NASIONALISME RELIGIUS
Sebuah Optimisme atau Pesimisme ?

Luthfi Kamil*

Sejak runtuhnya negara-negara sosialis yang identik dengan ambruknya sistem komunisme, kapitalisme berada diatas angin. Sejarah seakan-akan membuktikan pembenaran bahwa ideologi kapitalisme mengalami kemenangan selama era perang dingin. Fenomena ini diperkuat penyataan Robert Heilbroner, seorang ekononom terkemuka di Amerika yang dikenal sebagai pembela sosialisme," pertarungan kapitalisme dan sosialisme sudah berakhir. Sosialisme keok dan kapitalisme menang" (Mizan. Mencari ideologi Alternatif:38). Kapitalisme yang sekarang banyak dianut Barat memberikan pengaruh luas bagi tatanan dunia.

Meskipun demikian, dengan berakhirnya perang dingin ternyata tidak menyurutkan adanya konflik dan pertentangan-pertentangan baru. Dengan dominasi politik Amerika saat ini, dan muncul kebijakan-kebijakan baru negara-negara Barat pada umumnya, mulai terjadi gesekan-gesekan yang selain positif juga berpotensi bagi timbulnya sikap reaktif-negatif. Isu-isu universal, peran ganda politik Barat, monopoli ekonomi dan kampanye persamaan kultural sedikit banyak telah menciptakan sebuah asumsi bahwa Barat berusaha menempatkan dirinya untuk memiliki hak-hak prioritas pada bagian dunia lainnya. Dan kenyataan ini menjadi bukti empirik ketika kepentingan-kepentingan Barat banyak mencampuri urusan negara lain. Peristiwa kemenangan pemilu kaum nasionalis Islam di Aljazair (FIS) yang digagalkan oleh dukungan Barat bersama kekuataan Militer, kegagalan politik Watergate, Irangate, Perang Vietnam, Perang Teluk, pembantaian "etnis" di Bosnia sampai masalah kegagalan sosial para wanita yang menikah, perceraian, rasialisme dan kegagalan-kegagalan ekonomi yang berkaitan dengan resesi dan defisit yang terus menerus, khususnya timbulnya krisis ekonomi belum lama ini di negara-negara Asia, sedikit banyak memberikan pengaruh bagi timbulnya bentuk pelepasan dan bangkitnya "konfrontasi" baru terhadap Barat. Kegagalan Barat baik secara sosial, politik maupun pada lini budaya (yang banyak berbeda dengan dunia lain) akhirnya semakin melemahkan posisinya dimata negara-negara berkembang dan dunia ketiga. Sebab nilai-nilai dan pemikiran yang menjadi jargon utama dalam kampanyenya mempengaruhi kebijakan global lebih banyak terlihat menjadi satu kekuatan untuk meloloskan kepentingan-kepentingan yang menguntungkan bagi negara Barat pada umumnya. Untuk itu hegemoni Barat yang mendominasi lebih terlihat sebagai kebijakan semu daripada kenyataan yang seharusnya ada. Dan kenyataan ini mendapat respons yang sebaliknya. Barat yang membawa nilai-nilai sekular, yang tentunya tidak dapat digeneralisasikan bagi belahan dunia lainnya, karena perbedaan nilai kultur, sejarah, tradisi, etnis dan nilai agama akhirnya sudah semestinya menyadari bahwa proses modernisasi yang selama ini lebih banyak didominasi terhadap globalisasi nilai Barat tidak sepenuhnya relevan dan bersifat kosmis. Dan karena banyak hal, kenyataan diatas memciptakan perkembangan baru dengan munculnya revitalisasi baru secara global yang dipimpim kaum agamawan. Kebangkitan kaum religius ini bersifat politis yang menggerakkan sebuah proses nasionalisme yang terjadi di negara-negara Asia-Afrika.

