Mimpi dan Harapanku

>

Saya orang Indonesia asli. Pribumi bahasa manisnya. Tapi saya lain dengan pribumi kebanyakan. Saya dikaruniai oleh Tuhan bentuk muka dan warna kulit, juga mata yang terlihat sipit (karena kacamata saya sudah minus 6), seperti warga keturunan. Jika anda lihat saya, anda pasti tidak percaya kalau saya orang pribumi asli, khususnya pribumi asal Sumatra Utara alias Batak. Bahkan Warga keturunanpun akan lebih menganggap saya saudara mereka dari pada orang pribumi (jika dilihat dari penampilannya). Hal itu terbukti, oleh saya sendiri tentunya, karena dari remaja sampai sekarang (saya wanita umur 23 tahun) hampir 80% teman-teman dekat saya adalah warga keturunan. Awalnya mereka sering menganggap saya juga orang cina, sehingga mereka menjadi lebih terbuka, tapi setelah lama berteman, dan merekapun mengetahui saya bukan orang cina, oleh karena pada akhirnya toh dalam persahabatan yang tulus, hati nurani dan pikiran yang berbicara, persoalan etnis tidak menjadi masalah (sedikitpun). Untuk teman-teman non pribumi, tentu saja saya punya, walau hanya 20 % saja. Mungkin karena performansi saya seperti orang cina, teman-teman non pribumi menjadi sedikit enggan berteman dengan saya, dan saya sadar setiap manusia pada awal perkenalan pasti bergantung pada penilaian performansi dan "first impression" yang diterima, kemudian membuat suatu "judgement" tersendiri, yang bisa saja salah atau benar. Saya tidak yakin apakah memiliki hal-hal yang telah saya sebutkan diatas (mata sipit, kulit putih) sekarang ini merupakan suatu karunia atau suatu malapetaka bagi saya. Karunia, oleh karena saya merasa lebih mudah diterima bekerja diperusahaan dan lebih mudah berasimilasi dengan warga keturunan dan bisa mempelajari kebudayaan mereka, atau malapetaka mengingat kapan saja saudara asli saya sendiri (orang pribumi) bisa membunuh saya hanya karena penampilan saya. Disini saya ingin berbagi kepada teman-teman yang mau membuka mata hati nurani dan pikiran, terutama teman-teman pribumi yang selama ini tidak/belum memiliki kesempatan berasimilasi dengan orang cina dengan baik dan akrab, oleh karena sudah dibatasi batas-batas warna kulit dan kebangsaan. Saya ingin berbagi berdasarkan pengalaman saya menjadi "orang cina". Pengalaman buruk saya menjadi "orang cina" yang hidup dan tinggal di kalangan masyarakat biasa di Indonesia: - Hidup penuh dengan ketakutan dan khawatir, oleh karena jika sedang beraktivitas diluar, jika ada orang-orang tidak bertanggung jawab melakukan aktivitas (mencopet, merampok didalam bis misalnya). maka orang cinalah orang pertama yang kena sasaran, tanpa dapat mengharapkan banyak bantuan dari orang sekitar. - Sulit dan biaya dua kalilipat disaat mengurus kewajiban warganegara yang berbau administratif, seperti KTP. Belum lagi hinaan-hinaan kecil dilontarkan oleh pegawai administratif.( ini dirasakan oleh teman-teman saya) - Hidup harus terus "double" sopan santun, harus tetap diam dan senyum sementara orang lain (pribumi) meludah didepan muka, mengata-ngatai, menelanjangi dan mencolek-colek (untuk wanitanya). Oleh karena jika melawan (bahkan merengut) sedikit saja, orang pribumi bisa lebih sadis lagi berbuat. - Harus terus hati-hati dalam berbicara. Diskusi politis atau "sharing" hal-hal rasialis berdasarkan pengalaman pribadi hanya dapat dilakukan untuk kalangan sendiri. Oleh karena diskusi hal-hal berbau politis dapat disalahartikan oleh kalangan pribumi dan "sharing" hal-hal rasialis (penindasan yang dirasakan) kepada kaum pribumi toh tidak mendapat tanggapan sama sekali malah mungkin (kita berapriori) dalam hati orang pribumi berkata "sukurin loe!!". Yang paling aman memang kita berdiskusi tentang bisnis, dagang, pelajaran sekolah, perkembangan situasi ekonomi menjelang globalisasi dan pengembangan pribadi untuk antisipasi globalisasi. - Harus terus menjaga dan mengejar prestasi, Ekonomi atau olahraga) karena itu satu-satunya cara bagi orang cina untuk lebih bisa diterima. Lihat saja bagaimana teman-teman pribumi mengelu-elukan Susi Susanti yang dianggap dan memang mampu mengharumkan nama Bangsa Indonesia, persoalan etnis tidak mereka sentuh. Ibaratnya jika engkat berprestasi, kau adalah bagian dari bangsaku, tapi jika engkau hanya pedagang kelontongan maka "Go to hell with your….!". Susah memang bagi orang cina untuk menjadi rakyat biasa di Indonesia. Pengalaman baik saya menjadi "orang cina" atau paling tidak merasa menjadi bagian daripada teman-teman keturunan saya : - Menjadikan saya lebih ulet, karena kebanyakan teman-teman saya ulet-ulet dalam belajar dan bekerja. Dari sejak kecilpun mereka sudah terbiasa berbisnis (jualan). contoh jualan kacang goreng disekolah tanpa malu-malu. Saya pernah memliki pengalaman membuat bisnis menjual susu kacang kedelai bersama teman-teman. Seluruh proses produksi dan pemasaran dilakukan sendiri. Hal ini mungkin tidak akan saya dapatkan jika saya berteman dengan teman-teman pribumi. - Menjadikan saya lebih sederhana baik dari penampilan fisik maupun "attitude". Saya tidak tahu mengapa, tetapi teman-teman saya, baik yang berkecukupan maupun yang pas-pasan ekonominya, sederhana dalam hal berpakaian, tampil apa adanya. Untuk wanitanya jarang memakai make-up, kalaupun berdandan, hanya sebatas lipstick. Lain dengan teman-teman wanita pribumi saya yang amat sangat memperhatikan penampilan, lipstick tebal, alis dicukur, bedak tebal, pakaian bermerek. Sederhana dalam "attitude" contohnya jarang tawuran, dan menghargai pendidikan. - Mereka memiliki budaya "take and give" yang kuat dan seimbang, tidak perduli dengan siapa atau apa, saling memberi dan menerima sangat kuat. Pengalaman saya, jika engkau memberi (dalam bentuk apapun, fisik atau nonfisik), mereka akan menghargainya, dan kita pun akan menerima hal yang sama dari mereka. Hal ini mengajarkan saya untuk bersikap fair terhadap orang lain. - Mengajarkan saya untuk menghargai uang. Memang uang bukan segalanya, tapi dari sejak kecil mereka diajari untuk menghargai uang. Pengeluaran duit Rp 25,- saja dihitung dengan cermat. Hal itu mungkin dikarenakan kebanyakan teman-teman saya mendapatkan uang hasil dari orangtuanya yang kerja keras, membangun toko dan memeliharanya, bahkan harus ikut menjaga toko. Hal-hal diatas adalah sebagian kecil yang saya rasakan dan saya alami selama berteman dengan mereka. Saya sadar bahwa tidak semua teman-teman saya itu baik semua, ada juga yang bersifat rasialis terhadap orang pribumi, sombong, dan mengadakan community sendiri. Tapi semua itu terhapus oleh karena lebih banyak yang baik, bersikap loyal, bisa diandalkan sebagai teman walau berbeda etnis dan kebudayaan. Pada dasarnya semua kembali lagi bergantung kepada individu masing-masing. Jika ada teman pribumi kita menjarah pada masa ini dengan alasan apapun, toh kita tidak dapat mengambil kesimpulan bahwa semua anak-anak, pemuda-pemudi, ibu-ibu, bapak-bapak yang mengaku sebagai pribumi asli tulen Indonesia adalah keturunan pencuri, garong, pencopet. Begitupun dengan teman-teman non pribumi, jika ada segelintir dari mereka yang licik, sombong, suka berbuat curang, memikirkan diri sendiri, tidak berarti kita