|
Gatra omor 41/IV, 29 Agustus 1998 ACEH
Membongkar Kubur Membakar Rumah Jagal
Lokasi kuburan massal di Aceh mulai digali. Komnas HAM berhasil menemukan puluhan kerangka dalam satu lubang. ABRI minta maaf, dan mulai menarik pasukannya.
INI pembunuhan! Ini pembunuhan! Catat! Ini bukan fitnah dari LSM atau media massa. Ini Baharudin Lopa yang bilang!" seru Baharudin Lopa dengan dahi berkerut. Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) itu geram saat melihat potongan tulang manusia berserakan di dalam lubang yang digali di bukit Ujong Salam, Desa Seuntang, Aceh Utara.
Dari satu lubang itu, ditemukan lima tengkorak utuh, dan 12 pasang tulang kaki manusia. Selain itu, penggalian pada Sabtu pekan lalu itu juga menemukan beberapa "aksesori" pembantaian. Misalnya, kain penutup muka, potongan tali untuk mengikat tangan, celana panjang, dan celana dalam yang dipakai korban.
Memang, sejak Kamis pekan lalu, tim Komnas HAM terjun langsung ke Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur, dalam rangka mengumpulkan bukti-bukti kasus pembantaian di Aceh. Dalam tim itu Lopa didampingi Koesparmono Irsan, M. Salim, dan Soegiri. Tim ini dipandu Ketua Presidium Forum LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) Aceh, Abdul Gani Nurdin, yang pertama kali mengungkap pembantaian massal tersebut.
Kuburan massal di Desa Seuntang itu terletak 50 kilometer dari Lho'seumawe. Menurut penuturan warga setempat, lokasi pembantaian di Bukit Ujong Salam, yang juga dikenal dengan sebutan Bukit Seuntang itu, dibuat sekitar tahun 1991. Saat itu, di Bukit Seuntang sedang ada proyek pembuatan saluran irigasi, yang digarap kontraktor PT Sac Nusantara. Aparatur keamanan lalu meminjam alat berat milik kontraktor untuk membuat enam lubang berukuran 3 x 3 meter, dengan kedalaman lima meter.
Sejak saat itu, aparatur keamanan sering membawa tawanan hasil operasi militer Jaring Merah ke Bukit Seuntang. "Orang tangkapan itu didudukkan di pinggir lubang, ditembaki, dan mayatnya langsung terjerembap masuk lubang," kata M. Kasem, imam meunasah (musala) di Seuntang. Kasem ketika itu bertugas sebagai penjaga alat berat milik kontraktor irigasi tersebut. Usai membantai korbannya, biasanya, aparatur keamanan meminjam alat berat untuk menutup kuburan massal itu.
Yusuf Hasyem, 51 tahun -juga mantan penjaga alat berat Sac Nusantara- mengaku pernah melihat tumpukan mayat dalam lubang di Bukit Seuntang, sebelum diuruk dengan tanah. "Jumlahnya saya tidak tahu, saya hanya melihat saja, tapi dilarang menghitung," kata Hasyem. Karena banyaknya mayat tak dikenal yang dikubur di situ, penduduk pun menyebut lokasi pembantaian itu sebagai kuburan "Teungku Rame-Rame".
Berdasarkan petunjuk Hasyem pula, Komnas HAM berhasil menemukan lokasi kuburan massal tersebut. Dari enam lubang kuburan, tampak tiga lubang telah terpakai, dan diuruk dengan tanah. Tiga lainnya masih menganga, belum termanfaatkan. Disaksikan ratusan penduduk dan puluhan wartawan, tim Komnas HAM menggali salah satu lubang kuburan massal itu, dan kemudian menemukan puluhan kerangka manusia. "Ini sungguh persoalan luar biasa," kata Lopa.
Sehari sebelumnya, tim Komnas HAM juga mengunjungi kuburan massal di pantai Kuala Tari, Desa Jeumeurang, Kecamatan Kembang Tanjung. Lokasi pembantaian di Kuala Tari itu ditunjukkan Usman Ibrahim, seorang warga Jeumeurang. Usman mengaku pernah ditangkap dan hampir dieksekusi di Kuala Tari. "Saya dilepas setelah menyerahkan tebusan 70 mayam emas," kata Usman. Satu mayam sama dengan tiga gram.
