Home | Film Favorit | |||
Roger Ebert memilih The Color Purple sebagai film terbaik 1985. Di ajang Oscar, film ini mencatat rekor tersendiri: meraih 11 nominasi, namun gagal menggondol satu penghargaan pun! Sudah lama aku penasaran ingin menontonnya. Desember lalu seorang teman mengiming-imingi, dan bahkan menulis puisi dari film ini. Baru awal tahun ini aku menemukan VCD originalnya di rental langgananku. "CP apik, ning rumangsaku kok kakehan gulo," komentarku via SMS kepada teman tadi. Menurutku, The Color Purple terlalu "manis" untuk sebuah kisah yang pahit-getir. "Maksude?" balasnya. Karena jawabannya tak akan memadai kalau lewat SMS lagi, maka kutulis catatan ini. Menonton adegan pembukanya -- dua gadis kecil berkejaran di tengah padang rumput penuh bunga -- orang bisa mengira akan disuguhi film sejenis The Sound of Music. Namun, tidak -- gadis yang lebih besar ternyata tengah hamil tua. Berikutnya, dia pun melahirkan anaknya -- yang ternyata anak kedua -- dan anak ini kembali direnggut darinya. Lalu, melalui voice-over, si gadis yang bernama Celie itu menceritakan bahwa ia hamil dua kali akibat perbuatan pria yang dia sebut sebagai ayah, yang kemudian menikahkannya dengan seorang duda.... Di sini, semestinya Spielberg sudah mengganti kunci nada, dan masuk lebih jauh ke dalam wilayah-wilayah minor. Namun, tidak -- ia malah berusaha "menghibur" kita dengan gambar-gambar yang elok dan latar tempat yang permai. Ketika Celie terjatuh karena dilempari batu oleh anak Albert dari isteri pertamanya, bercak darah di atas salju persis berbentuk telapak tangan. Perpisahan memilukan antara Celie dan Nettie itu pun dilatari sebuah perkebunan eksotis. Meski belum membacanya, aku mencium isi novel Alice Walker sebenarnya lebih muram daripada yang terpapar di layar. Tampaknya Spielberg memilih bermain aman, dan menyajikannya dengan salutan gula sedemikian rupa, agar garapannya ini bisa dicerna oleh khalayak pemirsa yang lebih luas (di Amerika film ini tergolong "PG-13"). Aku jadi teringat pada Mickey's Christmas Carol (Burny Mattison). Kalau Anda sudah membaca kisah Natal karya Charles Dickens (e-text-nya bisa dicari di internet; terjemahan bahasa Indonesianya, dihiasi ilustrasi bagus Eric Kincaid, diterbitkan Quality Press) yang dijadikan sumbernya, Anda akan segera tahu bahwa animasi Disney ini hanyalah versi "ringan" dan "main-main" dari kisah yang sebenarnya lumayan berat. Judulnya saja sudah mengisyaratkan hal itu. Maka, begitu Paman Gober muncul di layar, kita langsung tahu, it will be fun. Dengan kata lain, it works. Tidak demikian dengan The Color Purple. Upaya Spielberg menjadikannya sebuah feel-good movie rasanya kurang jitu. Langkah penting untuk menghadapi kejahatan adalah menerima realitas kejahatan itu sendiri. Spielberg justru "melindungi" kita dari kejahatan itu dengan melunakkannya dan membuat kisah ini seolah-olah berlangsung hanya dalam sebuah dongeng. (Rumah dan perkebunan Albert sekeluarga adalah salah satu tempat terindah yang pernah kusaksikan dalam film.) Memang banyak adegan menyentuh dalam film ini: Celie menggendong Olivia di toko grosir; Celie belajar membaca; percakapan dari hati ke hati antara Celie dan Shug; Celie menemukan surat-surat Nettie yang selama ini disembunyikan oleh Mister (sebutannya untuk Albert); Celie melemparkan coklat dari atas kereta; juga adegan favoritku: Shug dari bar bernyanyi sahut-menyahut dengan paduan suara gereja, seusai ayahnya berkhotbah tentang anak yang hilang. Namun, perhatikan, itu semua adegan-adegan "manis". Kita tidak diberi ruang yang cukup untuk berempati pada keterhimpitan Celie hidup dengan suami yang suka memukuli isteri. Sulit pula turut merasakan ambruknya moril Sofia setelah dipenjara akibat berbicara kasar pada seorang walikota berkulit putih. Kesan yang kemudian kutangkap: Ya, Celie memang menderita, namun tidak "terlalu" menderita. Albert memang jahat, namun tidak "terlalu" jahat. (Baru delapan tahun kemudian Spielberg berhasil membesut sebuah drama muram yang benar-benar mencekam, Schindler's List. Bagi saya, Schindler's List terasa efektif justru karena pahlawannya tidak suci-suci amat. Sejak semula diperlihatkan bahwa Schindler bergerak menuruti naluri bisnis, berusaha memanfaatkan kesempatan di tengah sengkarut perang. Ketika akhirnya matanya tercelik, dan ia menyadari apa yang telah dia lakukan, kita pun benar-benar ikut trenyuh. Seandainya Spielberg "menghaluskan" sosok Schindler dengan menampilkannya sebagai seorang pejuang filantropi, kukira dampak Schindler's List tidak akan sedahsyat itu.) "Hidangan di hadapan lawan" tentunya akan sungguh-sungguh menggugah selera bila kita telah menempuh "lembah kekelaman." Dalam The Color Purple, Spielberg sepertinya justru berusaha mengelakkan kita dari lembah kekelaman itu, dan mengajak bermain-main di padang berumput hijau dengan bebungaan warna ungu. Akibatnya, pesan penebusan pada ending-nya pun jadi terkesan kurang berkilau. *** (13/1/2004) |
|||
Home | Film Favorit | Email |
© 2004 Denmas Marto