PADA Sabtu 20 Juni yang lalu, sesudah siaran Dunia Dalam Berita, dengan
antusias saya menyimak awal Laporan Khusus TVRI. Saya memang tidak
berharap banyak dari laporan ini, tetapi judulnya cukup menggugah
optimisme saya, bahwa masalah pembauran Cina ini akhirnya dibicarakan
juga
di media resmi pemerintah. Akan tetapi, antusiasme saya itu dengan cepat
dipatahkan oleh komentar pembukaan dari sang reporter wanita yang nada
dan
gayanya seolah-olah beliau sedang menyampaikan laporan pandangan mata
akan
kejadian di suatu negeri antah-berantah dan bukan dari wilayah
Indonesia.
Antusiasme tersebut lambat laun bertambah menjadi kekecewaan, setelah
mengikuti selengkapnya Laporan Khusus itu, yang seolah-olah dikemas
untuk
membentuk suatu opini publik.
Kita jujur saja, opini publik apakah yang dapat terbentuk setelah
mengikuti Laporan Khusus itu? Tidak lain tidak bukan, bahwa kerusuhan
tanggal 14-15 Mei tersebut merupakan suatu yang tidak terelakkan.
Kejadian
itu tidak dapat dihindari, mengingat masyarakat Cina di Indonesia yang
tidak mau membaur, eksklusif, hanya mau mencari keuntungan dan lain-lain
sifat negatif. Juga ditayangkan adegan di bandara, di mana tampak banyak
orang-orang bermata sipit yang sedang berbondong-bondong berangkat
(TVRI,
di manakah reporter dan kamerawan Anda ketika para perusuh dan penjarah
sedang menganiaya secara fisik dan seksual para warga masyarakat Cina?).
Walaupun kedua reporter TVRI tersebut berusaha mebungkus reportasenya
dengan kata-kata puitis, tetapi tidak menutupi pesan insinuatif dan
stereotipikal yang berusaha disampaikan. Apalagi di akhir Laporan, sang
reporter wanita mencoba berdeklamasi yang intinya mengatakan bahwa bumi
Indonesia kaya, cukup bagi semua orang dan jangan serakah. Hebat sekali!
Setelah mengekspos keeksklusifan masyarakat Cina dan menayangkan para
pedagang Cina, Anda menutup reportase Anda dengan petuah
antikeserakahan.
Tidakkah terpikirkan oleh Anda, kesan apa yang terbentuk di mata para
pemirsa? Atau memang itukah pesan terselubung yang Anda coba sampaikan?
Tidak akan saya lupakan pesan yang secara implisit telah Anda sampaikan,
bahwa kerusuhan 14-15 Mei itu adalah sekadar suatu harga yang harus
dibayar untuk reformasi. Sekadar Suatu Nuansa Reformasi, demikian judul
Laporan Khusus itu. Saya pribadi berpendapat, bahwa judul yang lebih
tepat bagi Laporan Khusus itu adalah Tragedi Reformasi.
Yang lebih mengenaskan, tidak sedetik pun Laporan tersebut menyinggung
soal pelecehan seksual dan perkosaan yang menimpa para perempuan Cina.
Padahal hampir semua media massa telah menyinggung hal ini dan laporan
pun
telah disampaikan ke Komnas HAM. Di mana mata dan telingamu hai TVRI?
Pertanyaan yang sama saya ajukan juga kepada yang terhormat Ibu Menteri
Negara Urusan Peranan Wanita. Peranan Wanita macam apakah yang Ibu
sedang
urus? Apakah lingkup tugas Ibu hanya mengurus Dharma Wanita? Di mana
penerapan dari konsep Ibu yang megah dan mentereng, tentang wanita
sebagai
soko guru?
Mengingat bahwa TVRI adalah televisi resmi pemerintah, dan Laporan
Khusus
itu harus direlai oleh semua stasiun TV, sulit mengingkari bahwa apa
yang
disampaikan TVRI tersebut adalah juga sikap resmi pemerintah. Jika
demikian halnya, saya pesimis kalau dalang kerusuhan tersebut dapat
terungkap. Dan semakin kecil harapan bahwa pemerintah akan mengakui
terjadinya peristiwa perkosaan dan pelecehan seksual dalam kerusuhan
itu.
Mengenai jaminan keamanan bahwa hal itu tidak akan terjadi lagi atas
para
warga masyarakat Cina, kita lihat saja ketulusan pemerintah dan ABRI
untuk
menindaklanjuti political statement mereka.