17/12
-- Aku ikut Bedah Buku Nonton Film Nonton Indonesia, kumpulan tulisan
wartawan senior Kompas JB Kristanto, yang diadakan Kompas Biro Yogyakarta.
Selain penulis buku, hadir sebagai pembahas buku ini adalah Ons
Untoro (Koordinator Rumah Budaya Tembi) dan Budi Irawanto MA (Dosen Ilmu
Komunikasi UGM).
Lumayan nambah wawasan, dan sekaligus nambah kemasygulan, soal film negeri
sendiri. Pak Kris sempat meluruskan dua salah baca utama yang disampaikan
oleh pembicara, tentang kriteria kritik film dan dikotomi antara seni vs.
dagang.
Yang pertama, dia mengungkapkan, dia tidak memakai "kriteria" untuk menilai
film. Kriteria itu menurut film masing-masing. Film itu mau ngomong apa, dan
apakah ia berhasil menyampaikannya secara jernih. Aku cukup setuju dengan
pendekatan ini. Roger Ebert juga menerapkan begitu untuk pemberian
"bintang"-nya, yang menurutnya bersifat relatif, dan mesti dibedakan per
genre juga. **** untuk Spider-man 2, misalnya, beda dengan **** untuk Ray.
Jadi, film **1/2, misalnya, juga bukan selalu berarti lebih "jelek" daripada film
***.
Soal seni vs. bisnis, khususnya dalam kaitannya dengan perundang-undangan,
Pak Kris setuju UU yang mengatur bisnis film, namun menentang UU yang
mengatur estetika film (baca: no censorship). Masalahnya, LSF susah
membedakan antara fakta dan fiksi....
Nah, buku ini adalah dokumentasi "tulisan tentang film". Namun, dokumentasi
perfilman yang sesungguhnya tidak lain adalah film itu sendiri. Bagaimana
kondisi pendokumentasian film Indonesia? Kalau sampeyan "cinta" film
Indonesia -- silakan menangis! Sejumlah (banyak?) film yang bisa dibilang
tonggal sejarah dalam perfilman Indonesia (Pak Kris menyebut satu contoh:
Apa yang Kaucari, Palupi?) nggak ada sama sekali arsipnya. Koleksi PPFN
banyak yang terbakar. Kalau mau ke Sinematek, ongkosnya (untuk kantung
pribadi) relatif mahal. Pak Ons cerita, pernah copy lima film ke video,
biayanya 1 juta. Morat-maritnya dokumentasi itu alasannya klasik, nggak ada
dana -- karena memang biayanya mahal.
Dari berita Jiffest kemarin, isu yang banyak dihembuskan adalah "pembebasan
dari penjajahan Hollywood." Aku sendiri agak geli. Secara pribadi aku memang
lumayan bosen juga dengan Hollywood, pengin bisa nikmati film-film tua
Indonesia atau film asing non-Hollywood. Cuma masalahnya -- akses dan
ketersediaannya bagaimana? Aku membayangkan, kalau saja film-film Indonesia
yang ada di Sinematek itu bisa lebih mudah dan murah diakses publik, dengan
tersedia dalam format VCD, misalnya.... (Eh, siapa ya di tengah kondisi
bangsa yang seperti ini masih sempat mikirin "pelestarian" pita seluloid?)
Dan, terakhir, ada satu pertanyaan yang belum sempat terjawab.
Ketidakmasukakalan yang melanda film Indonesia (menurut Pak Kris, 90% lebih
film Indonesia tidak masuk akal!) itu melulu persoalan insan perfilman, atau
sebenarnya memang persoalan Indonesia -- yang merembes ke dunia film? Mari
kita bertanya pada rumput yang bergoyang....
25/11
-- Akhirnya, Komunitas Penjunan DIY-Jateng jumpa darat! Hujan
deras yang mengguyur Yogya siang itu nyatanya tak menghambat
peserta datang ke Balai Mahasiswa Baptis, tempat pertemuan
diadakan. (Berita lebih lanjut bisa disimak di situs Penjunan).
Sebagai ajang silaturahmi, acara itu meriah
dan menyenangkan. Untuk pertama kalinya aku bisa bertatap muka
dengan beberapa teman yang selama ini hanya berinteraksi di dunia
maya, seperti Slamat Sinambela dan Hardhono (matur nuwun
untuk CD SABDA-nya!). Mas Wrekso, arek Malang itu, juga
menyempatkan diri datang. Namun,
sebagai ajang diskusi, forum itu masih sangat heterogen, baik dari
segi kecakapan menulis maupun dari segi bidang minat kepenulisan
dari masing-masing peserta. Sebagai
ancangan ke depan, Penjunan barangkali bisa mewadahi kedua jalur
tersebut. Jalur pertama berkutat dengan persoalan teknis
tulis-menulis -- dari masalah ejaan hingga menjadi tulisan yang
enak dibaca. Milis selama ini sebenarnya sudah menjadi tempat
berbagi, hanya saja belum sistematis.
