TRAGEDI AKSI TEROR DI KAMPUS TENGGILIS 12 JUNI 1998
Pada hari Jum'at , 12 Juni 1998 pk. 13.45 s.d. 15.15 telah terjadi "Aksi Teror" di Kampus Universitas Surabaya Tenggilis oleh segerombolan massa yang menamakan diri Komite Aksi Penyelamatan Universitas Surabaya di bawah koordinator Sdr. Jalil Latuconsina. Aksi teror yang melibatkan massa sekitar 200 personil tersebut, dengan sengaja melakukan tindakan yang sangat amoral, melecehkan lembaga, menginjak-injak harkat-martabat kemanusiaan serta mengusik rasa aman pada komunitas pembelajaran dilingkungan Universitas Surabaya yang berbentuk:
Pertama, mengutuk keras tindakan teror tersebut yang nyata-nyata telah menginjak -injak nilai-nilai keagamaan, etika, moral dan pelecehan nilai kemanusiaan. Lebih-lebih aksi teror tersebut dilakukan secara terang-terangan terhadap lembaga pendidikan, yang seharusnya justru dijaga, dilindungi dan dijauhkan dari aksi-aksi teror semacam itu agar lembaga ini dapat berkembang menjadi lentera yang mampu mencerahkan masyarakat.
Kedua, mengutuk keras segala bentuk aksi teror yang diatasnamakan sebagai "gerakan reformasi". Aksi teror tersebut merupakan tindakan biadab yang justru dapat menodai, mencemarkan dan mengabaikan misi suci gerakan reformasi sejati. Sebab, dalam aksi teror itu justru telah membenarkan cara-cara yang mengedepankan sikap dan perilaku "arogansi kekuasaan", anarkhisme dan anti dialog, yang selama ini justru dikecam habis-habisan oleh para reformis tuluen.
Ketiga, mengutuk keras terlontarnya pernyataan danhujatan yang berbau SARA oleh para pelaku teror. Penyataan dan hujatan yagn bernada diskriminasi dan rasialisme dalam aksi teror itu mencerminkan adanya itikad buruk dari para pelaku teror beserta aktor intelektualnya untuk menggoncangkan iklim ketentraman dan kedamaian masyarakat. Hujatan dalam aksi teror itu adalah tindakan yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila serta wawasan kebangsaan, yang dikhawatirkan bisa memicu rusaknya sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa.
Keempat, menistakan sikap dan perilaku aktor-aktor intelektual yang "mengajarkan" para pelaku teror untuk menggunakan perempuan sebagai "simbol yang dapat semena-mena dihancurkan", guna menimbulkan rasa takut dan mematahkan gerakan moral untuk menuju gerakan moral untuk menuju kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang lebih berkemanusiaan, adil dan beradab.
Kelima, menistakan segala bentuk perilaku "mengail di air keruh" dengan tujuan memperoleh keuntungan pribadi, pada saat berbagai elemen bangsa sedang berusaha mencari formulasi pembaharuan menuju tatanan masyarakat Indonesia yang lebih demokratis.
Keenam, menuntut tanpa kecuali semua aktor intelektual yang berada di balik terjadinya tragedi aksi teror tersebut untuk segera diproses berdasarkan hukum yang berlaku.
Surabaya, 13 Juni 1998