Home | Artikel

Demi Kelangsungan Hidup Bangsa

Versi Aceh

Alam mengajarkan, motivasi untuk menjaga kelangsungan hidup adalah daya hidup yang paling mendasar dan paling tinggi. Karenanya, kecuali pada sedikit spesies yang paling sederhana, keluarga merupakan daya hidup yang paling primer. Orang tua yang mengorbankan anaknya sendiri akan sulit mendapatkan ruang yang terhormat, bahkan di tengah dunia binatang. Bukanlah kebetulan kalau batu ujian pertama bagi pemerintahan Raja Salomo dalam Perjanjian Lama berkaitan dengan sikap dua ibu terhadap kelangsungan hidup seorang anak.

Setelah sekian tahun memerintah dan mereguk manis-pahitnya kehidupan, Raja Salomo menyimpulkan salah satu pengamatannya, yang menunjukkan betapa ia semakin arif memahami pentingnya kelangsungan hidup manusia. "Aku melihat lagi kesia-siaan di bawah matahari: ada seorang sendirian, ia tidak mempunyai anak laki-laki atau saudara laki-laki, dan tidak henti-hentinya ia berlelah-lelah, matanya pun tidak puas dengan kekayaan; -- untuk siapa aku berlelah-lelah dan menolak kesenangan? -- Inipun kesia-siaan dan hal yang menyusahkan" (Pengkhotbah 4:7-8).

Umberto Eco, ahli semiotik dan novelis Italia, mengungkapkan kebenaran serupa. "Saya ingin membuat sebuah buku dan seorang anak, sebab hanya dengan cara itulah kita bisa mengatasi kematian: benda yang terbuat dari kertas dan benda yang terbuat dari daging. Permainan cinta semata-mata, hanya demi kenikmatan belaka, merupakan hal yang tolol; tidak ada hasil yang bisa diperoleh dari hal itu. Tetapi kematian saya bisa mempunyai makna kalau seseorang menggantikan saya dan meneruskan kehidupan saya. Dan saya menulis buku, bukan untuk memperoleh sukses sekarang, tetapi dengan harapan bahwa seribu tahun yang akan datang buku itu paling tidak masih masuk dalam daftar kepustakaan atau dalam catatan kaki."

Raja Salomo dan Umberto Eco mengungkapkan isu tersebut dalam konteks keluarga. Namun, prinsipnya dapat ditarik ke dalam skala yang lebih luas. Komitmen terhadap kelangsungan hidup inilah yang akan menguji kebijakan setiap pemerintahan.

Batu ujian ini mengemuka di tengah proses rehabilitasi dan rekonstruksi NAD dan Sumut pascatsunami. Karikatur GM Sudarta (Kompas, 22/1) secara getir menunjukkan "tsunami-tsunami" susulan yang malah menjadikan keadaan kian parah dan kusut. Kekisruhan ini tak lain disebabkan oleh perbedaan komitmen di antara komponen bangsa ini.

Bencana tsunami, sebagaimana sebuah krisis, berperan memunculkan watak asli bangsa ini. Nah, watak seperti apakah yang akan muncul ke permukaan?

Apakah bangsa ini termasuk golongan yang "sendirian; tidak mempunyai anak laki-laki atau saudara laki-laki". Ini simbol manusia-manusia yang egois - hidup hanya untuk diri sendiri. Perspektif mereka sempit, serba mengejar kenyamanan dan sukses sesaat -- ketika sebagian saudara sebangsa tengah menggelepar diterjang bencana! Bantuan diselewengkan, sekat-sekat SARA dan xenophobia dipertajam, proyek infrastruktur diperebutkan dan seterusnya. Kepentingan politis ditonjolkan, dan nasib korban dikesampingkan. Betul-betul tragis, "berpesta pora di atas penderitaan orang lain."

Ataukah bangsa ini termasuk golongan yang berusaha "mengatasi kematian"? Bencana mahadahsyat ini menjadi bahan introspeksi, menggugah kerendahan hati, menyadarkan kerentanan manusia, dan mendorong perlunya bergandeng tangan sebagai satu bangsa, senasib sepenanggungan sebagai umat manusia.

Dengan demikian, bencana nasional ini berbalik menjadi momentum bermakna untuk memperjuangkan keutuhan dan kelangsungan hidup bangsa ini. Bersediakah bangsa ini melepaskan label golongan dan politis, kemudian bahu-membahu melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi? Bukan hanya NAD dan Sumut dipulihkan, namun bangsa ini secara keseluruhan juga bangkit dari keterpurukan.

Pilihan ada di tangan kita. Bencana menawarkan pilihan bagi bangsa ini untuk humble atau kejungkel. Dengan berkomitmen bagi kelangsungan hidup bangsa, kita bisa mengubah catatan sejarah dan menjadi generasi yang merupakan perintis dan peletak dasar yang kokoh bagi Indonesia baru. Atau sebaliknya, kita justru merampok generasi yang akan datang, dihantui oleh trauma bencana tak tersembuhkan, mewariskan suatu sistem yang carut-marut, korup dan bobrok, serta sebuah negara yang tergadai oleh beban utang, dan koyak pula oleh disintegrasi. Dan sejarah akan mengenang kita sebagai orang tua yang mencekik anaknya sendiri, mengurbankannya di atas mezbah ambisi egois dan kenyamanan pribadi. *** (22/01/2205)

Versi awal

Alam mengajarkan, motivasi untuk menjaga kelangsungan hidup adalah daya hidup yang paling mendasar dan paling tinggi. Karenanya, kecuali pada sedikit spesies yang paling sederhana, keluarga merupakan daya hidup yang paling primer. Orang tua yang mengorbankan anaknya sendiri akan sulit mendapatkan ruang yang terhormat, bahkan di tengah dunia binatang. Bukanlah kebetulan kalau batu ujian pertama bagi pemerintahan Raja Salomo dalam Perjanjian Lama berkaitan dengan sikap dua ibu terhadap kelangsungan hidup seorang anak.

