Kebijaksanaan Pemerintahan Sosialis/Sosialdemokrat
ditinjau dari sisi politik-ekonomi
Pipit R. Kartawidjaja*
Jalan Ketiga Atau kah Jalan Bertiga?
Bagi kubu Sosialis/Sosialdemokrat (Sosdem) di abad ke 20 ini, tidak ada alternatif lain terhadap sistem ekonomi pasar. Hanya, untuk menjinakkan kebengisan sistem ekonomi pasar, negara diharuskan ikut bermain. Maka, politik-ekonomi yang ditempuh oleh Sosialis/Sosdem untuk mencapai masyarakat berkeadilan sosial dikandangkan ke dalam jalan ketiga.
Disebut jalan ketiga, oleh sebab jalan pertama sudah dikuasai oleh kubu liberal, yang menolak campur tangan negara di sektor ekonomi. Sedangkan jalan kedua dimukimi oleh kubu komunis yang ogah menerima sistem ekonomi pasar - yang kemudian kita kenal dengan sistem ekonomi berencana. Disebut pula jalan ketiga, oleh sebab langkah yang ditempuh oleh kubu Sosialis/Sosdem itu merupakan perkawinan antara jalan pertama dan jalan kedua. Dengan demikian, kubu Sosialis/Sosdem akhir abad ini meninggalkan paham klasiknya, yang mengatakan bahwa tiada perdamaian antara "Arbeit" (Kerja) und "Kapital" (Modal).
Namun repotnya, terutama lantaran pengalaman historis Eropa Barat sangat berbeda dengan Amerika Serikat, kubu konservatif Eropa Barat (misalnya partai yang bernafaskan keagamaan seperti Partai Kristen) tidak menolak peranan negara di sektor ekonomi. Nah, jika demikian, apa yang membedakan kubu konservatif dengan kubu Sosialis/Sosdem?
Antara Penawaran dan Permintaan
Perbedaan pertama: setiap kali kubu Sosialis/Sosdem memenangkan pemilu, umumnya bursa selalu melorot. Sebaliknya, bursa selalu naik, jika seorangPerdana Menteri (PM) atau Kanselir berasal dari kubu konservatif terpilih.
Kedua: Dalil ekonomi pasar mengenal kehidupan dua kubu. Yaitu: penawaran dan permintaan. Secara mudahnya, ia bisa digambarkan sebagai berikut: pihak pemilik modal/kapitalis berada di posisi penawaran, sedangkan pihak pemilik tenaga kerja (buruh, pegawai dan sejenisnya) berada di sektor permintaan.
Dalam menanggulangi pengangguran pada tahun 70an, kebijaksanaan kubu Sosialis/Sosdem Eropa Barat ada lah menggalakkan sektor permintaan. Jika perlu lewat jurus "deficit spending" (APBN berdefisit). Salah satu caranya adalah ikut aktif berperan menggelembungkan pasar kerja.
"Arbeitsmarktpolitik" atau "politik pasar kerja" digelindingkan misalnya di salah satu negara bagian Jerman, Brandenburg - yang sejak reunifikasi, berada dibawah kekuasaan pemerintahan Partai Sosdem. Lantas, bagaimana praktek "politik pasar kerja" itu? Contoh pertama: tawaran program-program pendidikan/ketrampilan kepada para penganggur, agar mereka bisa diserap oleh sektor-sektor ekonomi yang memerlukannya. Contoh kedua: penghibahan tunjangan negara bagian kepada para penganggur yang berani beresiko membuka usaha sendiri. Contoh ketiga: hibahan dana kepada organisasi-organisasi (termasuk LSM) yang sudi mempekerjakan para penganggur. Syarat untuk bisa memperoleh tunjangan negara bagian hanya satu: ia diharamkan mengusik kehidupan ekonomi pasar. Karenanya, Kamar Dagang dan Industrinya negara bagian Brandenburg harus memberikan restunya.
Jurus penggalakan kubu permintaan ini gampang diterka: bila daya beli meningkat, maka sektor penawaran, umpamanya para pemilik modal, ditaksir akan terangsang untuk meningkatkan investasi. Artinya, lapangan kerja baru pun akan terkatrol terbuka.
