Kerusuhan Ambon: Islam vs Kristen ?

Presiden Habibie sudah memvonis bahwa umat kristen yang salah dalam kasus Ambon. Tetapi hal ini dibantah oleh tim advokasi gereja Maluku Sammy Waileruny. Hingga kini memang laporan-laporan tentang penembakan jemaah di mesjid di Ambon masih simpang siur. Data kalangan wartawan Islam berbeda dari data kalangan wartawan Kristen. Laporan pihak kepolisianpun lain. Ada yang mengatakan para korban ditembak di dalam mesjid. Polisi mengatakan di luar mesjid. Pihak polisi juga mengatakan korban-korban itu sempat dibawa ke mesjid, dan karena itu ada darah yang tercecer di mesjid. Berdasarkan bahan dari Ambon dan Jakarta, berikut rangkuman redaksi di Hilversum:

Mantan Mendagri Rudini kemarin mengusulkan agar di Ambon ditarik suatu garis demarkasi antara wilayah Islam dan Kristen. Pihak PPP juga sudah menganjurkan agar kalangan Muslim bertahan di Ambon karena Ambon adalah wilayah Indonesia. Partai Keadilan di lain pihak khawatir kalangan internasional akan ikut campur dalam masalah Ambon dengan mulai mengirim senjata serta sukarelawan.

Ambon, Aceh dan Timor Timur memang bisa menjadi Libanon-Libanon Indonesia, kata seorang pengamat dari Bugis. Ia melihat bagaimana orang-orang Bugis saat ini sudah sangat emosional. Belasan ribu orang Bugis, Buton, dan Makasar yang pulang kampung hanya pergi untuk menitipkan anak istri mereka, lalu kembali lagi ke Ambon dengan membawa serta ayah atau saudara laki-laki mereka untuk berperang di Ambon. Orang-orang yang tadinya anti Habibie, jika berbicara mengenai Ambon segera berubah sikap.

Orang-orang di Sulawesi Utarapun menjadi gelisah. Baik yang Islam maupun Kristen sekarang sama-sama menjaga tempat ibadah masing-masing. Tetapi dengan kedatangan seribu pelarian dari Ambon, situasinya bisa merubah, mengingat komposisi kekuatan di Manado sama halnya dengan Ambon, yaitu kekuatan kedua belah pihak, Muslim maupun Kristen sudah berimbang, sama kuat.

Kalau pada awalnya Ambon mengisahkan cerita pilu bahwa satu kampung Kristen yang terdiri dari 20 rumah diserbu 2000 orang sehingga 40 perempuan dan anak-anak terbunuh, bahkan di antaranya seorang perempuan yang hamil delapan bulan, maka tiba di Sulawesi ceritanya sudah terbalik. Orang-orang Minahasa dan Sangir yang merupakan mayoritas di Sulawesi Utara mendengar kabar-kabar burung bahwa ratusan perempuan Minahasa dan Sangir dibantai di Ambon, begitu seterusnya. Sejak bulan Desember para provokator di Manado sudah memancing-mancing kemarahan umat Kristen dengan membawa peti mati di depan gereja Katolik yang berisi patung dan membakarnya di sana. Hal ini dilaporkan seorang pengurus partai Murba. Tembok-tembokpun tidak luput dari tulisan-tulisan yang memancing kemarahan umat Kristen. Tetapi berkat kewaspadaan rakyat Manado pancingan-pancingan itu tidak mempan, dan ketenangan di Manado juga tidak terusik. Namun jika sampai ribuan pelarian dari Ambon tiba di Manado apakah ketenangan itu masih bisa dipertahankan? Demikian tanya seorang pengamat. Keadaan yang kian meresahkan di Indonesia Timur itu pun sekarang mulai merambat ke pulau Kalimantan, khususnya Kalimantan Barat.

Luka sudah membekas di hati rakyat Ambon, Buton, Bugis, dan Makasar . Di Kalimantan hal itu dirasakan rakyat suku Madura, Melayu dan Dayak. Ini tidak bisa hilang dalam waktu singkat, ujar seorang tokoh Bugis. Dalam hubungan itu ia menyesalkan kebijakan sementara pemimpin di Jakarta yang ingin bereksperimen dengan mendirikan suatu negara Islam. Bagi Indonesia jalan satu-satunya adalah memantapkan suatu negara sekuler, ujarnya. Sekarang teman-temannya baru sadar akan kesalahan mereka, tetapi nasi sudah jadi bubur. 'Mereka sudah sadar bahwa repot membawa-bawa agama dalam politik', katanya. Sekarang mereka juga mengatakan tidak ingin negara agama. Tadinya, mereka mengatakan sebentar lagi kita akan berkuasa. Tinggal selangkah lagi, kata mereka. Sekarang mereka baru menyadari bahwa tidak gampang menguasai Indonesia yang heterogen ini. Indonesia bukan Jawa, katanya.

Tapi sementara itu elit politik Jakarta terus saja berlomba-lomba ingin mensukseskan pemilu. Semua sibuk menghitung-hitung persentase kemenangan mereka. Dengan siapa mereka harus beraliansi atau berkoalisi. Padahal siapa yang masih mau mendaftarkan diri untuk pemilu di Ambon atau di propinsi-propinsi lain yang rusuh? Di Jakarta saja banyak yang ragu-ragu mau mendaftarkan diri atau tidak. Bahkan ada anggota PDI Perjuangan yang bertanya "kalau Megawati menang, apakah semuanya akan beres?" Demikian pula pendapat seorang anggota PAN yang berkata, "Apabila Amien Rais yang menang dengan siapa ia akan berkoalisi? Apakah kersuhan di Ambon akan mereda setelah pemilu?" tanyanya pula.

IHCC - Indonesian Huaren Crisis Center Back to Witnesses/News