
balik terali besi. Kami bisa bicara, tapi mesti teriak-teriak karena beda ruangan. Saya
juga khawatir penyesalan yang saya sampaikan ini membuat mereka marah. Karena
itu, di sel, kalau saya dipanggil-panggil mereka, saya pura-pura tidur.
Apa yang biasanya dikatakan Ali Gufron dan Imam Samudra kepada Anda?
Biasanya Ali Gufron berteriak, "Ali jangan sedih, sabar!" Saya tak menjawab, diam
saja, karena saya punya pendirian sendiri, takut cidal (berdebat). Jadi saya
betul-betul menghindar.
Mengapa kesadaran Anda datang terlambat, sehingga Anda harus ditangkap di Pulau
Berukang?
Itu namanya perjalanan hidup, perjalanan takdir. Sekarang saya sudah tertangkap,
ya, saya ingin ini cepat selesai.
Apa yang sedang Anda lakukan ketika polisi menangkap Anda di Pulau Berukang?
Waktu itu saya sedang tidur-tiduran sore.
Apa benar Anda hendak pergi ke Sabah sehingga Pulau Berukang sebagai transit
saja?
Sabah masih jauh. Niat saya ya tinggal di sana.
Kabarnya, selama pelarian, Anda membawa senjata. Apa betul?
Iya. Walaupun saya membawa senjata dan saya berpikir kalau ada polisi akan saya
tembak, saya berkeyakinan, kalau memang takdir saya tertangkap, saya akan
tertangkap.
Anda punya pesan kepada mereka yang belum menyerah?
Kalau bisa saya mengirim berita kepada mereka, saya katakan menyerah sajalah.
Mari kita tanggung bersama-sama. Sampai berapa lama mereka tahan untuk terus
lari.
Anda pernah disiksa polisi untuk mengakui sesuatu kepada para penyidik?
Ndak pernah. Kalau ditabok sekali, ya, pernah juga, ha-ha-ha…. Ini pun sewaktu di
Kalimantan. Gara-garanya Imam Samudra. Dia bilang yang tewas di kafe satu orang,
saya mengatakan dua orang. Setelah itu tidak pernah (ditabok).
Kalau melihat dampak bom Bali yang besar, hampir 200 orang terbunuh, Anda bisa
dihukum mati.
Saya siap. Pengakuan saya bukan untuk mengurangi hukuman, tapi agar tidak ada
lagi hal seperti ini, khususnya untuk anak keturunan saya, murid, dan saudara.
Berdakwalah yang wajar saja.
Catatan : Tulisan yang sama sudah dimuat di Majalah Tempo Edisi 17 – 24 Februari
2003.
Copyright @ tempointeraktif
|