27 Juli: Sebuah Pandangan Retrospektif


27 Juli adalah sebuah peristiwa penting dalam sejarah politik Indonesia 'moderen.' Sebuah tragedi nasional karena melibatkan pertumpahan darah, 'pembunuhan,' dan kekerasan. Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana itu bisa terjadi? Dan apa efek dan konsekuensi dari peristiwa tersebut? Tulisan ini memandang peristiwa itu secara personal. Tulisan ini akan bertanya lebih banyak tentang peristiwa itu sebagai alat bantu refleksi masa depan politik Indonesia.

Pada 'awalnya,' adalah sebentuk konfrontasi fisik antara Pendukung Megawati dan pendukung Surjadi pada Sabtu pagi hari, tetapi konfrontasi itu tidak hanya terbatas pada kantor DPP PDI di jalan Diponegoro, melainkan terus merebak dalam bentuk amukan massa yang mengakibatkan kematian, luka-luka, baik berat maupun ringan, kerusakan gedung dan kendaraan, dan juga penjarahan toko-toko di sekitar tempat kejadian. Lebih dari 200 orang di tangkap oleh 'yang berwajib' setelah keributan itu. Lainnya ada yang dibawa ke rumah sakit akibat luka-luka.

Peristiwa 27 Juli timbul akibat friksi di dalam tubuh PDI sebagai partai politik. Ketika Megawati semakin memiliki popularitas yang cukup besar dan basis politik yang makin menguat, dia secara tiba-tiba dan tidak 'legal' di- 'sepak' keluar dari jabatan sebagai ketua umum PDI. Melalui Kongres PDI di Medan yang disponsori pemerintah, Surjadi menjadi ketua umum dan otomatis pemerintah hanya mau secara sah mengakui PDI hasil "kongres" Medan.

PDI 'versi' Megawati disudutkan dari segala pihak dan jurusan. Megawati dan pengikutnya tidak punya cara lain kecuali mempertahankan kantor DPP PDI sebagai bentuk legitimasi simbolik. Mimbar bebas kemudian juga didirikan untuk membantu orang-orang mengekspresikan pendapat mereka mulai dari ketidak puasan pribadi sampai kritik pedas terhadap pemerintah. Beberapa hari sebelum 'penyerangan' kantor DPP PDI, mimbar bebas itu sudah dinyatakan terlarang oleh pemerintah dan harus ditutup. Tapi sepertinya peringatan itu tidak didengar oleh Megawati dan pengikut-pengikutnya. Jadi 'penyerangan ke kantor DPP PDI bisa dikatakan sebagai akibat dari ketidak mauan Megawati dan pengikutnya untuk 'taat' kepada 'hukum.'

Bila penyerangan ke kantor DPP PDI pada tanggal 27 Juli 1996 hanya upaya untuk menegakkan 'hukum,' kenapa insiden 27 Juli ini dilihat sebagai peristiwa yang terburuk dalam beberapa dekade terakhir ini? Dan rentetan peristiwa setelah 27 Juli mempunyai efek dan konsekuensi yang sangat jauh dan memprihatinkan.

Apakah benar peristiwa 27 Juli itu hanya semata-mata terbatas hal-hal di dalam tubuh PDI saja? Atau adakah hal yang lebih besar yang membayangi peristiwa kemakaran 27Juli tersebut? Atau apakah ada motivasi dan tujuan yang lain? Sepertinya banyak sekali berbagai macam penjelasan mengenai peristiwa itu yang bisa membuat orang menggaruk-garukkan kepalanya. Tetapi marilah kita lihat sejenak apa yang media massa, termasuk media cetak, katakan mengenai peristiwa tersebut. Memang pada awalnya (Kompas 29/7/96, 30/9/96), menunjukkan adanya indikasi, ini bukan sekadar masalah interen PDI. Tetapi ada oknum-oknum yang menunggangi PDI untuk menciptakan kemakaran seperti yang dijelaskan oleh Pangab, Jendral Faisal Tanjung. Pernyatan ini juga diikuti dan diulang kembali oleh beberapa pejabat tinggi ABRI, dan satu diantaranya yang paling banyak bersuara mengenai penyebab kerusuhan 27 Juli adalah Letjen Syarwan Hamid.

Menurut versi pemerintah, dalam hal ini ABRI, adalah bahwa kerusuhan di kantor DPP PDI di dalangi oleh oknum-oknum yang tidak suka pada pemerintah Orde Baru dengan menggunakan masalah interen PDI. Mereka pada dasarnya (menurut pemerintah) adalah anti-pemerintah, anti-Pancasila, dan anti-stabilitas, atau dengan kata lain mereka adalah musuh utama pemerintah. Dalam menunjuk oknum atau dalang kerusuhan, pemerintah rupanya sudah menyiapkan sebuah calon yaitu PRD (Partai Rakyat Demokratik) yang belum lama sebelum peristiwa mengeluarkan deklarasi partainya.

