Cerita tentang Paine
@Inilah jalanku:yang mana jalanmu? (Zarathustra; Nietzsche).
Mereka menyebutku Paine. Anak buangan yang selalu tersisihkan dari teman-temannya. Kata guru sejarah, paine merupakan manusia anti Gereja di Abad Pertengahan. Tepatnya Tom Paine namanya. Setengah percaya ataupun tidak, paine memang orang buangan. Memang benar bahwa aku pernah membunuh seseorang, namun alasan mereka tidak medasar kalau itu karena kesengajaanku. Waktu itu malam, yang semua orang ditengah tidur pulasnya, merasa memiliki sebuah hak dari nikmat istirahatnya. Dan aku sendiri merasa sebagai orang yang kehilangan hak untuk menikmati malam itu, ketika aku harus berjaga untuk menjamin kenikmatan jiwa kampungku. Waktu itu aku tidak sadar terhadap sejarah hidupku, ketika darah itu mengucur dari tusukan belatiku dan merobohkan Jane yang berusaha membunuhku. Dan orang-orang tidak percaya pengakuanku karena tidak ada kesaksian yang menyatakan dan kemenangan yang menelanku seperti sekarang. Kesalahanku hanya satu, Jane anak orang gedongan dan aku anak jalanan. Ternyata logika kebenaran berlaku untuk mereka yang tahu "kehormatan" status sosial.
Mungkin benar kata mereka, aku memang diciptakan menjadi orang buangan, lirihku. Tapi apakah aku ingi membenarkan bahwa nama pemberian orang tuaku diciptakan untuk menyengsarakanku. Bagi mereka yang percaya cinta murni kasih orang tua mungkin tidak percaya. Itu hanya pengaruh bualan para dukun sesaji untuk melegitimasi keampuhannya. Tapi memang kadang legitimasi itu menjadi benar adanya ketika perasaan ini demikian tertekan. Tertekan dari mitos masyarakat yang tak tahu apa yang menjadi pesakitan diriku selama ini.
Sejak kecil memang sepertinya aku sudah terbiasa menggeluti kesengsaraan. Keseng saraan yang tidak tahu datangnya darimana. Dan cukup banyak kerabat yang percaya itu dikarenakan keanehan namaku yang tidak umum waktu itu. Kata mereka, nama itu titisan dari bangsa Belanda yang selama 350 tahun menjajah bangsaku. Dan ibuku merupakan salah satu korban kebiadaban mereka sehingga nama dan diriku lahir bersamaan. Entah benar apa tidak, aku tidak memiliki kekuatan untuk membenarkan keadaan ibuku meskipun aku sendiri tidak kuasa untuk memberontak apa yang menjadi kegetiran sebuah cerita yang telah mengkristal. Seperti halnya sore itu ketika aku keluar, saat senja tiba dan mega mulai redup langkah-langkah kepulanganku tersendat-sendat oleh mata-mata mereka yang merah dan menyelidik yang seakan-akan berusaha mencengkeram diriku dengan jari-jari kekar mereka. Tiba-tiba diriku berlari ketika perasaan ini dalam ketakutan dan merasa bahwa itu satu-satunya pembelaan karena ketidakberdayaan. Dan sesampai dirumah, ibuku tak kuasa untuk membasuh ketakutanku karena dia rapuh dan lebih percaya terhadap kekuatan airmata.
Cerita-cerita masa lalu telah menggumpal menjadi batang-batang kokoh penyangga prinsip hidupku. Aku begitu tidak yakin terhadap orang lain kecuali ibuku. Sekalipun itu kyai atau dukun sesaji.Aku merasa kalau kebenaran menjadi keyakinan dalam serat dagingku sendiri. Dia telah menjelma jadi petunjuk dan kekuatanku untuk dapat hidup didunia. Aku merasa dunia ini menyempit dan melebar karena kedua langkah kakiku antara pikiran dan perbuatan. Kebenaran telah menjadi satu dalam gerak dan pikiranku, yang sekaligus berusaha menjawab keraguan-keraguanku selama ini.
