DISINTEGRASI
I Gusti Nyoman Aryana*
Banyak orang bingung, tatkala mendengar bahwa bangsa atau "nation" adalah sebuah konsep politik. Namun anehnya, definisi nation tak mungkin lagi politis. Melainkan nation hendaklah di-definisi-kan secara etnografis. Disamping itu faktor bahasa juga tak boleh kita abaikan. Menurut Eric Hobsbawm sejak para politikus - antara lain Lenin dan Presiden Wilson, menyadari bahwasanya semua komunitas yang termasuk kategori etnografis tersebut hendaklah diberikan hak berdiri sendiri alias merdeka. Maka sejak saat itu juga eksistensi negara-negara multi etnik - apalagi yang tidak demokratis, macam Rusia dan Yugoslavia yang terbukti represif, kropos dan akhirnya buyar - dipertanyakan. Setelah kontradiksi moral serta ekonomi marxisme (versi Soviet) buyar, yang tersisa kini ialah kontradiksi kultural kapitalisme. Ternyata "kapitalisme Asia" (pertumbuhan ekonomi tanpa demokrasi) gagal total. Rupanya demokrasi dan ekonomi pasar merupakan sesuatu yang tak terelakkan. Demokrasi mengandung kharakter eksperimental. Apakah eksperiment ini, di negara kita, akan berhasil atau tidak? Masih terlalu prematur untuk mengomentarinya. Namun yang jelas, kini masa depan negara Bhinneka Tunggal Ika mulai dipertanyakan. Akankah negara demokratis ketiga terbesar (setelah India dan AS) di dunia, terpecah belah dan akhirnya buyar berantakan? NKRI memang belum buyar, namun sudah menunjukkan gejala-gejala disfungsional, paling tidak, hal ini dapat kita saksikan di Riau, Ambon, Irian Jaya (Papua Barat) dan terutama di Aceh.
Kendati definisi nation tak mungkin politis, namun akar permasalahan sebenarnya masih tetap politis. Memasuki millennium mendatang banyak negara yang akan digoncang oleh berbagai macam problem politik yang paling krusial dalam sejarah beradaban manusia. Gampangnya, kita ambil saja contoh kehidupan sehari hari. Yakni masalah ketimpangan sosial, yang merebak sejalan dengan perubahan sosial yang amat dahsyat. Manusia tak bakal tinggal diam merenungi nasib mereka seperti sediakala. Baik secara individual ataupun kelompok manusia akan bergerak dan melawan ketidakadilan. Karena keputusan lebih banyak diambil melalui pertimbangan politis dari pada diatur lewat mekanisme pasar, yang anonim, maka konflik terbuka melawan pemerintah, selaku pengambil keputusan akan makin marak dimasa depan. Dengan kata lain arena politik akan berubah menjadi medan perang terbuka. Pertikaian politik akan semakin panas dan meluas, terutama yang menyangkut akses akses kesumber alam maupun keuangan. Kelompok kelompok etnis (tapi bukan hanya etnis) akan serang menyerang, demi mempertahankan eksistensi mereka masing masing. Inilah dasar dasar pemikiran, kenapa masyarakat tahun 2000 akan semakin rentan terhadap kerusuhan, polarisasi atau disintegrasi (Daniel Bell).
Akhir abad ke duapuluh diwarnai oleh dua hal penting, pertama: kehancuran negara-negara besar multi etnik, kedua: terjadinya penyatuan kembali bangsa-bangsa (Jerman Bersatu, Hongkong kembali ketangan RRC, Korea sedang mikir mikir). Dimasa depan setiap negara (dengan sedikit pengecualian) akan berhadapan dengan masalah ketegangan minoritas etnis, yang dapat terjadi setiap saat, di setiap wilayah, yang memendam berbagai masalah baik ketidakadilan ekonomis, kesenjangan sosial, maupun kontradiksi moral, yang dapat mengakibatkan negara besar (seperti NKRI) terpecah belah berkeping keping. Lantas kalau demikian: "Akankah Indonesia buyar?" "Tidak!" Menurut Ben Anderson NKRI tidak akan buyar, karena Nasionalisme Indonesia masih kuat (wawancara 1994). Berbeda dengan itu, penulis tidak melihat semangat nasionalisme sedang mengebu-ebu di Indonesia. Yang terjadi sejak lima tahun belakangan ini malah sebaliknya. Orang pada ramai ramai mendirikan organisasi yang berbau primordialisme dengan memakai basis keagamaan, kultur atau semangat kedaerahan, untuk mencapai tujuan politik mereka. Selama kelompok kelompok tersebut tidak mengganggu kepentingan penguasa (waktu itu Orba) sudah pasti dibiarkan atau malah dirangkul serta difasilitasi. Dan merekapun sepertinya innocent dan malah bangga. Lantas sekarang kenapa harus bingung, tatkala berbagai masalah yang menjurus ke disintegrasi - tuntutan otonomi luas, referendum atau bahkan merdeka penuh - bermunculan? Kenapa harus heran? Kenapa harus menitikkan air mata, tatkala mendengar bahwa dalam suatu pertikaian yang bernuansa SARA, sekian ribu orang mati sia sia, sekian ratus mobil, rumah dll. serta puluhan tempat ibadah dirusak ataupun dibakar. Kenapa harus terkejut? Bukankah kultur kebersamaan sudah tidak ada artinya lagi? Atau, jangan jangan Ben Aderson benar bahwa nasionalisme Indonesia (sebenarnya) masih cukup kuat. Hanya saja rupanya ada kekuatan politik yang minta diprioritaskan.
Masyarakat Indonesia millennium mendatang hendaklah bisa lebih peka dan toleran - serta bisa mengambil faedah dari perbedaan kultural yang ada. Akan tetapi tak ada masyarakat yang bisa eksis, tanpa kesamaan nilai-nilai budaya. Sebuah kultur kebersamaan - di dalam de facto satu mayarakat multikultural - hendaklah didasarkan pada nilai nilai politik serta kesamaan hak kewarganegaraan - dan bukannya etnisitas atau agama. Kenapa ide civil society sebagai basis persamaan hak kewarganegaraan dalam masyarakat moderen yang pluralis-demokratis begitu sulit diterima oleh masyarakat tertentu - di Indonesia? Jawabnya ialah: Kekurangmampuan manusia untuk mengorganisasi diri dengan basis demokrasi, menyebabkan mereka cenderung memakai basis yang kurang toleran - seperti basis keagamaan, tradisi, serta kedaerahan dan kesukuan (ethno-nationalism) - untuk mencapai tujuan tujuan politik mereka, jangka pendek dan jangka panjang (Francis Fukuyama).
*Anggota APII, politolog berdomisili di Berlin.