Jalur berikutnya berkaitan dengan bidang
minat. Penulis yang enjoy menulis renungan, misalnya,
tentunya tidak perlu berkecil hati karena tidak bisa menyampaikan
suara profetis dalam bidang politik. Nah, Penjunan mungkin bisa
mewadahi diskusi, seminar, lokakarya atau pembekalan tertentu
untuk berbagai bidang minat tersebut. Seperti kata Bung Saut
Pasaribu, biar Penjunan bisa menjadi semacam kantung cendekiawan
Kristen. Semoga! O ya, dalam dua
minggu terakhir, aku membeli Menikmati Filsafat Melalui
Film-film Science Fiction (Mark Rowlands) dan Nonton Film
Nonton Indonesia (J.B. Kristianto). Aku juga menemukan "harta
karun": dengan 20 ribu mendapatkan The Royal Tenenbaums,
Funny Face dan Sabrina, yang seharusnya seharga 129
ribu! 03/11
-- Ikut diskusi yang diadakan Institute for Christian Research,
Yogyakarta, dengan topik "Mengapa Buletin Gereja/PMK Timbul
Tenggelam?" Narasumbernya Mbak Sari (Bahana) dan William E.
Apipidely (Ketua ICR, wartawan GO). Diskusi berkembang
hingga ke masalah keprihatinan akan kelangkaan penulis (intelektual)
Kristen, yang dapat menyampaikan prophetic voice secara
lantang. Aku senang ikut acara ini karena menambah kenalan dan
memperluas jaringan. Bung Willie kuajak ikut dalam Penjunan. 02/11
-- Tadi kami pertemuan renungan Blessing dan sekaligus membahas rencana pertemuan regional
(DIY-Jateng) Penjunan. Harusnya, walaupun belum
dateline, aku sudah mengumpulkan renungan untuk edisi Januari. Namun sampai tadi aku baru bisa membuat ilustrasinya. Isinya belum
"jebol-jebol" juga.Mas Wawan yang sudah komplet tugasnya. Bagus-bagus tulisannya. Dan satu kesan yang menyentakku adalah: karya-karya itu mengalir dari hati yang riang, penuh sukacita.
Mendadak aku menyadari salah satu penyebab kemacetanku. Aku "terlalu" serius dalam berkarya. Serius tentu perlu, tapi kalau sampai "terlalu" ya berbahaya.
Aku teringat artikel di Kompas yang mempertanyakan keseriusan sains. Menurut penulis, sikap serius justru kerap menghambat kegembiraan dan kreativitas menekuni sains. Keseriusan itu ditunjukkan lewat pertanyaan, "Apa manfaatnya?" Padahal, anak-anak bisa diajak mempelajari sains
just for fun. Dari situ akan tumbuh kecintaannya, dan sekaligus memantik kreativitasnya untuk menjelajahi dunia sains lebih jauh.
Pas juga diterapkan untuk dunia tulis-menulis. Kendala serupa itu juga tampaknya yang memacetkan keran kreativitasku -- dan sebagai salah satu dampaknya, situs ini jadi lumayan telantar.
Tanpa sadar aku terlalu jauh memikirkan "manfaat" tulisanku ("Apakah daftar film favorit dan resensinya itu ada gunanya?"). Terus terang aku juga kerap takut kalau tulisanku ternyata belum sepadan dengan hidupku. ("Oh, renungan-renungan dan artikel-artikel yang menggurui itu…!")
Dan aku kehilangan sebuah aspek yang tampaknya sepele, tapi justru bisa
menggulirkan daya kreatif: P-L-A-Y-F-U-L-N-E-S-S.
Tentang manfaat -- aku membayangkan tulisan yang bermanfaat itu
yang serba "berbobot", dan syukur-syukur bisa "mengubah dunia." Hm,
luhur banget, ya? Tentang kesepadanan, aku
dihibur oleh pengakuan J.I. Packer saat menutup pendahuluan untuk
bukunya, Mengenal Allah. Dia menulis, "Saya tidak meminta
para pembaca membayangkan bahwa saya mengetahui semua yang saya
bicarakan dengan sempurna. 'Orang-orang yang seperti saya sendiri,'
kata C.S. Lewis, 'yang khayalannya jauh melampaui ketaatan mereka
akan mendapat hukuman yang adil. Kita dengan mudah membayangkan
kondisi yang lebih tinggi daripada yang sesungguhnya telah kita
capai. Jika kita menggambarkan apa yang telah kita bayangkan, kita
akan dapat membuat orang lain dan diri kita sendiri percaya bahwa
kita telah sungguh-sungguh ada di sana -- sehingga menipu baik
mereka maupun diri kita sendiri' (The Four Loves, Fontana,
ed., hlm. 128)." Jadi, yah, aku mesti menyadari, aku
memang lagi belajar sambil menulis -- bukan sekadar belajar
menulis, namun juga belajar hidup. Dan, yang lebih penting,
melakoninya dengan enjoy aja! Eh, ngomong-ngomong, aku
sudah jadi serius lagi, ya? Ya, udahlah, nonton Bajuri dulu!
|