Membangun Manusia Indonesia Seutuhnya
Johanes Hartono*
Mengamati berlangsungnya proses kesadaran akan pentingnya gerakan reformasi di Indonesia, ada satu hal yang tetap menjadi pertanyaan BESAR, yaitu apakah gerakan reformasi ini benar-benar akan melepaskan bangsa Indonesia dari ketertinggalannya dari bangsa-bangsa lain? Atau dengan kata lain, apakah bangsa Indonesia setelah gerakan reformasi ini dijalankan mampu keluar dari segudang masalah sosial, budaya, politik, ekonomi yang begitu kotor, licik dan munafik sehingga dapat mulai bersama-sama membangun bangsa untuk kesejahteraan dan kemakmuran bersama? Banyak orang mungkin akan mengatakan, kemungkinan besar Indonesia akan berhasil secara nyata mengejar ketinggalannya, tapi ada banyak orang yang juga menganggap bahwa reformasi di Indonesia sama sekali tidak dapat menjamin terurainya benang yang sangat kusut yang selama ini melilit dan mengikat kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, dan ada orang lain yang juga mengatakan, untuk apa dipikirkan, kalau berhasil ya syukur kalau tidak berhasil ya apa boleh buat, yang penting kita masih bisa cari makan dan hidup tenang. Dari krisis bangsa Indonesia yang begitu rumit karena cakupannya yang multi dimensi, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, maka menjadi prasyarat bahwa seluruh komponen bangsa khususnya para pemimpin di tingkat elite harus memahami kompleksitas permasalahan secara tajam dan menyeluruh. Tetapi sayang sekali masih banyak kalangan pemimpin elite di atas maupun kalangan bawah yang masih bingung bagaimana menguraikan masalah benang kusut tersebut. Terlebih lagi mengerti darimana harus memulai mengurai permasalahan, karena titik pangkal masalahnya saja belum tahu ada di mana. Jadi, bagaimana selanjutnya?
Mengenali Titik Pangkal Krisis Bangsa
Dari banyak komponen yang membentuk struktur keberadaan suatu bangsa seperti sumber daya alam, posisi demografis negara, keberagaman (dalam hal suku, bahasa, agama, dll), komposisi penduduk (usia, pendapatan, dll), warisan filsafat dan nilai-nilai bangsa, dan manusia sebagai warga negara yang mengelola seluruh sumber daya bangsanya, maka harus disadari bahwa komponen paling penting untuk dapat berlangsungnya kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut adalah sang pengelola itu sendiri. Dan jelas, satu-satunya pengelola tersebut adalah manusia. Jadi, sebenarnya apa yang tengah diusahakan dan dikerjakan dengan begitu serius oleh seluruh manusia adalah sebenarnya demi manusia itu sendiri, yaitu demi kebaikan, kesejahteraan dan kemakmuran dirinya manusia, atau seringkali kita bangsa Indonesia menyebutkan kegiatan itu sebagai "membangun manusia Indonesia seutuhnya" artinya jasmani dan rohani. Saya pikir, pernyataan terakhir ini sampai saat sekarang masih belum beranjak dari sekedar slogan dan retorika para politisi tingkat elite saja. Bila kita sadari bahwa memang sesungguhnya yang menjadi akar serta inti yang paling penting untuk keberadaan berlangsungnya berbangsa dan bernegara adalah manusia, maka menjadi logis bila kita simpulkan bahwa titik pangkal untuk kita dapat memulai mengurai benang kusut permasalahan krisis multi dimensi di Indonesia adalah diawali dari manusia Indonesia itu sendiri. Saya tegaskan sekali lagi, titik pangkalnya adalah manusia Indonesia, yaitu kita semua, yaitu anda dan saya yang mengaku sebagai warga negara Indonesia. Jadi, bila krisis ini terjadi jangan pernah salahkan orang lain tetapi salahkanlah diri kita sendiri. Mari kita merenungkan dan merefleksi diri, siapakah kita ini, bangsa Indonesia. Manusia Indonesia berangan-angan atau bercita-cita yang sangat tinggi dan mulia yaitu ingin