Editorial
MASIHKAH ADA OPTIMISME?
Harapan muncul setelah kekuasaan Orde Baru akhirnya berakhir. Kini era Reformasi menjadi istilah yang lahir dari harapan tersebut. Euphoria politik yang sempat menggoncangkan Indonesia berwujud dan salah satu instrumen demokrasi yakni Pemilu terselenggara. Presiden baru terpilih dan pemerintahan terbentuk. Amerika pun memuji bahwa Indonesia sebagai negara ke empat yang mengalami pemilu demokratis.
Semasa Habibie, banyak yang mengatakan bahwa salah satu kelemahan pemerintahannya adalah tidak adanya legitimasi penuh dari rakyat. Orang sering menjustifikasi pada kekurangan ini sebagai krisis kepercayaan. Tentu krisis kepercayaan juga berakar dari kedekatan Habibie yang lahir dan bergelut dalam sistem pemerintahan Suharto. Artinya perilaku politiknya tidak bisa lepas dari faktor historis masa lalunya. Dan dari situ orang mengaitkan agenda Reformasi akan mengalami hambatan. Ini menjadi terbukti ketika berbagai peristiwa kekerasan terjadi dimana-mana, dan pengadilan Suharto dan kroni-kroninya selalu mendapatkan hak istimewa "penguluran waktu" atau mungkin tidak terjadi jika Habibie masih ditampuk kekuasaan saat ini.Namun sekarang, Presiden baru sudah terpilih. Proses pemilihannya sendiri melalui mekanisme yang demokratis meskipun dengan catatan. Artinya Pemerintahan saat ini memiliki legitimasi kuat dari rakyat, karena ia lahir dari suara rakyat. Dengan demikian, kepercayaan menguatkan harapan bagi rakyat Indonesia.
Selama sebulan ini, banyak hal yang telah terjadi dibawah pemerintahan Gus Dur. Lawatannya keliling dunia mungkin banyak mengejutkan semua orang. Salah satu majalah Jerman bahkan menyebutnya sebagai Presiden yang membingungkan. Namun dampak positif tidak dipungkiri, meskipun itu belum terbukti sepenuhnya. Banyak negara dan para investor asing mulai memberikan lampu hijau untuk membantu Indonesia. Budaya politik meskipun dalam tatanan symbolik sedikit demi sedikit mulai berubah. Istana merdeka yang sebelumnya tampak angker, sekarang mungkin berusaha dijadikan sebagai "rumah rakyat". Garis persamaan bagi orang miskin dengan para elite politik semakin ditiadakan. Tapi ternyata-terlepas masih begitu hijaunya pemerintahan sekarang-, fenomena-fenomena baru dan lama juga memunculkan banyak pertanyaan. Salah satunya mulai munculnya indikasi pecahnya negara kesatauan RI.
Indikasi ini terlihat dari maraknya pernyataan dari beberapa daerah yang mau lepas dari RI. Aceh yang mengalami akumulasi sejak lama, Irian Jaya, Riau, Makasar, Maluku dan lainnya mengancam pusat dengan dalih ketidakadilan selama ini yang mereka terima. Ternyata krisis kepercayaan yang sempat menjadi salah satu akar kegagalan pemerintahan Habibie dalam menangani permasalahan ini bukanlah bukti yang membenarkan bagi pemerintahan selanjutnya. Sebab ternyata Pemerintahan sekarang tak lepas dirundung "kegagalan" meskipun belum berakhir dalam menangani permasalahan ini. Permasalahan ini juga lucunya dijadikan komoditi politik untuk menyudutkan orang yang menyuarakan wacana tentang federalisme pertama kali. Istilahnya, karena wacana tersebut diangkat ke publik, akhirnya menimbulkan proses disintegrasi. Akhirnya agenda reformasi juga masih menjadi agenda bulan-bulanan yang tak terselesaikan.Kekerasan masih terjadi dimana-mana bahkan mengancam disintegrasi bangsa. Pengadilan Suharto masih menunggu redanya pertikaian elite politik menentukan statusnya. Dan tak kalah pentingnya, tegaknya budaya oposisi menjadi ilusi ketika pemerintahan ini terbentuk dari kompromi-kompromi para kontestan pemilu. Cukup optimiskah kita terhadap perubahan Indonesia ke depan menuju proses demokratisasi? Dapatkah proses reformasi memberikan garansi bagi masa depan Indonesia ataukah perlu upaya revolusi untuk mempercepat perubahan tersebut?
Bahaya yang paling kita takutkan adalah jika budaya Indonesia yang saat ini sedang menuju tatanan demokrasi berhenti pada proses dan melembaga, artinya terjadi involusi. Dan harapan terjadinya perubahan melalui budaya transisi mati karena adanya jurang proses penyadaran antara elit politik dan kekuasaan dengan kenyataan masyarakat awam Indonesia.Karena bentuk semu dan symbolik yang sampai saat ini baru bisa direalisasikan pemerintah terlalu jauh membentuk image tersendiri bagi masyarakat, seakan-akan itu merupakan sebuah keberhasilan, atau itu sudah dikatakan demokratis. Sedangkan dalam figura kenyataan yang ada, pergantian kebijaksanaan, cara kerja, pergantian etos jabatan yang menyatu dalam perilaku budaya politik Indonesia belum berubah. Kekuasaan masih berada diatas hukum.Orang kecil yang mencuri ayam tetangga akan lebih mengenaskan nasibnya dari daftar para koruptor yang memiliki kedekatan para penguasa. Masih optimiskah kita jika semua proses disintegrasi yang mulai terjadi disisihkan begitu saja penanganannya untuk lebih mengutamakan jalan-jalan ke luar negeri? Adakah harapan meskipun istana merdeka sudah menjadi rumah rakyat namun pada saat yang sama budaya perilaku politik masih kental memiliki watak patrimonialisme? Cukupkah kita bisa mengalah bahwa slogan pranata demokrasi akan terwujud, jika kemacetan politik akibat afiliasi politik masing-masing dari para elit kekuasaan masih sangat terlihat? Tentu dibalik semua pertanyaan yang tampak pesimis memiliki optimisme besar, sebab semua nilai berjalan tidak lepas dari hukum causa, untuk itu diperlukan media penyadaran sebaliknya. Wallahua'lam.