Home | Film Favorit | |||
Kebanyakan kritikus sepakat, City Lights adalah film terbaik Charlie Chaplin. Diproduksi tahun 1931, film ini sekaligus menunjukkan sikap keras kepala Chaplin. Di tengah euforia munculnya film-berbicara, Chaplin tetap nekat memproduksi film-bisu. "Talkies are spoiling the oldest art in the world - the art of pantomime. They are ruining the great beauty of silence. They are defeating the meaning of the screen," komentarnya. Di film ini ia malah sempat meledek film-berbicara. Dalam adegan peresmian patung di awal film, kata-kata sambutan yang muncul terdengar seperti suara bebek. Sayang, ia tidak mengukuhi kredo ini. Maksud saya bukan karena ia kemudian juga memproduksi film-berbicara. Namun, ketika kemudian saya menonton The Gold Rush (produksi 1925), saya mendapatkan versi yang sudah diimbuhi narasi dan dialog. Hasilnya, setali tiga uang dengan mewarnai film hitam-putih: melunturkan daya magisnya. Kembali ke City Lights. Di sini Chaplin kembali berperan sebagai Si Gelandangan, wakil dari sosok yang terpinggirkan. Ia berteman dengan orang-orang yang tidak (dapat) melihatnya: milyuner mabuk yang saat sadar tidak mengenalinya lagi, dan gadis buta penjual bunga. Tampil sebagai figur Kristus, ia membangkitkan harapan mereka: bahwa bagaimanapun hidup ini layak dijalani. "Besok burung-burung akan berkicau," katanya pada si milyuner, seperti terbaca pada title card. Ia menyelamatkan milyuner itu dari beberapa usaha bunuh diri. Ia juga berusaha mati-matian mencari uang, antara lain dengan mengikuti pertandingan tinju-bayaran, untuk menolong si gadis menjalani operasi mata. Dengan uang dari Si Gelandangan, gadis itu bukan hanya mengalami kesembuhan, namun juga bisa membuka toko bunga. Si Gelandangan malah masuk penjara karena secara keliru dituduh melakukan perampokan. Membaca sinopsis ini, Anda akan mengira City Lights adalah sebuah drama romantis. Ada benarnya. Film ini bersubjudul "A Comedy Romance in Pantomime." Dan sepanjang film kita diayun antara kegelian yang mengguncang perut dan keharuan yang menyumbat tenggorokan. Adegan paling heboh -- apa lagi kalau bukan pertandingan tinju-bayaran itu? Selain tentu saja amat kocak, kalau lebih dicermati, adegan itu juga layak dianggap sebagai sebuah koreografi yang rancak. Chaplin juga menawarkan kejutan melalui detil-detil yang tergarap rapi. Ketika Si Gelandangan mengantar gadis itu pulang, misalnya, ada kucing bergelung di jendela. Ternyata kemudian kucing ini "difungsikan" untuk menyenggol pot, sehingga jatuh menimpa Si Gelandangan. Menurut Roger Ebert, "If only one of Charles Chaplin's films could be preserved, 'City Lights' (1931) would come the closest to representing all the different notes of his genius. It contains the slapstick, the pathos, the pantomime, the effortless physical coordination, the melodrama, the bawdiness, the grace, and, of course, the Little Tramp--the character said, at one time, to be the most famous image on earth." Film ini ditutup dengan adegan amat menyentuh. Sekeluarnya dari penjara, dalam keadaan compang-camping, diejek anak-anak nakal, ia berdiri di depan toko si gadis. Melihatnya, gadis itu tertawa geli, menawarinya uang, dan memberinya bunga. Ketika menyentuhnya, barulah gadis itu sadar, gelandangan inilah, bukan seorang milyuner seperti yang dibayangkannya, dermawan penolongnya. Dan gambar terakhir – memperlihatkan Si Gelandangan dengan bunga mawar di mulutnya – secara kuat melambangkan kasih ilahi: sosok yang ditolak oleh manusia, namun sebenarnya telah mengurbankan dirinya untuk menyelamatkan kita. *** (20/7) |
|||
Home | Film Favorit | Email |
© 2003 Denmas Marto