Berbeda dengan jurus kubu Sosialis/Sosdem di atas, maka dalam menanggulangi pengangguran pada tahun 80an dan awal 90an, kubu konservatif yang berkuasa di hampir semua negara Eropa Barat mengerem pemecutan sektor permintaan ala Sosialis/Sosdem. Kubu ini justru menggalakan sektor penawaran. Margret Tatcher ada lah PM Inggeris yang kesohor di antara pemerintahan konservatif itu. Kubu konservatif Eropa Barat percaya, bahwa hanya dengan meningkatkan sektor penawaran, pengangguran bisa ditanggulangi. Caranya a.l. debirokrasi, deregulasi dengan memberikan kemudahan-kemudahan kepada para pemilik modal.
Namun, kebijaksanaan sepihak dengan hanya memecut sektor penawarn itu, ternyata tidak menanggulangi masalah pengangguran. Misalnya, semasa Kanselir Jerman Helmut Kohl berkuasa di negeri Jerman yang telah bersatu, pengangguran tidak bergerser dari angka empat juta. Yang memetik rejeki dari kebijaksanaan ini malahan para pemilik modal. Dengan laba yang diperoleh hampir empat kali lipat sebelumnya, mereka justru berinvestasi di luar Jerman.
Jalan Ketiga Giddens:
Jika demikian pula, lantas apa keistimewaan dan perbedaan jalan ketiga tawaran Anthony Giddes, penasehat PM Inggeris Tony Blair dan yang memancing diskusi di Indonesia akhir-akhir ini? Atau kah jalan ketiga versi Anthony Giddens itu cuma pembaharuan terhadap jalan ketiga yang telah ditempuh kubu Sosialis/Sosdem Eropah?
Selama hampir dua dasawarsa, Sosdem Jerman dan Partai Buruh Inggeris bernasib sama: menjadi oposan. Perbedaannya, Giddens dan Blair memiliki pengalaman lebih buruk ketimbang Kanselir Jerman Gerhard Schroeder. Giddens dan Blair mengalami kebangkitan Neoliberalisme di bawah Tatcher. Dan Schroeder tidak. Giddens menyaksikan betapa Tatcher berhasil melumpuhkan kekuatan Serikat Buruh Inggeris. Sebaliknya, Serikat Buruh Jerman tetap perkasa. Karena itu lah, Gidens kemudian bisa membeberkan borok-borok Neoliberalisme. Argumen bahwa perbaikan di pasar tenaga kerja hanya bisa ditempuh lewat jurus deregulasinya Reagan atau Tatcher, oleh Giddens kemudian dijawab dengan mempertontonkan jurus regulasinya negeri-negeri Sosialis/Sosdem Norwegia, Austria dan Portugis, yang tokh berhasil menciptakan keadaan hampir full-employment (tanpa pengangguran). Walhasil, dalam beberapa hal, "jalan ketiga" Giddens bukan barang baru. Beberapa hal misalnya, sudah dilaksanakan oleh pemerintahan Sosialis/Sosdem di Eropa Barat.
Belum lama berselang ini, muncul Schroeder Blair-Paper. Paper ini mengajak kubu Sosialis/Sosdem Eropa untuk menempuh jalan baru. Di Inggeris paper itu disebut "jalan ketiga". Di Jerman ia dikatakan "neue Mitte" alias "posisi tengah baru". Sebaliknya, kubu Liberal Jerman menyemprotnya sebagai "Turbosozialisten" (Sosialis bermotor turbo). Secara politik ekonomi, "jalan ketiga" atau "posisi tengah baru" tidak lagi menekankan pentingnya penggalakan sektor penawaran. Dan ini lah yang memang baru. Menurut paper itu, sektor penawaran dan permintaan mesti lah sama-sama memperoleh perhatian (SPD auf dem Weg zur "Neuen Mitte", Schröder/Blair-Papier, Mitgliederzeitung SPD Schoeneberg, Nr. 4/1999). Artinya, Schroeder-Blair mengajak untuk juga mengelus-elus kubu pemilik modal.
Selain itu, hal yang baru dalam "jalan ketiga" atau "posisi tengah baru" ini ada lah semboyan "keadilan sosial " dan bukan "persamaan". Karenanya, antara lain, "tiada hak tanpa kewajiban". Secara prakteknya, seorang penganggur berhak menerima tunjangan, asal ia juga aktif mencari kerja.
Yang tetap Sosialis/Sosialdemokratis ada lah tujuannya untuk menegakkan masyarakat yang berkesempatan sama, adil, plural, demokratis, bebas dan berkeadilan sosial. Kubu Sosialis/Sosdem Eropa mendukung ekonomi pasar, akan tetapi menolak masyarakat pasar.