Bersama warga, Komnas HAM kemudian menggali satu lokasi kuburan, sekitar satu kilometer dari permukiman penduduk. Baru setengah meter menggali, tampak dua buah karung pupuk yang terlilit akar. Dari kedua karung itu ditemukan dua kerangka manusia secara utuh. Kedua tengkorak itu jelas korban eksekusi, karena salah satu di antaranya masih mengenakan kain hitam penutup mata. Pada kedua tengkorak itu juga ditemukan lubang bekas terjangan peluru.
Seingat warga Jeumeurang, ada sekitar 80 mayat yang ditanam di beberapa tempat di sekitar itu. Namun, Komnas HAM cuma menggali satu lubang. "Sudah cukup, ini saja sudah membuktikan adanya kuburan massal selama DOM," kata Lopa. DOM artinya Daerah Operasi Militer.
Kerangka temuan tadi lantas diserahkan kepada tim ahli forensik Kepolisian Daerah Sumatera Utara, yang datang bersama rombongan Komnas HAM. Tim forensik inilah yang bertugas memastikan penyebab kematian korban. "Kita tidak ingin, orang meninggal karena sakit dikatakan mati ditembak," kata Koesparmono. Usai diperiksa, kerangka itu dibungkus dengan kain kafan baru, dan kembali dikuburkan sesuai dengan syariat Islam.
Dari Jeumeurang, rombongan Komnas HAM bergerak menuju rumoh geudong, sebutan untuk sebuah rumah adat Aceh, di Desa Billie Aron, Glumpang Tiga. Rumah yang dibangun pada 1906 itu adalah peninggalan Ulee Balang (Panglima Perang) Teuku Radja Mahkota di Glumpang Minyeuk. Sejak April 1990, rumah itu digunakan sebagai pos satuan taktis ABRI dalam operasi militer di Aceh.
Oleh warga setempat, rumoh geudong itu dikenal sebagai rumah jagal. Sebab, di rumah itulah anggota atau simpatisan GPK (gerakan pengacau keamanan) disiksa dan dibantai. Kabarnya, di halaman belakang rumah jagal itu ada kuburan berisi 12 warga Aceh. Tim Komnas HAM pun menyuruh penduduk menggali lokasi itu. Ternyata, tanah di situ sudah gembur, seperti bekas digali. Di tempat itu telah dipenuhi sampah, dan habis dibakar. Tak jelas ulah siapa.
Yang pasti, tim ini masih menemukan sisa-sisa rambut, tulang jari kaki, dan jari tangan manusia. Tak ada tengkorak. "Saudara-saudara sudah saksikan. Ini kerangka manusia, ya, bukan kerangka kucing," kata Lopa, sambil mempertontonkan potongan tulang tersebut.
Dari pemeriksaan di dalam rumah jagal itu, Komnas HAM menemukan seutas rantai yang tergantung pada palang kayu. Diduga, rantai itu merupakan alat menyiksa para korban. "Tuhan Mahaadil, saya bisa melihat rantai dan kayu itu, sehingga laporan kami makin lengkap," kata Lopa. Sepeninggal rombongan Komnas HAM dari rumoh geudong, kekesalan penduduk Billie Aron malah meledak-ledak. Sebagai pelampiasan, mereka melakukan aksi balas dendam. Rumah jagal itu diobrak-abrik, lalu dibakar.
Perburuan mencari bukti-bukti kekejaman ABRI di Aceh tak berhenti di sini. Tim Komnas HAM kemudian mengunjungi kuburan limong teungku (lima guru mengaji) di Desa Dayah Teumanah, di Kecamatan Trienggadeng. Lima guru mengaji dari Ulee Glee itu tewas ditembak pada 1993. Lalu, jenazah mereka dimakamkan di bawah rumah panggung milik Imum Rahman.