Identitas parokhial yang didasarkan pada ikatan etnik-religius ini mulai melebar diberbagai belahan dunia. Identitas ini disebut sebagai identitas kaum nasionalis religius, yang selain istilah ini menolak kata fundamentalisme yang lebih banyak bersifat menuduh secara sentimen-negatif, juga menegaskan bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kepentingan agama, sekaligus politik. Ledakan gerakan nasionalisme religius ini terjadi di wilayah-wilayah Asia; Afghanistan, Aljazair, negara-negara di Afrika, Mongol, Tajikistan, Israel, Mesir, Palestina, Iran, India, Sri Langka, Indonesia, Malaysia dan negara-negara Asia Tengah lainnya yang tergabung dalam Persemakmuran Negara-Negara Merdeka. Gerakan kaum nasionalis religius juga mengantarkan sukses revolusi seperti di Iran, Sudan, Afghanistan, Tajikistan, Nikaragua (Juergensmeyer; 18,235-7[1993]. Istilah nasionalisme, yang dipahami bukan sebagai ideologi politik sekular semata, tetapi juga bentuk organisasi politik tertentu: negara-bangsa modern Eropa-Amerika, yang diikat oleh sistem politik demokratis yang terpusat, menyeluruh dan tidak dipengaruhi oleh pertalian-pertalian etnik, kultural dan religius apapun akhirnya hanya menjadi paradigma kacamata Barat semata. Sebab ternyata konsep tersebut berangkat secara terbatas dari konstruksi Barat dan kenyataan empirik menggagalkan premis dan menyimpulkan bahwa nasionalisme ternyata memiliki dimensi kultural-religius. Seperti yang diamati Benedict Anderson bahwa munculnya nasionalisme sekular merupakan perluasan dari sistem kebudayaan besar yang mendahuluinya. Dari situ-sekaligus melawan itu-ia muncul. Dengan bangkitnya identitas nasionalisme religius, maka memberikan lukisan bahwa upaya purifikasi dari sebagian pemimpin religius dari nilai-nilai sekular Barat terjadi. Namun demikian, menurut penulis, semua upaya diatas tidak berangkat dari sikap reaksioner yang total, sehingga menutup kemungkinan sepenuhnya dari nilai positif yang berkembang di Barat. Tapi tak lebih, merupakan usaha yang mengarah pada satu bentuk sintesa antara nilai-nilai tatanan sosial yang bersaing, yang selama ini dipahami barat dan diyakini kaum nasionalisme religius. Contoh konkretnya adalah adanya diskursus dan sikap menerima wacana demokrasi dalam pemikiran kaum agamawan. Kaum nasionalisme religius melandaskan pemikirannya diatas moralitas dan spiritual yang bersifat transenden. Dan menghindari janji-janji kaum nasionalis sekular yang memang lebih matrealistik.

Tentu munculnya fenomena nasionalisme religius telah sedikit banyak menarik hegemoni nasionalisme sekular yang berkembang selama ini. Menurut Jürgen Habermas, kenyataan bahwa krisis kepercayaan terhadap nasionalisme sekular merupakan " krisis legitimasi modern", dimana penghargaan masyarakat terhadap institusi politik dan sosial merosot diseluruh dunia. Namun barangkali dengan munculnya bentuk komunalisme ini semakin mengukuhkan adanya korelasi yang tidak sepenuhnya berlaku dengan apa yang ditawarkan oleh nilai sekular terhadap kaum nasionalis religius selama ini sehingga masyarakat mereka memberikan dukungan dan melihat bahwa situasi sosial dan ekonomi tidak dapat digeneralkan seperti yang berlaku di Barat. Tentu fenomena ini bisa memberikan plus minus bagi masa depan dunia. Satu sisi kenyataan ini memberikan bukti bahwa nilai universal yang selama ini tampak berkembang bersifat dogmatis dan mengantarkan kepentingan-kepentingan pihak tertentu, maka sudah seharusnya direinterpretasikan ulang dengan penyesuaian bukti dan faktor empiris yang terus berkembang, sehingga bentuk-bentuk kediktatoran terselubung dengan monopoli ataupun hegemoni kepentingan tertentu bisa terhapuskan. Namun pada saat yang sama, ada persoalan yang tidak sederhana jika sebuah upaya purifikasi dan revitalisasi dalam ikatan sejarah-kultural ditopang dalam bungkus entitas agama ataupun etnis menciptakan Idealisme baru yang dibangun diatas keterpisahan kenyataan yang akhirnya menciptakan bentuk-bentuk "kemenangan sesaat" dan terperangkap dalam obsesi yang memisahkan antara pikiran dan jasad. Untuk itu keduanya merupakan ranjau-ranjau yang mencemaskan bagi kemanusiaan kita, dan sudah selayaknya dihindarkan. Meskipun demikian, kenyataan munculnya nasionalisme religius semakin mengukuhkan ramalan Tocqueville pada abad 19 bahwa "agama nasionalisme sekular yang aneh", sebagaimana Islam, membanjiri seluruh dunia dengan nabi-nabi, orang-orang militan, dan para syuhada. Dan sekaligus menggugurkan penegasan Francis Fukuyama, diantaranya bahwa akhir Perang Dingin lama telah mengantarkan ke "akhir sejarah" dan konsensus ideologis seluruh dunia terhadap demokrasi liberal sekular. Wallahua'lam.

*Student TFH Berlin Jurusan Tekhnologi Pangan


Kembali ke Daftar Isi