Jalan Ketiga atau kah Jalan Bertiga?
Seperti halnya pergeseran posisi kubu Sosialis/Sosdem Eropa Barat, dibidang ekonomi pun terjadi pergeseran pemilikan modal. Kekuatan pemilik modal secara klasik (umpamanya perusahaan dikuasai oleh orang perorangan/keluarga), umumnya telah menyusut. Di Eropa Barat, mayoritas pemilik modal ada lah para pemilik saham. Dalam beberapa dasawarsa terakhir, pemerintahan Sosialis/Sosdem berikhtiar, agar para pemilik tenaga kerja (buruh/pegawai dan sejenisnya) memiliki saham di perusahaan-perusahaan raksasa.
Namun, yang menjadi masalah dalam era "globalisasi" adalah dengan munculnya kekuatan keempat - selain negara, pemilik modal dan pemilik tenaga kerja. Berdasarkan pengamatan, boom bursa pada beberapa dasawarsa terakhir ini, bukannya berangkat dari peningkatan produktivitas kerja (Reinhardt Blomert, Die Taktik des Samurai, Berliner Zeitung 19/20 Juni 1999), akan tetapi berasal dari perkembangan pesat pengambil-alihan perusahaan-perusahaan gurita. Ada pun kekuatan keempat yang dimaksud adalah kubu finansier. Kerja kubu ini hanya mendengusi kemungkinan laba perolehan pengambilalihan saham perusahaan (jurus "shareholder-value") di seluruh pelosok dunia. Modalnya: kredit murah. Berdiri di belakangnya adalah lembaga-lembaga keuangan seperti bank-bank investment. Ia diperkuat oleh pasukan-pasukan canggih yang terdiri dari para konsultan peleburan (mergerconsulting), penganalisa bursa, pengacara hukum, akuntan, agen-agen reklame dan detektip. Tugas mereka ada lah mempersiapkan penyerbuan pasar sasaran dan pengabsahan diri kepada masyarakat ihwal gebrakan pengambil-alihan.
"Saat ini kita hidup di dalam negara kesejahteraan (Welfarestate) untuk cukong kakap", keluh Charles Icahn, ketika ia mengambil alih perusahaan penerbangan TWA. Dengan restu serikat buruh, ia berhasil memangkas gaji para pegawai perusahaan. Dana 400 juta Dolar AS yang berhasil diraup itu, lantas dimanfaatkan guna membeli saham TWA yang hendak dijarah oleh kubu keempat.
Para menejer perusahaan yang diharapkan bisa menjembatani kepentingan para pemilik saham dan penerima upah, kerap harus menaikan harga saham perusahaan di pasaran bursa. Jika tidak, perusahaannya bisa menjadi mangsa empuk okupasi lawan. Acapkali, gelindingan jurus-jurus para menejer tidak sesuai dengan kepentingan para pemilik saham.
Kegagalan Presiden Direktur Telkom Jerman, Ron Sommer, untuk mencaplok Telcom Itali barusan, telah mengeruk habis-habisan kocek para pemilik saham. Peraup rejeki sebenarnya ada lah para konsultan peleburan. Fusi antara Daimler dan Chrysler, dikecam habis-habisan oleh wakil para pemilik saham, Ekkehard Wenger, sebagai taktik untuk menyembunyikan kepentingan menejer Jerman. "Penghasilan para menejer Daimler-Benz di Jerman akan meroket, oleh sebab kini ada alasan guna mengimpor penghasilan menejer Amerika Serikat yang kelewat tinggi itu". Sudah barang tentu, para pemilik saham termasuk kubu yang paling risau. Saham yang dibeli bulan Mei tahun kemarin, pada bulan Oktober kemudian, nilainya melorot 25 persen. Sebaliknya, dari aksi peleburan Daimler-Chrysler itu, bank-bank investment dan para penganalisa bursa berhasil meraup rejeki 550 juta DM.
Agaknya ajakan Schroeder-Blair untuk menyelenggarakan perdamaian antara kubu pemilik modal dan kubu pemilik tenaga kerja memang diperlukan. Mereka bertiga harus berjalan bersama, agar bisa tangguh berhadapan dengan kubu keempat itu - dan secara internasional.
*Anggota APII berdomisili di Berlin