Namun demikian ada kalanya aku menjadi tampak kerdil dihadapan ingatan dan igauan masa lalu. Bukan aku demikian tidak percaya tehadap kebenaranku saat ini, tapi kepercayaanku terhadap apa yang pernah menjadi impian semasa kecilku tampak benar adanya. Seperti sebuah lilitan ular yang terus memutarkan dirinya, dulu sering aku menyusuri lorong-lorong sempit disudut kota, yang memutar mencari musuh dan menampakkan keakraban sebagai teman yang tak pernah berwujud. Tak jarang aku menceburkan diri ke dalam sungai yang berkerikil tajam. Dan kemudian menepi terduduk dalam bongkah batu sambil bermain bayang-bayangku yang semakin memanjang. Tampak dikebiruan langit layang-layang saling mematuk lawannya. Seakan-akan satu sama lainnya ingin menunjukkan keperkasaannya. Dan bayang-bayang itu beralih ke dalam sungai yang mulai jernih disertai gelombang yang terus menari. Waktu itu perasaanku seakan terbang diawan dalam mimpi-mimpi kebebasan. Sehingga aku terjaga setelah untuk berapa lama terlelap dalam cerita sorgawi. Namun dari sekian permainan yang paling menarik ingatanku adalah bermain bersama paine yang lain. Waktu itu aku kejar dia menyusuri ruas-ruas jalan setapak di pinggiran kota yang rindang ketika matahari mulai condong ke arah selatan. Dan tampak dirinya terpotong-potong oleh sorotan mentari yang menerobos daun-daun pepohonan. Kuraih dirinya ketika aku sadar peluh telah membasahi badanku yang kurus dan tak berlemak. Penggapaian yang melelahkan dan ditentukan waktu yang sinar mentari menyatukan dirinya dengan diriku.
Aku tidak hanya membayangkan permainan-permainan itu sebagai produk-produk masa lalu semata. Tapi lebih dari itu aku telah merasakan bahwa kebenaran produk masa laluku melebur dalam kebenaran yang kini terus memburu nafas akhirku. Hanya saja ketika malam dikala bintang gemintang asyik menyoroti objek cintanya sang bumi, kudapatkan diriku kehilangan teman sepermainan. Dia adalah paine yang lain, yang selalu ceria mengejar dan mendekapku dibawah terik matahari namun menghilang ketika malam mulai turun dan kegelapan mulai memanjang. Itulah saat-saat diriku merenung dan galau mendapatkan kesunyian dan kesepian diantara galaksi tak terbatas yang mengintai kekerdilanku. Kesendirianku telah memperpuruk keadaanku. Tapi secercah harapan muncul bersamaan sorotan sinar yang menembus relung-relung kamar. Ketika cahaya mentari memancar, bayang-bayang paine tampak menghampiri. Dan kemudian mengajakku kembali bermain. Dengan penuh hormat aku persilahkan dia: Ayo hisap madunya sebelum bunga pertama menjadi bunga keduaku. Atau sekarang kita incar mangga yang ada dihalaman lainnya Atau Aku tahu kalau kamu menyukai rawa itu Atau kita belok ke kanan dan kemudian kita temukan empat persimpangan bercabang kekiri. Kukatakan hal itu dan dia diam, kemudian aku anggukan kepalaku dan bersama tertawa terbahak-bahak ketika tanpa sengaja kita bikin satu kesalahan gerakan.
Memang tanpa kusadari, untuk sekian lama aku ternyata bermain dengan bayang-bayangku sendiri, itulah paine yang lain. Paine yang hingga masa umurku mendekati enam tahun terus mengajakku bermain dan menemani kesepianku sampai senja itu tiba. Dan setelah kematian ibuku, yang doanya selama ini menjadi kekuatanku untuk melangkah, nasehatnya membangun kepercayaan diriku untuk berdiri,serta airmatanya yang membasuh diriku dari ketidakberdayaan maka lambat-laun paine yang lain juga ikut tampak menjauh. Dia melepaskan masa bermainku, disaat tuntutan sekitar memaksaku untuk menjalani hidup sebagaimana mestinya manusia jalanan. Manusia bebas pengorbanan karena dirinya bergelut langsung dalam derita dan kepenatan jiwa. Saat ini aku merasa sebagai satu-satunya orang yang berdiri dipucuk tebing curam, yang kekuatan akal pikiran dan sisa tenagaku sebagai satu-satunya kekuatan hidup. Mulailah kulangkahkan diriku memasuki dunia nyata ketika umur itu menginjakkan angka ketujuh, bulan tujuh yang menurut orang kampung pembawa berkah, karena itu banyak dari mereka yang menikahkan anak gadisnya.