mengangkat harkat dan martabatnya sebagai suatu bangsa di tengah bangsa-bangsa lain di dunia. Setelah lepas dari belenggu penjajahan, bangsa Indonesia dengan penuh semangat nasionalisme ingin membangun dan menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh bangsanya. Tetapi, sayang sekali mayoritas bangsa Indonesia tidak berhasil menangkap satu pemahaman yang paling kristis, yaitu pemahaman akan sifat-sifat dasar manusia itu sendiri. Tidaklah mungkin kita mampu membangun manusia kalau mengenali sifat-sifat manusia saja kita tidak tahu. Sama halnya kita akan membangun rumah atau merakit mobil atau apapun yang ingin kita bangun. Kita terlebih dahulu harus tahu apa itu rumah, bagaimana itu rumah, untuk apa itu rumah dan sebagainya, dengan kata lain kita harus mengerti dulu secara utuh sifat-sifat dasar rumah tersebut, barulah kita mulai membangun rumah itu dengan baik, karena segala sesuatunya sudah dipahami dengan jelas, tepat, dan tidak salah. Bisa dibayangkan apabila kita tidak paham apa itu rumah, maka setelah dibangun ternyata hasilnya adalah sebuah gubug reyot atau gudang barang bekas yang hanya cocok untuk tumpukan sampah. Jadi, memahami siapakah manusia harus menjadi titik pangkal dari seluruh bangsa Indonesia untuk mengurai dan menyelesaikan krisis multi dimensi yang menjadi masalah seluruh bangsa. Pemahaman mengenai siapakah manusia, merupakan solusi universal untuk eksistensi dan berlangsungnya (survival) suatu bangsa. Seorang negarawan Belanda bernama Abraham Kuyper pernah menulis bahwa untuk menghadapi kekuatan jaman, maka kita harus mengerti bahwa kita tengah berhadapan dan berperang dengan ide-ide yang terbuka secara bebas dan ditawarkan oleh segala macam filsafat, oleh karena itu kita harus mempunyai kerangka pikir yang tepat dan menyeluruh dalam memahami hal-hal mendasar atas produk-produk pikiran tersebut dan sehingga mampu menguji mana yang benar dan mana yang salah. Bila kita sudah tahu ide yang salah, kita buang ide tersebut, dan ide yang tepat dan teruji kita pakai dengan tetap mengujinya di segala jaman dan waktu. Demikian pula dalam hal tulisan ini, marilah kita menguji secara terbuka setiap ide yang dilontarkan.
Hati Manusia: Titik Pangkal Krisis Bangsa
Kembali kepada pertanyaan penting mengenai, seperti apakah sifat dasar manusia itu? Bila kita salah diagnose dalam hal ini maka kita tidak akan pernah mampu menyelesaikan permasalahan. Kita akan coba secara teliti mengurainya. Pernyataan yang umumnya kita dengar saat dimulainya gerakan reformasi dan sampai saat ini masih dengan penuh semangat terus diteriakkan adalah bahwa kita bangsa Indonesia tengah berperang untuk lepas dari kemelaratan, kebodohan, kemiskinan, dan penindasan. Sehingga solusi yang banyak diusulkan oleh mayoritas manusia Indonesia adalah sederhana saja yaitu pendidikan yang lebih baik, pemerataan pendapatan (bahkan ada yang berani berteriak untuk redistribusi aset para konglomerat yang jatuh bangkrut), dan reformasi politik. Perlu dicatat bahwa apabila kita hanya sampai pada tahap berpikir bahwa pendidikan, pendapatan, dan reformasi politik adalah titik pertempuran yang harus dimenangkan, maka sebenarnya kita tidak berbeda dengan paham dengan Sosialisme Nasional maupun Marxisme yang digembar-gemborkan di abad 20 ini, yang tidak lain ternyata terbukti hanya sebuah ide-ide kosong. Meski demikian, pertanyaan kita adalah apakah hal-hal tersebut benar-benar merupakan solusi yang paling tepat dan tuntas untuk memerangi krisis bangsa Indonesia? Mari kita uji bersama-sama. Seandainya, bagi seluruh bangsa Indonesia pendidikan sudah baik dan maju, pendapatan sudah merata, dan reformasi politik sudah dijalankan, apakah