Dari hasil rapat Polkam beberapa hari setelah kejadian, Soesilo Soedarman, Menko Polkam, menyatakan kepada publik bahwa PRD tidak berasaskan Pancasila, melainkan asas sosialisme. Selain itu ditambahkan bahwa gerakan, gaya, dan cara pendekatan PRD ini sangat mirip dengan PKI di zaman Orde Lama. Mereka mendekati rakyat kecil, buruh, dan orang yang tersingkir akibat pembangunan nasional dan memobilisasi mereka dalam menyuarakan hak mereka sebagai warga negara Indonesia. Dengan gaya yang khas dan 'revolusioner,' maka PRD mudah sekali dicap oleh pemerintah sebagai partai komunis yang ingin merobohkan pemerintah Orde Baru. Umur PRD memang sangat singkat sekali. Dengan cap komunis dan dalang kerusuhan 27 Juli, PRD seketika itu menjadi target 'perburuan' pemerintah, dan cap komunis itu sekaligus memberikan legitimasi hukum kepada pemerintah untuk menumpas PRD sampai ke akarnya.

Perburuan anggota-anggota penting PRD dilakukan dengan sangat intensif dan cepat, hunting season,kata media luar negeri, dan seakan-akan dapat dikatakan seperti 'membabi-buta.' Sehingga hanya dalam waktu kurang dari tiga minggu orang-orang penting PRD, termasuk ketuanya, Budiman Sudjatmiko, dapat ditangkap. Ternyata pemerintah tidak puas dengan penangkapan 'otak' dibalik PRD, karena menurut pemerintah ada dalang atau aktor intelektual atau istilah kerennya "Die Hard" (meminjam istilah Syarwan Hamid) dibelakang PRD. Tuduhan aktor intelektual PRD jatuh pada Romo Sandyawan SJ yang mengaku membantu menyembunyikan ketua dan beberapa anggota lainnya, dengan alasan murni kemanusiaan. Romo Sandyawan, direktur Institut Sosial Jakarta (ISJ), yang juga dikenal sebagai Romo pemulung, akhirnya ikut dituduh sebagai tersangka sebagai rentetan peristiwa 27 Juli. Tuduhan Romo Sandyawan sebagai motor intelektual PRD dicoba dibawa lebih jauh lagi dengan mengkaitkan Romo Sandyawan dengan ajaran Teologi Pembebasan yang 'berbau' Marxist yang sangat populer di negara-negara Amerika Latin dan juga Filipina (Gatra, 31/8/96).

Dengan dimasukkannya unsur "Teologi Pembebasan" ke dalam rangkaian cerita 27 Juli, ada sinyalmen-sinyalmen yang ingin meneruskan kearah pemikiran yang lebih jauh, yaitu bahwa agama Nasrani dianggap sebagai motor kerusuhan 27Juli dalam upayanya untuk mendiskreditkan pemerintah Orde Baru. Meskipun ada sangkaan bahwa Adi Sasono, sekjen ICMI, ikut terlibat di PRD, cukup menarik perhatian tapi tidak menjadi sorotan yang tajam. Ditambah lagi, walaupun pemerintah sudah 'mengangkat' Romo Sandyawan sebagai aktor intelektual PRD, pemerintah sepertinya tidak puas hanya dengan satu aktor (meskipun sudah ada Muckthar Papakhan, yang segera ditangkap setelah peristiwa 27Juli karena dituduh terlibat langsung). Pemerintah sepertinya ingin sekali menambah perbendaharaan aktor intelektual PRD dengan terus menerus mencari orang-orang yang punya atau pernah hubungan dengan PRD sebagai kelanjutan peristiwa 27Juli. Sampai di mana skenario ini akan berlanjut?

Kalau kita melihat cerita rekonstruksi di atas, kita dapat melihat kalau insiden di kantor PDI hanya sebuah elemen bukan inti dari cerita 27Juli. Malah cerita mengenai PDI sendiri sepertinya hanyut dibawa cerita penangkapan tokoh PRD (yang anti pemerintah atau pro-demokrasi?). Misalnya kasus tuntutan Megawati kepada pemerintah kurang mendapat sorotan yang cukup banyak. Sebaliknya alur cerita pengejaran orang-orang yang dianggap 'dalang' peristiwa 27Juli menjadi sorotan utama liputan media massa. Bahkan berita tentang korban 27Juli sempat 'tenggelam' sampai Komnas HAM mengumumkan hasil temuan kontroversial mereka tentang 74 orang yang hilang.

Berita kontroversial Komnas HAM nampaknya tidak cukup kuat untuk mendapat sorotan media massa yang intensif. Karena cerita 27Juli ini menjadi sangat rumit sehingga sebab dan akibatnya menjadi tidak pernah jelas dan dapat dimengerti.

Tulisan ini tidak berupaya untuk menjawab semua intrik-intrik yang ada dalam peristiwa 27Juli yang lalu. Tulisan ini hanya meninggalkan sejumlah pertanyaan-pertanyaan sebagai alat bantu untuk merefleksikan kondisi politik Indonesia dan masa depannya. Siapa sebetulnya dalang kerusuhan 27Juli itu? Pemerintah? PRD? Atau oknum-oknum tertentu yang lain? Apakah pemerintah dan kubu-kubu oposisi adalah aktor-aktor simbolik yang bermain dalam proses pembentukan politik kebangsaan di Indonesia? Apakah ini hanya permainan politik elit yang berusaha membatasi timbulnya politik masyarakat yang berusaha ikut dalam panggung wacana politik Indonesia 'modern'? Apakah ada skenario 'besar' di dalam wacana politik Indonesia dimana insiden 27Juli adalah salah satu bagian dari cerita? dapatkah masyrakat membentuk politik alternatif sebagai bentuk resistensi dimana kalau bentuk oposisi sebagai lawan tanding yang tangguh sudah di 'hancur'-kan oleh hegemoni pemerintah?

Sungguh sulit untuk menjawab pertanyaan ini semua... (*mk1)