Tak seorangpun melihatnya ketika dia mendayung malam yang semakin kelam. Tak seorangpun peduli, seorang anak ingusan mengendap terseok-seok melangkahkan kakinya menyusuri kabut gelap menuju terangnya kota, lalu terduduk diemperan toko berjajar dengan mereka yang merdeka sebagai penghuni rumah tak bertanah. Kekalutannya semakin ketara, ketika sorot lampu mobil kadang menyinari raut mukanya yang pucat pasi seakan-akan aliran darahnya terhenti. Memang untuk kesekian harinya, tak seorangpun tahu bahwa anak ingusan ini menahan perutnya dari rasa lapar yang sangat. Sejak kepergian ibunya, dia terpaksa menjadi sapi perahan kerabatnya untuk menambah kemakmuran mereka. Dan pada saat ini, diatas rasa laparnya, dan diatas pengakuan yang tak seorangpun mengerti apa yang diderita, dia merasakan suatu kemerdekaan ketika lepas dari cengkeraman petuah kebenaran kerabat-kerabatnya yang selama ini terasa menyudutkan. Hanya bermodalkan doa restu dan petuah-petuah yang terlintas didepan makam ibunda, dia tinggalkan keesokan malam semua orang yang mengikatkan benaran-kebenarannya sendiri. Dan selama tiga hari ini dia harus menahan lapar untuk membayar semua keputusan yang diambilnya. Keputusan yang bagi dirinya memang menuntut harga dari sebuah resiko dan makna pengorbanan.
Waktu itu merupakan malam ketika dunia jalanan mulai mengenalnya dan anak jalanan merasa terusik dengan kehadirannya. Kehadiran wajah baru yang semakin memeprsempit gerak dan frekuensi pendapatan mereka, sekaligus semakin memenuhi lorong-lorong dan tanah tak bertuan. Semua orang tampak mengawasi gerak-geriknya ketika jalan-jalan itu dia susuri sambil mencari tempat yang mungkin sang malam mengijinkannya untuk menambatkan kepenatan disuatu tempat. Mata-mata yang memancar dan menyelidik itu mengingatkannya pada peristiwa senja dua tahun yang lalu, yang ibu terlalu rapuh untuk membela perasaannya yang tidak berdaya dan hanya tetesan airmata yang menghangatkan dirinya. Namun kini dia merasa tidak seorangpun besa menghibur dirinya ketika mereka seraya muncul kembali dihadapannya. Dan perasaan ini akhirnya mengantarkannya pada sebuah pojok bangunan yang cukup membuatnya terduduk dan menyandarkan kepalanya. Tak lama kemudian terdengar sayup-sayup dentang lonceng berbunyi yang menandakan pergantian malam.
Sebuah garis miring jahitan melintang dipelipis wajahnya dan gumpalan warna coklat tipis bekas luka didagu tampak melebar ke lehernya. Nama aslinya entahlah;cuma orang-orang di jembatan petempuran menyebutnya paine. Waktu itu, ditemukan anak ini terkapar disudut sebuah bangunan, setelah tiga hari tiga malam perutnya tak tersisi makanan sedikitpun. Waktu itu ketika siumuan, satu-satunya kalimat yang diucapkan berulang-ulang hannyalah,"aku ingin bermain sama paine lagi.." tanpa henti. Karena itu, orang-orang disekitarnya asal menamakannya paine. Dan diapun tidak pernah merasa dirugikan dengan sebutan itu. Hanya saja sebulan setelah itu, ditengah razia kota terhadap anak-anak terlantar, paine termasuk anak yang terjerat oleh dinas sosial. Cuman bagaimana ceitanya, belum setengah bulan paine melarikan diri dari penampungan anak, dengan melukai seorang pembantu dinas sosial yang berusaha menghalanginya. Namun itu pun sekedar desas-desus yang tetap orang masih meragukan kebenarannya, meskipun tak sedikit yang membenarkanyya karena tidak ada alternatif informasi lain tentangnya. Sampai sekarang ini, tiap orang memaklumkan seorang paine karena keras kepalanya, tertutup merasa kebenaran menjadi hak monopoli dirinya dan sering menyendiri. Terlalu sedikit orang yang kenal pribadinya. Seakan-akan masa lalunya merupakan barang antik yang berlaku bagi dirinya semata. Namun satu-satunya yang tampak, dia sebagai penjaja koran harian disudut-sudut perempatan lampu lalu lintas.