dapat menyimpulkan bahwa seluruh warga keturunan di Indonesia adalah keturunan penipu, penjilat, perampok. Sekali lagi itu semua berpulang kepada masing-masing individu. Hal itu berpulang kepada itikad baik masing-masing orang, yang hidup dan tinggal dimanapun dia, dengan jabatan apapun dia, bagaimanapun bentuknya, dengan segala kelemahan dan kekurangan yang dimilikinya, untuk mau menerima orang lain hidup berdampingan, berinteraksi satu sama lain, untuk melengkapi segala kekurangan dan kelebihan yang dimiliki masing-masing orang. Ada peribahasa "Tak kenal maka tak sayang". Saya tahu banyak teman-teman pribumi ingin memiliki kesempatan untuk berteman dengan teman-teman non pribumi. Begitupun sebaliknya. Tapi terkadang begitu banyak batasan-batasan yang dimiliki dan ditanamkan, baik secara langsung maupun tidak langsung oleh sistem dan lingkungan yang diciptakan orangtua kita sendiri (pemerintah maupun masyarakat). Salah satu contoh yang mudah diambil dan nyata adalah pendidikan anak-anak non pribumi dengan anak-anak pribumi "dipisahkan" dari sejak usia anak-anak oleh kata-kata "swasta" dan "negri". Dimana anak-anak pribumi masuk ke sekolah negri (yang minim fasilitas), sedangkan anak-anak non pribumi terpusat di swasta (yang kaya fasilitas). Contoh lain adalah anak-anak non pribumi, walau sudah lahir, makan, minum, tidur, belajar, kerja, bahkan mati di Indonesia dan tidak pernah tahu ngomong mandarin (tapi fasih bahasa jawa, sunda, padang, batak,dll) masih harus memiliki SBKRI Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) padahal orangtua sudah menjadi warga negara Indonesia. Hal itupun berlaku bahkan untuk anak-anak yang orang tuanya sudah campuran (misal bapak waga keturunan, ibu jawa), mengingat kalau tidak punya SKBRI, orang tua tidak bisa mengurus surat kawin. Tentunya tidak satu anakpun didunia ini yang ingin disebut "anak haram", apalagi ini hanya menyangkut masalah pemenuhan kewajiban birokratis. Orang tua (pemerintah dan masyarakat) tanpa disadari memberi pengaruh besar dalam asimilasi kebudayaan. Mereka menciptakan sistem dan lingkungan yang kelihatannya baik, rapih, administratif, tapi bisa begitu jahat dan kejam. Apriori-apriori negatif turun temurun ditanamkan kepada anak-anak, akar-akar kebencian disiram terus, sehingga anak-anak itu setelah menjadi besar, menjadi asing satu sama lain, padahal hidup bertetangga. Ibarat peribahasa "Tak kenal maka tak sayang.....". Di satu kesempatan saya pernah bertanya kepada teman pribumi "kenapa sih kamu tidak suka sama orang cina ?". Ia tidak mengatakan kenapa, ia hanya menjawab " Nggak tahu ya...nggak suka aja". Sayapun pernah bertanya hal yang sama terhadap teman-teman non pribumi "kenapa sih kamu nggak mau masuk ke sekolah negri, memang orang Indonesia kenapa?". Jawaban yang saya terima sama, "saya nggak suka dengan mereka..nggak tahu kenapa". Kedua teman saya itu, tidak pernah bertemu, tidak kenal satu sama lain, tidak pernah berinteraksi sebelumnya, tapi toh mereka bisa menghasilkan jawaban yang sama. Mereka tidak suka satu sama lain walau tidak tahu kenapa.ironis sekali....! Saya belum menjadi orang tua. Saya belum berkeluarga. Saya bukan pemerintah. Saya bukan penguasa. Saya bukan orang kaya. Saya hanya satu dari masyarakat kecil yang boleh berkesempatan untuk merasakan menjadi anak dua bangsa. Bangsa Indonesia, tentunya dengan warisan genetik orang tua saya, dari Sumatra Utara. Satunya menjadi (paling tidak merasakan cemohan, cibiran, rasa khawatir) bangsa Cina, oleh karena performansi (penampilan fisik wajah) seperti warga keturunan. Dan