Sebenarnya, jumlah kuburan massal masih bertebaran. Tapi tak semua tempat itu bisa didatangi Komnas HAM. Di setiap lokasi pun, penggalian cuma dilakukan pada satu lubang. "Komnas HAM tidak mungkin menggali semuanya," kata Lopa. Penggalian cuma dilakukan di beberapa kuburan untuk membuktikan adanya pelanggaran HAM di Aceh. Hasil temuan tadi kemudian dikonfirmasikan dengan laporan saksi mata dan warga sekitar lokasi kuburan massal itu. Kesimpulan sementara, Komnas HAM percaya ada pembantaian di Tanah Rencong itu.
Fakta ini memang sulit terbantahkan. Pihak ABRI pun, lewat Panglima ABRI Jenderal Wiranto, juga sudah mengakui ada berbagai penyimpangan selama operasi militer di sana. Maka, usai salat di Masjid Baiturrahman, Lho'seumawe, Jumat dua pekan lalu, Wiranto meminta maaf kepada rakyat Aceh. Dan hari itu pula status DOM resmi dihapus dari Aceh. Konsekuensi dari pencabutan status itu adalah semua pasukan nonorganik ditarik dari Aceh, dalam waktu sebulan.
Janji Wiranto atas penarikan pasukan itu mulai terwujud. Rabu pekan lalu, Panglima Kodam Bukit Barisan, Mayor Jenderal Ismed Juzairi, memimpin upacara pelepasan 250 personel ABRI di Lapangan Hiraq, Lho'seumawe. Pasukan yang ditarik tersebut adalah satu Satuan Setingkat Kompi (SSK) Batalyon Infantri (Yonif) 132, yang dikembalikan ke Bangkinang (Riau), dan satu SSK dari Yonif 133 yang dikembalikan ke Padang Panjang, Sumatera Barat. Sisanya, 50 personel Kopassus, ditarik kembali ke Jakarta.
Secara pelan-pelan, truk yang membawa pasukan itu keluar Aceh, diiringi sorak-sorai ribuan warga Lho'seumawe. Namun, di balik sukacita itu, ada sekitar 50 warga Aceh yang menangisi kepergian tentara tersebut. "Kami takut, gerombolan itu kembali dan mengancam lagi," kata Cut Ainul Mardhiah, janda dari Idi Rayeuk, Aceh Timur. Almarhum suami Ainul, Sersan Kepala Trimin Trinartanto, adalah anggota Komando Rayon Militer di Idi Rayeuk, yang tewas dibantai GPK Aceh, pada 1989.
Kekhawatiran akan kembalinya GPK Hasan Tiro, belakangan, memang dirasakan sebagian masyarakat. Soalnya, seminggu sebelum DOM dicabut, beredar kabar bahwa bendera Aceh Merdeka di Cot Treeng, Aceh Utara, dinaikkan. Selain itu, di beberapa tempat beredar selebaran berisi imbauan Panglima Perang Aceh agar rakyat Aceh naik ke gunung, bergabung dan mengangkat senjata bersama GPK. Selebaran itu ditulis di kertas kuarto, berstempel lambang sepasang harimau sedang mengangkat sebuah mahkota, serta sepasang rencong melintang di bawahnya.
Seriuskah ajakan itu? Muhammad Saleh, Ketua Badan Koordinasi HMI Aceh, malah mencurigai selebaran itu sebagai aksi kontraintelijen, demi mempertahankan operasi militer di Aceh. Soalnya, keberadaan GPK Aceh Merdeka sangat diragukan. "Kami tidak pernah mendengar tokoh spiritual ataupun tokoh intelektual di belakang gerakan itu. Ideologi gerakan itu pun tak jelas," kata Muhammad Saleh.
Namun, dalam catatan Komandan Korem 011/Lilawangsa, Kolonel Dasiri Musnar, dipastikan ada 52 anggota GPK yang bersenjata masih berada di hutan-hutan Aceh. Di mata Dasiri, gerombolan Hasan Tiro itu juga banyak membantai rakyat di Aceh. Akibatnya, "Warga transmigran yang lari dari Aceh jumlahnya banyak sekali," kata Dasiri.
Bambang Sujatmoko, dan Nurlis Effendi (Lho'seumawe)
|