Bukan
Sekadar Hati yang Berbunga
Alkitab mendorong kita mencari jodoh. Tidak percaya?
Bukalah Amsal 18:22. "Siapa mendapat isteri, mendapat sesuatu yang baik,
dan ia dikenan Tuhan." Tuhan menyediakan jodoh kita, namun Ia tidak akan
memperlakukan kita seperti Adam. Jangan berharap, suatu pagi setelah
tidur nyenyak, seorang Hawa nan jelita telah menyambut kita. Tidak.
Kitalah yang harus mendapatkan pasangan kita. (Kalau Anda percaya
Alkitab tidak mendukung diskriminasi gender, tanggung jawab ini juga
berlaku bagi wanita.) Pertanyaannya: Bagaimana memilih jodoh secara benar? Seperti membangun rumah, setidaknya ada dua aspek yang
perlu diperhatikan. Pertama, aspek legal, seperti sertifikat dan IMB.
Kedua, bahan bangunan yang dipakai untuk mendirikan rumah itu. Aspek legal pernikahan ada tiga. Pertama, mereka saling
mencintai – pernikahan tidak dapat dilandasi oleh pemaksaan. Kemudian,
pernikahan mereka adalah kehendak Tuhan. Selanjutnya, orang tua kedua
pihak memberkati sepenuhnya. Ketiganya jelas penting, namun bukan itu penentu
keberhasilan pernikahan. Penentunya tidak lain bahan yang kita pakai
untuk membangun rumah pernikahan kita. *** Sebelum membahas 'bahan bangunan' ini, kita mesti terlebih
dulu menyingkirkan tiga mitos utama seputar perjodohan. Pertama, cinta sejati mengatasi segala masalah.
"Kami sering berselisih pendapat; saya tidak menyukai sifatnya; ia
gampang tersinggung; perbedaan umur kami lumayan besar; kami berbeda
kepercayaan; ia suka melirik cewek lain; ia masih terkenang-kenang bekas
pacarnya... tapi selama saya dapat mencintainya dengan sungguh-sungguh,
masalah itu akan teratasi." Pendapat semacam ini salah besar! Ishak mendapatkan istri dengan memenuhi ketiga aspek
legal: kehendak Allah disertai dengan mukjizat, taat pada orang tua, dan
cinta pada pandangan pertama. Namun, rumah tangganya tidak harmonis.
Kegagalan rumah tangga ini mempengaruhi kehidupan rohani dan panggilan
Allah atas hidupnya. Kedua, kita dapat mengenali cinta sejati dari pandangan pertama. Film atau lagu bisa berbicara tentang "hati yang
berbunga pada pandangan pertama." Kenyataannya, meskipun berjuta
rasanya, jatuh cinta hanyalah perasaan yang berlangsung sekejap. Cinta sejati memerlukan waktu untuk pengujian. Sebaliknya,
cinta pada pandangan pertama muncul karena sesuatu yang khusus pada si
dia. Anda pun membentuk suatu gambaran tentang orang itu, sehingga yang
Anda cintai bukan dirinya yang sesungguhnya. Ketiga, pasangan hidup yang sempurna akan memenuhi
kebutuhan kita sepenuhnya. Sesungguhnya, tidak ada orang yang dapat memenuhi
semua kebutuhan Anda. Bila Anda kesepian sebelum menikah, Anda akan
tetap kesepian setelah menikah. Luka-luka masa lalu, ketidakmampuan
untuk mengungkapkan emosi dengan baik, ketakutan, ketertutupan –
hal-hal semacam itu tidak dapat diubah oleh pasangan Anda. Hanya Yesus
yang dapat memulihkan hidup Anda. *** Banyak orang kesepian karena mereka cenderung membangun
tembok, bukan membangun jembatan. Sebagian besar pernikahan dimulai
dengan cinta, tapi kenapa banyak yang berujung dengan pertengkaran,
pengkhianatan, dan bahkan perceraian? Alkitab menegaskan, pernikahan adalah hubungan. Adapun
bahan utama hubungan yang sehat bukanlah perasaan cinta, melainkan
karakter. Karakter adalah buah Roh, bukan karunia Roh. Bukan pemberian,
melainkan terbentuk melalui proses pendewasaan. Diperlukan karakter untuk dapat membangun jembatan, untuk
membangun hubungan dengan orang lain. Karakter – seperti kerendahan
hati, kesabaran, ketulusan, kemurahan, hikmat, pengertian,
kelemahlembutan, sukacita, kasih, suka mengampuni, tidak pemarah, tidak
mendendam – sangat menentukan berhasilnya suatu hubungan. Perlu
karakter untuk dapat melayani orang. Perlu karakter untuk dapat
mengasihi, mendengarkan dan mengampuni. Jadi, dalam memilih jodoh, kita perlu mengambil keputusan secara cerdas dan berhikmat, bukan secara emosional. Adakah karakter Anda dan si dia telah berkembang sebagaimana mestinya? Anda berdua memang "jodoh" (bahasa sono-nya compatible: cocok, sepadan, bersahabat, satu hati, satu tujuan hidup)? Anda masing-masing menyadari, pernikahan adalah komitmen, bukan kontrak? *** Dimuat: Bahana,
Januari 2003 © 2003 Denmas Marto |