korupsi, kolusi dan nepotisme struktural yang menjadi penyakit kanker ganas bangsa Indonesia akan otomatis hilang? Ataukah sebaliknya yaitu, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) harus dihilangkan dulu baru kita bisa menjalankan pendidikan yang baik, pendapatan yang merata, dan reformasi politik. Tampaknya, logika kita mengatakan bahwa KKN harus dihilangkan terlebih dahulu baru yang lain bisa berjalan. Lalu kita tanya lagi, apakah yang membuat subur dan berkembangnya KKN dalam bangsa Indonesia? Maka ada yang menjawab karena presiden berkuasa terlalu lama, ada juga yang mengatakan karena kekuasaan terpusat di satu orang, yang lain lagi mengatakan karena tidak ada sistem kontrol terhadap kekuasaan. Tapi kalau kita pertanyakan lagi, seandainya presiden yang berkuasa terlalu lama itu di dalam hatinya bermotivasi murni ingin menyejahterakan rakyatnya, apakah KKN akan muncul? Kemungkinan besar logika kita akan menjawab, tentu tidak! Tanya lagi, seandainya kekuasaan terpusat di satu orang atau satu kelompok orang, tetapi di dalam hati orang itu atau sekelompok orang itu bermotivasi murni ingin menyejahterakan rakyatnya, apakah KKN akan muncul? Lagi-lagi kemungkinan besar logika kita akan menjawab, tentu tidak! Baik kalau begitu pertannyaan terakhir, seandainya tidak ada sistem kontrol terhadap kekuasaan, tetapi orang yang kepadanya dipercayakan kekuasaan itu di dalam hatinya bermotivasi sungguh-sungguh murni untuk menyejahterakan rakyatnya, apakah KKN akan muncul? Ternyata logika kita sekali lagi mengatakan, tentu tidak! Kalau begitu, jelaslah bahwa hasil dari kita bersama-sama menguji inti permasalahan setiap bangsa yang berpotensi membawa suatu bangsa tersebut masuk kedalam penyakit / krisis struktural, khususnya bangsa Indonesia, terletak dari hati manusia. Hati dalam arti luas yaitu seluruh keberadaan manusia, rohani manusia atau dalam bahasa umum sering dikatakan sebagai moral dan etika manusia. Jadi, bisa dikatakan bahwa apabila manusia itu bermoral dan beretika maka baiklah keadaaan manusia itu, sebaliknya bila manusia itu tidak bermoral dan beretika maka hancurlah manusia itu dan juga berpotensi menghancurkan manusia lainnya. Pertanyaan selanjutnya, mengapa manusia harus bermoral dan apakah memang harus bermoral? Apakah manusia itu sebenarnya bermoral dan beretika? Kalau ya, siapakah yang menentukan standar moral manusia itu? Mari kita uji lagi tiga pertanyaan terakhir di atas. Untuk pertanyaan pertama, kita harus akui bahwa mayoritas manusia Indonesia termasuk manusia yang religius dengan warisan semangat spiritualisme yang tinggi. Sehingga kita percaya bahwa hidup manusia yang hadir di dunia ini benar-benar memiliki arti dan tujuan yang sangat mulia. Bila kita tidak percaya bahwa hidup kita tidak berarti dan tidak ada tujuannya, maka kita memang tidak perlu membicarakan moral. Moral hanya menjadi penting untuk manusia yang percaya akan artinya hidup dan adanya tujuan hidup yang diberikan oleh Tuhan. Bila manusia tidak memiliki arti hidup dan tidak ada tujuan hidup maka manusia tidak perlu memikirkan moral apalagi berbicara standar moral. Karena moralitas adalah layaknya sebuah buku petunjuk yang memberitahukan kita bagaimana kita menjalankan dan menyelesaikan tugas hingga mengungkap arti hidup manusia dan mencapai tujuan hidup manusia tersebut. Jadi, untuk pertanyaan pertama kita boleh katakan bahwa semua manusia memang harus bermoral, termasuk manusia Indonesia. Seandainya pun ada orang yang berani mengatakan bahwa bagi dia moral bukan keharusan, maka sebenarnya dia sedang mimpi dan berfantasi saja. Karena untuk mengeluarkan pernyataan sesederhana itu pun dia sebenarnya