yang terutama dari itu semua adalah saya, dalam hal ini, sendirian. Saya hanya bisa bermimpi, suatu saat nanti: - Jika saya menjadi orang tua, saya akan menasehati anak-anak saya (atau anak tetangga) dari sejak kecil, bahwa semua manusia itu diciptakan oleh Tuhan baik adanya, sederajat, sama dan satu. - Jika saya sudah berkeluarga, saya akan membiarkan anak-anak saya untuk bermain layangan di lapangan dekat rumah dengan bebas bersama dengan anak-anak RT lain, sama bebasnya, dengan membiarkan mereka, mengendalikan tuts-tuts komputer, menjelajahi dunia cyber anak-anak, terlepas apakah warna kulitnya, warna rambutnya, warna matanya kuning, hitam, sawo matang, hijau , merah atau pelangi. Terlepas apakah bentuk fisiknya sipit, belo', gemuk, kurus. - Jika saya pemerintah, saya akan cabut semua hukum-hukum yang bersifat "apartheid" masyarakat, seperti ius-sanguinis (jika ia sudah lahir di Indonesia, biarkanlah dia benar-benar menjadi bagian dari bangsa ini, tanpa harus ada pernyataan diatas kertas, yang toh bisa hangus jika dibakar), dan akan saya buat sistem yang menghapuskan bentuk-bentuk diskriminatif, langsung maupun tak langsung, seperti pemberian kredit usaha, yang selama ini distribusinya timpang. - Jika saya menjadi penguasa, saya akan beri teladan yang baik bagi rakyat saya, bersikap jujur terhadap mereka, mengaku salah jika salah, dan mendorong hanya kebenaran sajalah yang timbul dan hidup di bumi Indonesia. - Jika saya sudah kaya, saya tidak akan lupa dengan orang-orang disekitar saya, yang langsung atau tidak langsung memberikan kontribusi, kecil atau besar, terhadap kelancaran usaha saya. Para buruh pabrik, akan saya beri upah diatas UMR, karena mereka sudah begitu sabar melakukan pekerjaan yang itu-itu saja setiap harinya, bahkan setiap tahunnya, tanpa rasa bosan dan tak kenal lelah. Para petani, akan saya biayai riset pertanian dan alat-alat beratnya, karena perut saya perut Indonesia, yang jika belum makan nasi rasanya belum terasa makan dan tempe lauk kesukaan saya. Para pelajar dan mahasiswa, akan saya kirim keluar negri untuk "nyontek" ilmu asing, karena pada akhirnya mereka adalah calon-calon direktur dan manajer di perusahaan saya juga calon partner usaha saya. Untuk masyarakat luas akan saya bukakan perpustakaan buku lengkap dengan akses internet, agar semua masyakat boleh mendapatkan informasi yang tak disunat, informasi yang membolehkan mereka berpikir kreatif dan dinamis. Para tetangga saya, akan saya bebaskan, untuk berenang dikolam renang pribadi saya, karena matahari di Indonesia tidak kenal ampun sengatannya dan sedikit olahraga akan meningkatkan ketahanan siskamling komplek saya. Semua itu adalah sebagian kecil dari mimpi-mimpi saya. Mimpi yang, saya >> >>>>>>sadari sepenuhnya, sangat susah terwujud jika saya sendirian. Saya hanya >> >>>>>>berharap bagi mereka yang membaca, dan selama ini merasa atau "tidak merasa" sudah ikut andil menanamkan sistem dan lingkungan yang timpang ini, dalam bentuk apapun, kecil atau besar, pribumi atau non pribumi, untuk sadar...sadar...sadar. Entah jadi apa Negri Indonesia ini jika bukan dari kita sendiri, setiap individu, sekali lagi setiap individu, mulai koreksi diri dan memperbaiki sistem dan lingkungan yang timpang ini. Tidak usah mimpi muluk seperti diatas, tapi cukup dari lingkungan sekitar, untuk teman-teman non pribumi dan pribumi mulailah saling membuka diri, saling membantu satu sama lain, akui setiap kelemahan dan kelebihan masing-masing, dan jangan malu-malu belajar dari orang yang lebih mampu dari kita.

 

Back to Opinion