Setelah sekian tahun memerintah dan mereguk manis-pahitnya kehidupan, Raja Salomo menyimpulkan salah satu pengamatannya, yang menunjukkan betapa ia semakin arif memahami pentingnya kelangsungan hidup manusia. "Aku melihat lagi kesia-siaan di bawah matahari: ada seorang sendirian, ia tidak mempunyai anak laki-laki atau saudara laki-laki, dan tidak henti-hentinya ia berlelah-lelah, matanya pun tidak puas dengan kekayaan; -- untuk siapa aku berlelah-lelah dan menolak kesenangan? - Inipun kesia-siaan dan hal yang menyusahkan" (Pengkhotbah 4:7-8).

Umberto Eco, ahli semiotik dan novelis Italia, mengungkapkan kebenaran serupa. "Saya ingin membuat sebuah buku dan seorang anak, sebab hanya dengan cara itulah kita bisa mengatasi kematian: benda yang terbuat dari kertas dan benda yang terbuat dari daging. Permainan cinta semata-mata, hanya demi kenikmatan belaka, merupakan hal yang tolol; tidak ada hasil yang bisa diperoleh dari hal itu. Tetapi kematian saya bisa mempunyai makna kalau seseorang menggantikan saya dan meneruskan kehidupan saya. Dan saya menulis buku, bukan untuk memperoleh sukses sekarang, tetapi dengan harapan bahwa seribu tahun yang akan datang buku itu paling tidak masih masuk dalam daftar kepustakaan atau dalam catatan kaki."

Raja Salomo dan Umberto Eco mengungkapkan isu tersebut dalam konteks keluarga. Namun, prinsipnya dapat ditarik ke dalam skala yang lebih luas. Seperti dikatakan Rick Joyner, komitmen terhadap kelangsungan hidup inilah yang akan menguji kebijakan setiap pemerintahan.

Lebih jauh Rick Joyner mengungkapkan, komitmen terhadap kelangsungan hidup merupakan hal yang fundamental bagi moralitas. Sesuatu yang legal belum tentu benar. Moralitas tidak didikte oleh legalitas; moralitas berarti melakukan apa yang benar. Masyarakat yang tidak berdasarkan pada hukum akan terseret ke dalam despotisme dan tirani. Namun, masyarakat yang gagal mengatasi hukum, untuk hidup bukan sekadar berdasarkan legalitas, melainkan juga berdasarkan moralitas, telah kehilangan nilai kemanusiaannya dan potensinya untuk mencapai keagungan. Dalam kata-kata Daniel Bell, "Tidak adanya sistem moral yang berakar (dalam masyarakat) merupakan… ancaman terbesar bagi kelangsungan hidupnya."

Dan bangsa kita tengah diperhadapkan pada batu ujian ini. Bila dicermati, berbagai krisis dan konflik tak kunjung terselesaikan serta konstalasi politik yang kian memanas tak lain disebabkan oleh perbedaan komitmen di antara komponen bangsa ini.

Golongan pertama adalah mereka yang "sendirian; tidak mempunyai anak laki-laki atau saudara laki-laki". Ini simbol orang yang egois - hidup hanya untuk diri sendiri. Perspektif mereka sempit, serba mengejar kenyamanan dan sukses sesaat - ketika bangsa ini tengah menggelepar dalam krisis berkepanjangan!

Golongan lainnya adalah mereka yang berusaha "mengatasi kematian". Mereka menyadari, kehidupan mereka adalah sebuah investasi: untuk masa kini, untuk masa depan, dan bahkan untuk keabadian. Kelangsungan hidup dan keutuhan bangsa ini diterimanya sebagai anugerah Tuhan: sebuah kepercayaan yang mesti dipertanggungjawabkan, dan juga tongkat estafet yang harus diteruskan. Lebih dari sekadar mengupayakan apa yang legal secara hukum, mereka mengejar hal-hal yang benar secara moral.

Mereka berkomitmen untuk sungguh-sungguh memperjuangkan keutuhan dan kelangsungan hidup bangsa ini - mengatasi kepentingan pribadi atau golongan. Mereka siap bahu-membahu mengatasi krisis sambil menginvestasikan hidup untuk sebuah visi masa depan. Mereka benar-benar mempertimbangkan apa yang dapat disumbangkan untuk generasi berikutnya. Dengan demikian mereka memastikan, bahwa bangsa ini memiliki duta untuk masa depan.

Pilihan ada di tangan kita. Dengan berkomitmen bagi kelangsungan hidup bangsa, kita bisa mengubah catatan sejarah dan menjadi generasi yang merupakan perintis dan peletak dasar yang kokoh bagi reformasi menuju Indonesia baru. Atau sebaliknya, kita justru merampok generasi yang akan datang, mewariskan suatu sistem yang carut-marut, korup dan bobrok, serta sebuah negara yang tergadai oleh beban utang, dan koyak pula oleh disintegrasi. Dan sejarah akan mengenang kita sebagai orang tua yang mencekik anaknya sendiri, mengurbankannya di atas mezbah ambisi egois dan kenyamanan pribadi. *** (24/09/2001)

© 2004-2005 Denmas Marto