Perubahan struktur lembaga masyarakat atau negara, yang terencana, yang mengarah ke distribusi kekuasaan, yang bertujuan menciptakan keterbukaan politik, mem-perluas partisipasi massa, terutama untuk golongan masyarakat tertentu, disebut reformasi politik.
Reformasi, merupakan pernyataan sikap kompromis antara, golongan yang memiliki pengaruh lebih besar, di masyarakat dengan kekuatan sosial yang pengaruhnya relatif lebih kecil. Jalan menuju kompromis, tak selamanya mulus. Artinya, tak tertutup kemungkinan terjadi konflik atau penggunaan kekerasan. Kompromis berarti ‘genjatan senjata’. Karena, legitimasi reformasi bersumber pada keputusan yang diambil berdasarkan suara mayoritas; demokratis.
Dinamika, proses reformasi timbul sebagai akibat dari krisis yang ada di masyarakat. Karena, baik aturan-main ataupun institusi tak berfungsi semestinya. Sehingga pemerintah pun tak sanggup lagi mengatasi berbagai macam problem, yang timbul sebagai akibat dari perubahan sosial. Namun penyebab krisis sesungguhnya, adalah, hubungan timbal balik antara masalah ekonomi dan kesenjangan sosial. Disamping itu, sistim lama terbukti sudah kropos, tak berfungsi. Karena itu, sekelompok masyarakat kemudian mengambil inisiatif. Mereka menggunakan kesempatan (krisis ekonomi), untuk menuntut distribusi kekuasaan. Dengan kata lain, pembagian ‘kue’ yang fair dari pemerintah. Tuntutan itu, kemudian mendapat pengakuan dari masyarakat luas. Dan berkesinambungan. Strategi reformasi jangka panjang disebut reformisme. Yang ber-arti mengantarkan masyarakat kepada kondisi sosial-ekonomis yang lebih baik. Ini bukan berarti, tanpa kendala sama sekali. Malah sebaliknya. Musuh utama reformisme: konservatisme dan komunisme.
Mula mula reformasi bertujuan formal. Merubah struktur masyarakat. Merubah undang-undang atau konstitusi. Mencari akses ke lembaga-lembaga tertentu. Membuat peraturan. Membentuk lembaga-lembaga baru, yang sudah pasti, bertujuan membatasi, kekuasaan, yang tak terkontrol sebelumnya. Karena itu, selama proses reformasi berlangsung: masalah moral, norma, etika serta perubahan prilaku (habitus) terasa semakin penting. Karena itu, yang jelas misalnya, masalah emansipasi wanita, problem minoritas (etnis/religius) dan sebagainya bakal lebih marak - di masa depan.
Apakah dapat dibenarkan (atau tidak), pendapat yang mengatakan bahwa proses reformasi selamanya berlangsung damai? Artinya tanpa kekerasan. Evolusioner. Terbatas dalam parlemen saja? Yang ‘lebih benar’ yakni di negara maju yang demokratis kayak apapun, kekuatan-kekuatan sosial reformis (diluar parlemen) masih tetap diperhitungkan, terutama oleh penganut sosial-demokrat. Yang menginginkan reformasi (lewat suara mayoritas) di parlemen. Reformasi di negara-negara barat pun tidak selalu mulus.
Selain reformasi dan revolusi apa ada alternatif lain? Yang jelas, seorang reformis sudah puas, dengan hasil kompromis. Sebagian kekuasaan, yang diperolehnya. Untuk memperbaiki kehidupan sosial-ekonomis, lapisan masyarakat bawah. Disamping itu seorang reformis bukan menuntut pergantian kekuasaan secara menyeluruh. Kendatipun sejarah menunjuk-kan bahwa revolusi bisa meletus disuatu tempat - dan berhasil - kalau ada tuntutan pengambilalihan keku-asaan secara total. Pergantian kekuasaan (person) tak begitu penting. Yang lebih penting ialah tahap-tahap reformasi, setelah revolusi - yang bakal menentukan, apakah struktur masyarakat telah berubah (total) atau belum.
Negara-negara ‘setengah demokratis’ paling tidak memiliki potensi atau kesempatan untuk menuju perubahan sosial-ekonomis dengan melakukan reformasi, dari atas. Karena, hanya demokrasi yang telah mapan, dengan infrastruktur memadai, memiliki kemungkinkan, melakukan reformasi yang konsekwen. Seorang reformis tak usah bingung. Jika yang dihadapi seorang diktator - hanya ada satu jawaban: Lawan dengan kekerasan!
Tak ada perbedaan antara reformasi dan revolusi. Yang ada perbedaan antara reformasi dan diktatur. Beda dengan dik-tatur, demokrasi, merupakan sebuah bentuk kehidupan bersama yang pas, dinamis, komunikatif dan bisa diperbaiki terus- menerus. Singkatkata, ideal. Sistim yang demokratis memungkinkan setiap proses berkembang wajar. Hanya demokrasi yang sanggup melahirkan struktur elastis. Artinya kekuasaan dapat menyesuaikan diri dengan perubahan sosial-ekonomis. Hanya demokrasi yang sanggup membatasi kekuasaan. Barangkali demokrasi satu satunya bentuk pemerintahan, yang perlahan lahan (lewat reformasi politik) sanggup membatasi kekuasaan. Pada hakekatnya reformasi dan demokratisasi tak dapat dipisahkan. Karena esensinya sama.
Hubungan timbal balik antara pertumbuhan ekonomi, proses perubahan sosial dan tuntutan reformasi, sulit diterangkan. Namun walaupun demikian - ini kata Karl Marx: Dengan terbentuknya pola produksi kapitalistik, maka terbentuklah kelompok burjuis yang, memiliki kekuatan ekonomis, yang kemudian menuntut hak-hak mereka. Atau, dengan kata lain mereka ingin juga ber(bagi)kuasa. Kondisi sosial seperti ini, bisa menyulut api revolusi - burjuis. Paling tidak bisa mengobarkan semangat reformasi. Begitu juga teori Marx mengenai perjuangan kelas proletar. Lantas, mengenai teori ‘’revolusi-kampus’’ silakan baca karya Adorno, Marcuse, Horkheimer atau Habermas dari mazab Frankfurter Schule.
Jika proses reformasi macet? Segala tuntutan bakal mubazir. Artinya
kedengaran tak masuk akal. Akan dianggap kurang pas. Tidak representatif
atau tidak mencerminkan suara mayoritas. Disamping itu perlu juga diketahui
bahwa ruang gerak reformasi sangat terbatas. Maka salah besar, kalau kita
anggap kawan reformis, sebagai orang yang bergerak setengah hati. Itu keliru.
Karena, seni reformasi, berarti: (1) Bukan menunggu, tapi malah mencari
peluang; (2) Membentuk koalisi dengan berbagai kekuatan sosial-masyarakat;
(3) Memanfaatkan suara mayoritas; (4) Tidak melewatkan kesempatan; (5)
Menghindari argumen konyol; Rakyat belum siap melakukan reformasi total
atau perubahan revolusioner. [TAMAT]Berlin, 16.06.98