Home | Bio | Kabar & Jurnal


Kabar & Jurnal

~ 2004 ~


Agustus - Desember

17/12 -- Aku ikut Bedah Buku Nonton Film Nonton Indonesia, kumpulan tulisan wartawan senior Kompas JB Kristanto, yang diadakan Kompas Biro Yogyakarta. Selain penulis buku, hadir sebagai pembahas buku ini adalah Ons Untoro (Koordinator Rumah Budaya Tembi) dan Budi Irawanto MA (Dosen Ilmu Komunikasi UGM).

Lumayan nambah wawasan, dan sekaligus nambah kemasygulan, soal film negeri sendiri. Pak Kris sempat meluruskan dua salah baca utama yang disampaikan oleh pembicara, tentang kriteria kritik film dan dikotomi antara seni vs. dagang.

Yang pertama, dia mengungkapkan, dia tidak memakai "kriteria" untuk menilai film. Kriteria itu menurut film masing-masing. Film itu mau ngomong apa, dan apakah ia berhasil menyampaikannya secara jernih. Aku cukup setuju dengan pendekatan ini. Roger Ebert juga menerapkan begitu untuk pemberian "bintang"-nya, yang menurutnya bersifat relatif, dan mesti dibedakan per genre juga. **** untuk Spider-man 2, misalnya, beda dengan **** untuk Ray. Jadi, film **1/2, misalnya, juga bukan selalu berarti lebih "jelek" daripada film ***.

Soal seni vs. bisnis, khususnya dalam kaitannya dengan perundang-undangan, Pak Kris setuju UU yang mengatur bisnis film, namun menentang UU yang mengatur estetika film (baca: no censorship). Masalahnya, LSF susah membedakan antara fakta dan fiksi....

Nah, buku ini adalah dokumentasi "tulisan tentang film". Namun, dokumentasi perfilman yang sesungguhnya tidak lain adalah film itu sendiri. Bagaimana kondisi pendokumentasian film Indonesia? Kalau sampeyan "cinta" film Indonesia -- silakan menangis! Sejumlah (banyak?) film yang bisa dibilang tonggal sejarah dalam perfilman Indonesia (Pak Kris menyebut satu contoh: Apa yang Kaucari, Palupi?) nggak ada sama sekali arsipnya. Koleksi PPFN banyak yang terbakar. Kalau mau ke Sinematek, ongkosnya (untuk kantung pribadi) relatif mahal. Pak Ons cerita, pernah copy lima film ke video, biayanya 1 juta. Morat-maritnya dokumentasi itu alasannya klasik, nggak ada dana -- karena memang biayanya mahal.

Dari berita Jiffest kemarin, isu yang banyak dihembuskan adalah "pembebasan dari penjajahan Hollywood." Aku sendiri agak geli. Secara pribadi aku memang lumayan bosen juga dengan Hollywood, pengin bisa nikmati film-film tua Indonesia atau film asing non-Hollywood. Cuma masalahnya -- akses dan ketersediaannya bagaimana? Aku membayangkan, kalau saja film-film Indonesia yang ada di Sinematek itu bisa lebih mudah dan murah diakses publik, dengan tersedia dalam format VCD, misalnya.... (Eh, siapa ya di tengah kondisi bangsa yang seperti ini masih sempat mikirin "pelestarian" pita seluloid?)

Dan, terakhir, ada satu pertanyaan yang belum sempat terjawab. Ketidakmasukakalan yang melanda film Indonesia (menurut Pak Kris, 90% lebih film Indonesia tidak masuk akal!) itu melulu persoalan insan perfilman, atau sebenarnya memang persoalan Indonesia -- yang merembes ke dunia film? Mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang....

25/11 -- Akhirnya, Komunitas Penjunan DIY-Jateng jumpa darat! Hujan deras yang mengguyur Yogya siang itu nyatanya tak menghambat peserta datang ke Balai Mahasiswa Baptis, tempat pertemuan diadakan. (Berita lebih lanjut bisa disimak di situs Penjunan).

Sebagai ajang silaturahmi, acara itu meriah dan menyenangkan. Untuk pertama kalinya aku bisa bertatap muka dengan beberapa teman yang selama ini hanya berinteraksi di dunia maya, seperti Slamat Sinambela dan Hardhono (matur nuwun untuk CD SABDA-nya!). Mas Wrekso, arek Malang itu, juga menyempatkan diri datang.

Namun, sebagai ajang diskusi, forum itu masih sangat heterogen, baik dari segi kecakapan menulis maupun dari segi bidang minat kepenulisan dari masing-masing peserta.

Sebagai ancangan ke depan, Penjunan barangkali bisa mewadahi kedua jalur tersebut. Jalur pertama berkutat dengan persoalan teknis tulis-menulis -- dari masalah ejaan hingga menjadi tulisan yang enak dibaca. Milis selama ini sebenarnya sudah menjadi tempat berbagi, hanya saja belum sistematis.

