RASA TAKUT TETAP MENCEKAM AMBON

Kericuhan di Ambon dalam hari-hari belakangan telah memakan puluhan korban jiwa dan korban luka-luka dari kedua belah pihak, muslim maupun kristen. Ternyata dalam keadaan luka-lukapun rasa takut masih tetap mencekam, sehingga para korban tidak berani meminta pertolongan ke rumah sakit pihak lain. Dokter Kris Relmasira, direktur rumah sakit Gereja Protestan Maluku menerangkan bahwa tidak semua korban dibawa ke rumah sakit GPM.

KRIS RELMASIRA [KR]: Ya, jadi tidak semua. Jadi, sebagian yang dibawa ke rumah sakit saya, rumah sakit GPM, sebagian juga ke Rumah Sakit Umum, dan sebagian ke Rumah Sakit Tentara, dan sebagian juga ke Rumah Sakit polisi. Yang tercatat di rumah sakit GPM sampai dengan 24 Februari malam itu sebagai 34 korban. Meninggal di Rumah Sakit GPM sebanyak tiga korban, satu luka berat kita kirim ke rumah sakit Bakti Rahayu untuk di Rontgen, tapi juga meninggal di sana. Jadi totalnya empatlah. Empat yang meninggal di rumah sakit GPM. Luka berat yang tercatat 17.

RADIO NEDERLAND [RN] Korban yang dibawa ke rumah sakit anda itu korban apa? Tembakan atau akibat senjata tajam lain?

KR: Campuran, jadi tembakan dan senjata tajam lain. Ada yang kena panah, ada juga kena pecahan bom, ada juga kena lemparan batu. Tapi kebanyakan yang dirawat itu hampir semua kena tembakan.

RN: Bagaimana korban-korban yang sampai di rumah sakit anda? Apakah mereka korban tembakan jarak dekat atau jarak jauh?

KR: Ada sebagian yang pelurunya masih tetap di tubuh, sebagian juga pelurunya tembus. Jadi, saya tidak bisa berikan keterangan yang pasti tentang jarak dekat atau jarak jauh. Tetapi menurut informasi yang saya terima dari korban-korban kerusuhan yang masih hidup, mereka ditembak dari cukup dekat juga. Ada yang jauh juga, tapi ada juga yang cukup dekat.

RN: Nah sekarang, sebagai direktur Rumah Sakit Gereja Protestan Maluku, siapa korban-korban yang dibawa ke rumah sakit anda? Apakah dari segala lapisan dan dari segala macam etnik atau hanya korban-korban Kristen?

KR: Sebenarnya kita ingin untuk semuanya. Tetapi kenyataan di lapangan memang korban yang Muslim tidak berani masuk ke rumah sakit Kristen, daerah Kristen. Dan juga korban Kristen tidak berani masuk ke daerah dan rumah sakit Muslim. Karena kalau sampai di rumah sakit-rumah sakit kedua belah pihak, memang takutnya ancaman ancaman dari pihak-pihak yang bertikai. Karena rasa tidak aman di sana, kalau rumah sakit dihuni oleh yang Muslim, takutnya tidak aman bagi mereka, sehingga memang tidak ada korban kerusuhan dari pihak Muslim masuk ke tempat kita, dan kita juga korban kerusuhan dari pihak Kristen tidak masuk ke rumah sakit Muslim. Kecuali kalau mungkin yang netral, rumah sakit ABRI bisa. Begitu. Dan memang selama ini korban-korban yang berat itu ditangani oleh Tim Peduli Masohi, tim dokter dari Jakarta.

RN: Dan tim dokter itu menangani korban dari kedua belah pihak, baik Muslim maupun Kristen?

KR: Kedua belah pihak, ya, ya, baik Muslim maupun Kristen. Jadi, Tim Peduli Masohi itu sebagian disebarkan ke Rumah Sakit GPM sebagian juga ditempatkan di Rumah Sakit Tentara. Dari pihak Muslim memang sebagian diarahkan ke rumah sakit tentara, kebanyakan dievakuasi ke sana. Sedangkan pihak Kristen ke rumah sakit GPM dan sebagian juga ke Rumah Sakit Umum. Karena memang Rumah Sakit Umum terletak di daerah pemukiman Kristen sehingga memang mereka merasa berat juga untuk datang ke sana. Saya sendiri ingin sekali untuk tolong saudara-saudara yang Muslim, tetapi mereka juga tidak berani datang ke rumah sakit kita karena memang daerah rumah sakit kami dikuasai dan dijaga oleh semua pemuda-pemuda itu yang Kristen dan dari pihak keluarga korban Kristen yang tertembak. Jadi memang rasa tidak aman itu betul-betul cukup tinggi untuk kondisi seperti ini. Kami dijaga juga oleh aparat Brimob, tapi apa artinya dua Brimob dibandingkan dengan ratusan pemuda-pemuda yang bringas dengan rasa dendam dan rasa amarah.

RN: Dokter Kris, rasa takut dan rasa khawatir itu ada di antara korban dan keluarganya dan mereka yang mengantar korban, ya. Tapi di antara dokter-dokter yang memberi bantuan, secara profesi, apakah ada komunikasi antara dokter-dokter yang Muslim dengan dokter-dokter Kristen?

KR: Ada, ada. Jadi memang rumah sakit saya kan banyak teman-teman dokter yang Muslim. Dan mereka datang, kalau dokter memang tidak ada persoalan, karena memang masyarakat kan tahu dan mengenal mereka. Seperti saya punya teman seorang dokter dari Ujung Pandang, melihat pasien juga tidak ada persoalan. Karena memang semua pemuda-pemuda Kristen menyalami, tegur dengan ramah dan sebagainya. Jadi, perasaan aman itu bagi dokter juga tetap ada. Hanya kalau di lingkungannya saya tidak tahu, tapi memang biasanya kalau dokter-dokter itu terasa dihormati, dijamin, begitu. Hanya mungkin bagi mereka, bagi kita juga, perasaan itu, kalau saya pergi ke daerah Muslim saya juga rasa tidak aman. Demikian pula kalau yang Muslim mungkin kalau pergi ke daerah pemukiman Kristen juga merasa tidak aman.

RN: Sebagai dokter yang dihormati dan orang merasa segan dengan dokter, toh anda merasa takut juga untuk masuk ke daereah pemukiman Muslim ya?

KR: Ya, karena saya sendiri korban. Saya sendiri merupakan korban hari pertama kerusuhan. Rumah saya dibakar oleh massa Muslim. Hari pertama tanggal 19 itu memang saya hampir mati dengan istri saya dengan anak 10 bulan dan anak 4 tahun.

RN: Demikian dokter Kris Relmasira, direktur Rumah Sakit Gereja Protestan Maluku di Ambon.

IHCC - Indonesian Huaren Crisis Center Back to Witnesses/News