bermaksud mengungkapkan tujuan hidup, jadi dia punya tujuan hidup, terlebih lagi untuk keberadaan hidup di luar perkataannya tersebut. Pertanyaan kedua. Seandainya kita setuju bahwa sifat dasar manusia itu sebenarnya bermoral (untuk singkatnya kita hanya pakai bermoral untuk sekaligus mengatakan beretika), kalau begitu mengapa kita tidak rela menyerahkan kekuasaan cukup lama kepada seseorang, mengapa kita tidak mau seseorang diberikan kekuasaan yang besar, dan mengapa harus ada hukum yang mengontrol dan mengatur seseorang atau kelompok orang? Mungkin mayoritas kita akan menjawab, ya kita berikan kuasa, hukum kepada seseorang yang benar-benar teruji oleh waktu bahwa dia orang baik sehingga untuk orang seperti demikian kita boleh memberikan kekuasaan cukup lama, boleh memiliki konsentrasi kekuasaan yang besar, dan tidak perlu ada hukum yang mengontrol dan mengatur dia, karena dia sendirilah hukum itu. Apakah kita berani memberikan status yang begitu terhormat (privilege) kepada seorang manusia? Manusia manakah yang memiliki kriteria seperti itu? Maka, logika kita mengatakan tidak ada! Karena hanya Tuhan sajalah satu-satunya Hukum, Tuhanlah satu-satunya kebaikan, keadilan, kesucian. Kalau demikian, kita sepakat bahwa manusia harus dibatasi kekuasaannya, dan harus dikontrol, diatur oleh hukum, karena pada sifat dasarnya manusia itu tidak bermoral dan tidak beretika. Bahkan seorang anak kecil yang selalu diajarkan hal-hal yang baik dan tidak pernah diajarkan untuk berbohong pun berani berbohong, kemauannya hanyalah memenuhi keinginan nafsu dirinya sendiri (yang seringkali membahayakan dirinya) serta melawan kehendak yang baik dari sang orang tua. Tanpa bimbingan orang tuadengan baik-baik, maka seorang anak kecil setelah besar akan menjadi manusia monster yang ganas tanpa aturan moral. Terlebih bila kepadanya diberikan kekuasaan tanpa batas dan tanpa kendali hukum. Dengan demikian kita sepakat bahwa manusia itu pada dasarnya tidak bermoral, kecenderungan hatinya bukanlah berbuat baik melainkan adalah berbuat dosa, dan melampiaskan keinginan jahat hatinya. Bahkan tanpa disadari, pada saat manusia berpikir dia sedang berbuat baik pun, hatinya meminta balas jasa dalam bentuk pahala kepada Tuhan atas "kebaikan" yang dia pikir dia sudah lakukan. Sehingga, di dalam hatinya yang terpikir hanyalah berbuat baik sebanyak-banyaknya agar mendapat balas jasa sebesar-besarnya. Beragama menjadi seperti berbisnis. Semakin besar modal yang diinvestasikan semakin besar harapan akan keuntungan yang dapat diperoleh. Konsep berbuat baik sudah dijungkirbalikkan. Padahal banyak dari kita pun tahu berbuat baik adalah layaknya seperti pahlawan tanpa tanda jasa. Seorang pejuang kemerdekaan Indonesia tidak menuntut balas jasa pada saat dia harus mati demi kemerdekaan bangsanya. Seorang guru yang berdedikasi tinggi ingin memajukan murid-muridnya di daerah terpencil kita sebut pahlawan tanpa tanda jasa. Semua itu kita sebutkebaikan. Tetapi mana yang lebih baik, seseorang yang memberikan uang tanpa motivasi menuntut sesuatu untuk kepentingan dirinya dibalik pemberian itu, ataukah seseorang yang memberikan uang tapi sebenarnya ada maksud lain dibalik pemberiannya? Tentu kita akan sepakat bahwa orang yang pertamalah yang berbuat baik! Tetapi, kapan manusia berbuat baik? Maka jawaban saya tidak pernah! Kecuali manusia itu memang tidak menuntut apa-apa, termasuk pahala, pada saat berbuat sesuatu. Dan hal berbuat baik ini tiba-tiba menjadi kemustahilan bagi manusia. Jadi, hanya Tuhan sajalah yang baik, tapi manusia adalah ingin berbuat baik tetapi dengan terus berdosa. Maka sekali lagi kita bisa lebih menegaskan bahwa manusia pada dasarnya