Jalur berikutnya berkaitan dengan bidang minat. Penulis yang enjoy menulis renungan, misalnya, tentunya tidak perlu berkecil hati karena tidak bisa menyampaikan suara profetis dalam bidang politik. Nah, Penjunan mungkin bisa mewadahi diskusi, seminar, lokakarya atau pembekalan tertentu untuk berbagai bidang minat tersebut. Seperti kata Bung Saut Pasaribu, biar Penjunan bisa menjadi semacam kantung cendekiawan Kristen. Semoga!

O ya, dalam dua minggu terakhir, aku membeli Menikmati Filsafat Melalui Film-film Science Fiction (Mark Rowlands) dan Nonton Film Nonton Indonesia (J.B. Kristianto). Aku juga menemukan "harta karun": dengan 20 ribu mendapatkan The Royal Tenenbaums, Funny Face dan Sabrina, yang seharusnya seharga 129 ribu!

03/11 -- Ikut diskusi yang diadakan Institute for Christian Research, Yogyakarta, dengan topik "Mengapa Buletin Gereja/PMK Timbul Tenggelam?" Narasumbernya Mbak Sari (Bahana) dan William E. Apipidely (Ketua ICR, wartawan GO). Diskusi berkembang hingga ke masalah keprihatinan akan kelangkaan penulis (intelektual) Kristen, yang dapat menyampaikan prophetic voice secara lantang. Aku senang ikut acara ini karena menambah kenalan dan memperluas jaringan. Bung Willie kuajak ikut dalam Penjunan.

02/11 -- Tadi kami pertemuan renungan Blessing dan sekaligus membahas rencana pertemuan regional (DIY-Jateng) Penjunan. Harusnya, walaupun belum dateline, aku sudah mengumpulkan renungan untuk edisi Januari. Namun sampai tadi aku baru bisa membuat ilustrasinya. Isinya belum "jebol-jebol" juga.

Mas Wawan yang sudah komplet tugasnya. Bagus-bagus tulisannya. Dan satu kesan yang menyentakku adalah: karya-karya itu mengalir dari hati yang riang, penuh sukacita.

Mendadak aku menyadari salah satu penyebab kemacetanku. Aku "terlalu" serius dalam berkarya. Serius tentu perlu, tapi kalau sampai "terlalu" ya berbahaya.

Aku teringat artikel di Kompas yang mempertanyakan keseriusan sains. Menurut penulis, sikap serius justru kerap menghambat kegembiraan dan kreativitas menekuni sains. Keseriusan itu ditunjukkan lewat pertanyaan, "Apa manfaatnya?" Padahal, anak-anak bisa diajak mempelajari sains just for fun. Dari situ akan tumbuh kecintaannya, dan sekaligus memantik kreativitasnya untuk menjelajahi dunia sains lebih jauh.

Pas juga diterapkan untuk dunia tulis-menulis. Kendala serupa itu juga tampaknya yang memacetkan keran kreativitasku -- dan sebagai salah satu dampaknya, situs ini jadi lumayan telantar.

Tanpa sadar aku terlalu jauh memikirkan "manfaat" tulisanku ("Apakah daftar film favorit dan resensinya itu ada gunanya?"). Terus terang aku juga kerap takut kalau tulisanku ternyata belum sepadan dengan hidupku. ("Oh, renungan-renungan dan artikel-artikel yang menggurui itu…!") Dan aku kehilangan sebuah aspek yang tampaknya sepele, tapi justru bisa menggulirkan daya kreatif: P-L-A-Y-F-U-L-N-E-S-S.

Tentang manfaat -- aku membayangkan tulisan yang bermanfaat itu yang serba "berbobot", dan syukur-syukur bisa "mengubah dunia." Hm, luhur banget, ya?

Tentang kesepadanan, aku dihibur oleh pengakuan J.I. Packer saat menutup pendahuluan untuk bukunya, Mengenal Allah. Dia menulis, "Saya tidak meminta para pembaca membayangkan bahwa saya mengetahui semua yang saya bicarakan dengan sempurna. 'Orang-orang yang seperti saya sendiri,' kata C.S. Lewis, 'yang khayalannya jauh melampaui ketaatan mereka akan mendapat hukuman yang adil. Kita dengan mudah membayangkan kondisi yang lebih tinggi daripada yang sesungguhnya telah kita capai. Jika kita menggambarkan apa yang telah kita bayangkan, kita akan dapat membuat orang lain dan diri kita sendiri percaya bahwa kita telah sungguh-sungguh ada di sana -- sehingga menipu baik mereka maupun diri kita sendiri' (The Four Loves, Fontana, ed., hlm. 128)."

Jadi, yah, aku mesti menyadari, aku memang lagi belajar sambil menulis -- bukan sekadar belajar menulis, namun juga belajar hidup. Dan, yang lebih penting, melakoninya dengan enjoy aja!

Eh, ngomong-ngomong, aku sudah jadi serius lagi, ya? Ya, udahlah, nonton Bajuri dulu!


Home | Bio | Email