Kini setelah limabelas tahun berlalu, dirinya terduduk disebuah taman yang biasa digunakan untuk melabuhkan semua persoalan hidupnya. Suatu tempat rahasia yang hanya sedikit temannya yang tahu. Dia teringat saat ini semua awal yang akhir dari perjalanan hidup yang telah dilewatinya. Sejarah perjalanan hidupnya yang memiliki bermacam warna antara kesedihan dan kebahagiaan. Dia menikmati semua cerita itu dengan seulas senyum kemenangan. Dia merasa (dalam hati kecilnya) bahwa kebenaran dari mulutnya telah menjadi bukti dalam kenyataan hidupnya. Itulah kemenangan yang diperolehnya melebihi kemangan para pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan bangsanya.
Malam ini bersama kabut yang semakin menebal, mulai dia merenungi semua kebenaran yang diyakininya selama ini. Termasuk kebenaran yang ternyata menimbulkan persepsi negatif didepan masyarakatnya. Meskipun selama ini dia bersikeras tidak percaya sama kebenaran orang lain, namun ada satu kalimat yang mengusik hatinya selama ini. Kalimat itu tanpa sengaja ditemukan disebuah lembaran koran bekas yang selama ini sudah menjadi bagian hidupnya. Kalimat itu menggariskan demikian:...kebenaran, yang beribu sejarah, saingan waktu, khazanah tindakan, saksi masa silam, contoh dan pelajaran untuk masa sekarang, peringatan bagi masa mendatang (Don Quixote). Sepenggal kalimat yang tidak seorangpun tahu bahwa itu dimaksudkan bagi dirinya. Dia cuman merasakan bahwa ada satu hal yang berbeda yang mungkin selama ini tidak ditemukan dalam petuah hidupnya. Dalam hatinya lirih berkata, "mungkin dia seperti Nabi yang menitiskan kata suci bagi dirinya".
Tiba-tiba lamunannya buyar, begitu keributan tampak mendekat menuju posisinya. Bayang-bayang manusia semakin mendekat dan mendekat. Dia akhirnya sadar bahwa bahaya telah mengancam dirinya. Orang-orang suruhan yang mengejarnya akibat pembunuhan Jane telah mengelilinginya. Kematian jane adalah kebahagiaan dan kepuasan yang dirasakannya, dan pembunuhan terhadap orang seperti Jane merupakan derretan tindakan yang bukan untuk pertama kalinya. Pembunuhan terhadap orang-orang kaya yang diharapkan memberikan sebagian kesenangannya kepada mereka yang mengharapkan. Saat ini diatas bintang yang menyorotinya dan bulan bersaksi atas pembelaannya, paine mulai digiring menuju harapan akhir dari segala kebenaran yang diyakininya. Dia ingin berontak atas ketidakadilan dunianya selama ini namun diapun tidak kuasa untuk melawannya. Dan terakhir kalinya melawan garis kematiannya. Dia tersenyum ketika dia juga menyadari bahwa kematiannya juga mengantarkan dirinya untuk dapat lepas dari penderitaannya didunia. Kemudian ingatannya tertuju kembali pada ucapan guru sejarah yang menjadi langganan koran tiap pagi. Dia bicara tentang Tom Paine diakhir ceritanya;....Dan saat itu maut menjemputnya, ketika kematian menjadi hak bagi dirinya. Dia akhirnya dipenggal kepalanya oleh algojo yang melaksanakan perintah Gereja waktu itu. Dia mati karena dia mempertahankan kebenaran dirinya dan berusaha menyingkirkan kebenaran doktrin gereja. Itulah yang menyisihkannya. Dan tak lama kemudian suara letusan menghentikan langkah kakinya, ketika kebenaran-kebenaran memberikan keraguan dalam hatinya. Dia meninggalkan kegelisahan untuk menemukan kebenaran hakiki....Seperti laba-laba yang membangun sendiri rumahnya yang rapuh (Al-Qur'an XXIX:41). Dan malam itu, langit tampak mendung ketika senandung duka mengantarkan kepergiannya. Ah, bear in mind this garden was enchanted! (Ah, ingatlah taman ini penuh pesona). Wallahua'lam.
( Oleh: Luthfi Kamil )