memang tidaklah bermoral. Sekarang kita masuk dalam pertanyaan terakhir. Siapakah yang harus menentukan standar moral? Satu-satunya cara agar manusia tidak merusak dirinya sendiri dan manusia lainnya, maka tindakan manusia harus dibatasi, bukan oleh kekuatan dirinya sendiri tetapi harus oleh kekuatan dari luar. Bila masing-masing manusia dibiarkan menentukan standar moral bagi dirinya sendiridan orang lain, maka yang paling mungkin terjadi adalah peperangan paling dahsyat dan saling membunuh antara manusia. Dalam dirinya sendiri sebenarnya manusia memiliki hati nurani yang menjadi kompas atau petunjuk agar dia bisa hidup terarah, tetapi seringkali justru keinginan jahat manusia untuk melawan hati nuraninya jauh lebih besar sehingga egoisme-lah yang menjadi kompas atau petunjuk yang lebih utama. Oleh karena itu, tidak heran kalau bangsa Indonesia berada di ambang kehancuran moral yang sangat serius. Saya rasa kita semuamayoritas sepakat bahwa kekuatan luar yang harus menjadi standar mutlak moral manusia itu adalah Tuhan. Dan manusia Indonesia yang ber-Tuhan sajalah yang berhak saling mengontrol satu manusia dengan manusia lainnya, dan satu kelompok manusia dengan sekelompok manusia lainnya. Tetapi, pertanyaan selanjutnya, bukankah manusia yang mengaku beragama pun, bahkan yang dengan jelas-jelas menunaikan ibadah dengan giat, ketat, dan kusyuk pun banyak yang tidak bermoral? Terlebih lagi ada orang atau sekelompok orang yang mengatasnamakan agama dan Tuhan untuk legitimasi tindakan amoralnya? Bahkan mungkin lebih banyak kesengsaraan manusia dan pembunuhan manusia yang terjadi atas nama agama? Kalau begitu standar moral manakah yang harus dipakai? Tampaknya tidak sederhana untuk menuntaskan masalah ini ya?
Konsep Berbuat Baik
Mari kita sedikit masuk lagi kepada sifat manusia yang sebenarnya ingin berbuat baik tetapi hasilnya selalu kejahatan. Kenapa demikian? Jelas ini karena sifat dasar manusia yang tidak bermoral seperti saya sudah uraikan di atas. Tetapi, mari kita teliti lebih lanjut. Pertama, kita tentu sepakat bahwa adalah sangat baik dan terpuji kalau manusia itu tidak perlu dipaksa berbuat baik tetapi dengan rela dan kesadaran dia mau berbuat baik. Tidak perlu dipaksa oleh aturan agama, tidak perlu dipaksa oleh hukum, tetapi dengan penuh kesadaran dan motivasi yang murni, yang suci dia melakukan perbuatan baik. Tetapi bagaimana hal ini mungkin dilakukan oleh seorang manusia? Jawaban: Ternyata hal ini tidak mustahil! Sangat mungkin mampu dilakukan oleh seorang manusia! Coba bayangkan sebuah kejadian penghapusan tuntutan hukum yang mungkin tidak akan pernah dilakukan seseorang atau sekelompok orang tetapi anggaplah hal
ini terjadi. Seorang pengusaha yang menjalankan bisnisnya secara kotor dan banyak melakukan penipuan terhadap pemerintahan yang dijalankan dengan baik dan bersih sehingga dia tidak membayar pajak sesuai dengan kewajibannya. Suatu hari, bisnisnya jatuh bangkrut dan berhutang bermilyard-milyard dollar kepada bank pemerintah dan pihak asing. Seorang yang biasanya menghirup udara bebas dan hidup nyaman di apartemen mewah, rumah mewah, dan menikmati segala fasilitas istimewa, tiba-tiba karena krisis ekonomi yang melanda negara tersebut akhirnya dia tidak mampu melunasi hutangnya. Maka oleh pengadilan dia dipertimbangkan untuk dihukum mati tetapi sebelum itu dia terlebih dahulu harus dihukum seumur hidup dan sepanjang dia dihukum seumur hidup dia harus melakukan kerja paksa layaknya seorang budak. Setelah pengadilan mengetukkan palu di siang hari sebagai vonis hukuman tersebut bagi dia, dan mengatakan bahwa terhitung mulai besok hari sang pengusaha harus mulai mendekam di penjara dan melaksanakan kerja paksa dan suatu hari akan dihukum mati. Maka dengan sangat ketakutan dan gemetar, dengan keringat dingin mengalir deras di sekujur tubuhnya dia memandang kengerian dan kegetiran akan perjalanan hidup yang harus dilakukannya sepanjang sisa hidupnya. Tetapi di sore hari yang sama sebuah surat yang ditanda-tangani oleh semua pihak yang meminjamkan uang maupun yang telah ditipu menyatakan bahwa mereka semua menghapuskan seluruh hutang mantan pengusaha itu, dan menganggap segala hutang dan kejahatannya tidak pernah ada dan mereka memaafkan dia, dan oleh karena itu mereka minta agar pengusaha itu dibebaskan dari penjara dan dari segala tuntutan hukum. Bahkan mereka semua akan memberikan fasilitas khusus kepada mantan pengusaha yang jahat itu agar bisa memulai kembali kehidupan yang lebih baik. Surat penghapusan tuntutan hukum itu dibuat tidak sedikitpun atas pertimbangan jasa pengusaha tersebut, karena sepanjang dia menjadi pengusaha yang dilakukannya hanyalah kejahatan dan penipuan. Tetapi keputusan itu semata-mata karena belas kasihan Presiden dan pihak asing atas pengusaha itu. Kira-kira, bagaimanakah tanggapan pengusaha ini? Logika kita mengatakan, orang ini akan berteriak-teriak di sepanjang jalan ramai sambil menyampaikan berita pembebasannya kepada setiap orang yang ditemuinya dengan penuh rasa suka cita. Dia sangat berterimakasih kepada Presiden dan pihak asing itu karena mereka rela melepaskan hak milik mereka hanya bagi seorang pengusaha yang jahat. Mulai hari itu, hidup pengusaha itu berubah, tujuan hidupnya berubah, nilai-nilai hidupnya berubah, bertolak belakang 180 derajat dari sebelumnya. Karena dia berkesempatan memulai hidup yang baru dan dia tidak mau membuang-buang waktunya lagi dan apa pun yang dilakukannya dia tidak akan meminta balas jasa. Bila dia memberi sesuatu dia tidak menuntut sesuatu bagi dirinya. Alasan dia berbuat baik hanyalah karena perbuatan baik itu sendiri sebagai ungkapan syukur dan terimakasih atas pembebasan seluruh hutangnya yang begitu besar padahal sesungguhnya dia layak untuk dihukum mati! Kembali kepada pertanyaan tadi. Mungkinkah manusia berbuat baik? Mungkin! Tetapi perbuatan baik itu hanya mungkin dilakukan sebagai ungkapan terimakasih yang tulus atas kebaikan yang terlebih dahulu dilakukan oleh pihak lain. Jadi, bagi manusia perbuatan baik sifatnya adalah Reaktif bukan Proaktif. Perbuatan baik adalah Respons terhadap perbuatan baik lain yang dilakukan pihak lain. Demikian pula dengan pihak lain yang telah melakukan perbuatan baik bagi orang itu, merupakan ungkapan reaktif atas perbuatan baik lain lagi yang dilakukan pihak lain, demikian seterusnya. Dan satu-satunya sumber proaktif yang esensinya baik hanyalah Tuhan. Jadi, karena Tuhan yang suci dan adil begitu murka kepada dosa-dosa manusia, tetapi akhirnya Tuhan rela terlebih dahulu mengampuni segala perbuatan jahat manusia yang melawan kehendak Tuhan, maka barulah manusia itu mampu berbuat baik bagi manusia lainnya sebagai ungkapan syukurnya atas kebaikan Tuhan. Dan perbuatan baik reaktif itu pun akhirnya mampu menyebar kepada orang lain yang menerima perbuatan baik itu, dan seterusnya. Bila demikian, memang seorang yang religius dan taat beragama dengan tingkat rohani sehebat apa pun dan yang dengan tekun beribadah, tetapi apabila memuaskan nafsunya mendapatkan balas jasa. Satu hal perlu kita ingat lagi, yaitu bahwa perbuatan baik reaktif bukanlah dilakukan karena dipaksa atau terpaksa baik oleh aturan agama maupun aturan hukum melainkan atas dasar kerelaan dan kesadaran sedalam-dalam hatinya, dengan motivasi yang murni manusia itu dapat berbuat baik sebagai rasa ungkapan syukur.
Balas Jasa
Jadi, cukup jelaslah kiranya bahwa titik pangkal permasalahan krisis multi dimensi di Indonesia ternyata sangat mendasar. Akar dari kebobrokan moral manusia Indonesa adalah karena konsep berpikir yang salah mengenai moralitas sehingga menyebabkan standar moralitas manusia Indonesia begitu rendah dan hanya dibangun dengan fondasi asal jadi, begitu rapuh dan keropos ditelan kekuatan bangsa-bangsa yang besar dan maju. Mendapatkan pengakuan atas jasa-jasa pribadi adalah yang utama dan sangat dicari mayoritas manusia Indonesia. Maka tidak heran belum lama ini kita bisa menyaksikan ironi yang begitu menusuk hati nurani kita, bagaimana kita saksikan Bintang Jasa dianugerahkan kepada orang-orang yang justru paling bobrok moralnya tetapi yang merasa dirinya telah berjasa dan berbuat baik bagi bangsanya dan karena itu mereka menganggap diri mereka layak mendapatkan balas jasa lewat penghargaan Bintang Jasa dari negara. Mendapatkan balasan dan pengakuan atas jasa "baik" tak pelak lagi memang adalah sifat-sifat dan ciri khas dan utama mayoritas bangsa Indonesia. Ya! Balas jasa! Itulah yang dicari banyak orang di Indonesia! Mari kita tengok sejenak sedikit lebih dalam wajah moralitas Republik kita, Indonesia tercinta. Sekedar cuplikan agar kita semua berkaca dengan cermin yang bersih dan jernih. Pengadilan di Indonesia justru adalah tempat yang paling tidak ada keadilan. Orang-orang yang mengaku sangat religius justru adalah orang-orang yang paling melawan Tuhan karena mereka yang paling serius menebarkan bibit permusuhan dan peperangan antar umat beragama. Para ahli hukum adalah justru yang paling ahli melawan hukum. Pejabat yang berteriak-teriak untuk menghapuskan korupsi justru adalah koruptor paling ulung. Pejabat dan rakyat jelata yang berambisi menegakkan demokrasi justru adalah yang paling tidak demokratis. Polisi yang seharusnya menjaga ketertiban umum justru adalah yang paling berani dan merasa berhak melanggar ketertiban umum. Papan-papan di tempat umum yang meneriakkan Gerakan Disiplin Nasional hanyalah sekedar penghias trotoar jalan dan tulisannya hanyalah untuk bumbu pidato yang berbunga-bunga dari para walikota dan gubernur. Tentara yang seharusnya menjaga dan melindungi rakyat yang menggajinya, justru adalah yang paling kejam menyiksa dan bahkan membunuh rakyatnya sendiri. Dan masih segudang daftar ironisme moralitas bangsa Indonesia yang saya percaya setiap kita dengan begitu mudah dan terbuka kita saksikan di panggung kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Jadi, akan dibawa kemanakah bangsa kita Indonesia? Kiranya Tuhan menyadarkan seluruh bangsa Indonesia dari pejabat tinggi hingga rakyat jelata dari barat sampai ke timur untuk bertobat akan dosa-dosanya. Kiranya Tuhan mengangkat para pemimpin bangsa yang takut akan Tuhan dan menjadi teladan yang baik bagi rakyatnya serta memperjuangkan kesejahteraan rakyat tanpa pamrih dan balas jasa. Karena dengan demikianlah maka kita baru bisa memulai "membangun manusia Indonesia seutuhnya" yaitu manusia-manusia yang takut akan Tuhan dan yang tidak berani menuntut balas jasa.
* Konsultan, berdomisili di Jakarta Selatan.