Home | Resensi Film

Dilwale Dulhania Le Jayenge

Jatuh Cinta Berjuta Indahnya....

Kajol dan Shah Rukh KhanInilah film yang saya tonton dengan senyum bahagia, dan sesekali letupan tawa. Pada saat-saat yang semestinya murung pun, senyum tetap terkulum. Yah, sang tokoh entah bagaimana PASTI akan mengatasi rintangan dan akhirnya berjaya, bukan? Dilwale Dulhania Le Jayenge (DDLJ) toh hanya sebuah film -- dan itu bukan sebuah celaan, melainkan pujian.

Selama ini, film-film nehi-nehi memang agak saya hindari. Masih bisa dihitung dengan jari film-film Bollywood yang tercatat dalam pengalaman nonton saya. Bukan karena antipati. Sederhana saja, saya "ngeri" membayangkan paling tidak tiga jam mesti tercenung di depan layar. Saya mesti betul-betul mengantisipasi bahwa paling tidak akan having fun dalam jangka waktu sepanjang itu. Dan saya kesulitan mencari referensi, mana di antara film-film Bollywood yang bejibun itu yang memang layak tonton. DDLJ masuk "nominasi" karena muncul sebagai salah satu dari "10 Indian Films to Treasure" oleh Time dan "Five must-see [Bollywood] movies on DVD and video" oleh Observer.

Cukup lama saya mencari-cari film ini. Nyaris tak percaya rasanya saat membaca cover VCD Teri Bahon Mein. Saat dicermati, tercantum di bawahnya dalam huruf yang lebih kecil: Dilwale Dulhania Le Jayenge. Pemainnya: Shah Rukh Khan dan Kajol. Saya baca sinopsinya. Yak, ini dia!

Bollywood dikenal menyajikan film-film panjang, namun sekaligus pepak. Berbagai genre sekaligus dapat dinikmati sekali jalan. Musikal -- jangan tanya lagi. Percintaan. Komedi. Laga. Aktris cantik, aktor ganteng. Kepiluan. Latar serba indah yang cocok dijadikan wallpaper. Dan seterusnya. Dan DDLJ yang berdurasi 192 menit ini merupakan sebuah perkenalan bagus. Menontonnya akan membuat orang jatuh cinta pada pandangan pertama.

DDLJ adalah komedi romantis yang memotret ketegangan antara perkawinan karena dijodohkan dan perkawinan berdasarkan cinta. Chaudhry Baldev Singh (Amrish Puri) tinggal di London bersama istri, Lajwanti (Farida Jalal), dan dua putri mereka, Simran (Kajol) dan Chutki (Pooja Ruparel). Meskipun telah sekian lama bermukim di luar negeri, ia masih memegang teguh tradisi India. Ia menjodohkan Simran dengan putra kawannya di Punjab, India.

Sebelum berangkat ke India, Simran meminta izin untuk terakhir kali menikmati kegembiraan masa lajang dengan ikut teman-temannya berkeliling Eropa. Dalam perjalanan wisata itulah ia bertemu dan jatuh cinta dengan Raj (Shah Rukh Khan), pemuda malas periang anak orang kaya, Dharamvir Malhotra (Anupam Kher). Saat mengetahui bahwa Simran jatuh cinta, Baldev Singh segera membawa keluarganya ke India. Raj yang mabuk kepayang menyusul. Simran sebenarnya dengan senang hati kawin lari, namun Raj rupanya punya rencana tersendiri untuk melunakkan hati Baldev Singh.

Sebuah cerita klise? Ho-oh. Namun, film bukan sekadar tentang apa yang diceritakan, melainkan terutama tentang bagaimana menceritakannya. Dan Aditya Chopra mesti diakui telah merajut sebuah film yang segar dan menghibur.

Selama ini tertanam dalam benak saya bahwa cinta yang tertinggi dan teragung adalah agape (cinta ilahi). Menurut hierarki teologis bisa jadi pandangan tersebut beralasan, namun jeleknya lalu saya terperangkap menganggap cinta yang lain lebih rendah dan perlu "disucikan" oleh agape. Untuk eros (cinta romantis) bahkan lebih gawat lagi, cinta jenis ini cenderung dikaitkan dengan keduniawian dan dosa.

Paling tidak ada dua sumber yang menolong "membaptis" pemikiran saya. Pertama, tulisan-tulisan Philip Yancey. Bab "Designer Sex" dalam bukunya Rumours of Another World sungguh mencelikkan mata. Menurutnya, cinta romantis dapat menjadi penunjuk jalan yang baik menuju transendensi. Mengutip Charles William, ia menulis, "Selama waktu yang singkat, paling tidak, cinta romantis memberi kita kemampuan untuk melihat yang terbaik di dalam diri orang lain, untuk mengabaikan atau mengampuni kelemahannya, untuk tenggelam dalam kekaguman yang tak berkesudahan. Keadaan itu… merupakan prabayang akan bagaimana kita suatu hari nanti akan memandang setiap orang yang telah dibangkitkan dan bagaimana Tuhan saat ini memandang kita."

Sumber berikutnya agak tak terduga: film. Melalui film-film semacam Romeo and Juliet (1968), Moulin Rouge, dan kini DDLJ, saya diingatkan bahwa cinta romantis nyatanya bisa begitu indah, murni, segar, dan patut dirayakan. Bila diberi tempat yang semestinya, cinta romantis tak bakal menjerumuskan kita ke dalam dosa, namun malah mengutuhkan kemanusiaan kita. Bukankah kita manusia yang, menyitir Amir Hamzah, "rindu rasa, rindu rupa"? Bukankah di antara sekian banyak makhluk seksual, hanya manusia yang mengalami seks sebagai kenikmatan rekreatif, bukan sekadar sebagai sarana reproduksi?

Itulah yang ditawarkan DDLJ: merayakan cinta romantis. Melalui alunan nada khas (musiknya digarap oleh Jatin-Lalit), lirik lagu (sayang saya tak paham bahasa Hindi, dan mesti puas dengan keterbatasan terjemahan), tarian, ekspresi wajah, gerak tubuh, beragam letupan emosi cinta berusaha diungkapkan. Cinta yang buta, cinta yang konyol, cinta yang polos, cinta yang penuh renjana. Shah Rukh Khan tampak fasih, sedangkan Kajol terasa kurang intensif dalam mengolah emosi-emosi sedih. Bagaimanapun, Anda akan gampang memaafkannya sebab semua itu dibentangkan di atas lanskap serba memikat, dengan memanfaatkan kecantikan wilayah Inggris, Swis dan India sebagai lokasinya -- kecantikan yang lebih baik disimak dan ditonton sendiri ketimbang dituliskan.

Namun, yang terutama menyegarkan adalah nilai-nilai yang melingkupinya: penghargaan terhadap virginitas dan penekanan pada pentingnya restu orang tua dalam pernikahan. Sekalipun tergila-gila, mereka tak serta-merta menelanjangi diri dan berguling-guling dalam hubungan seksual pranikah seperti dalam film-film Hollywood. Eros, nyatanya, bisa bersabar. Raj, yang punya hubungan hangat dengan ayahnya, bersikukuh tak hendak melarikan Simran. Ia akan menunggu sampai Baldev Singh sendiri menyerahkan tangan Simran kepadanya. Pantaslah film ini berjudul DDLJ, konon artinya "yang berhati teguh dan berani akan merengkuh sang mempelai wanita".

Tuhan pun hadir secara mengejutkan. Simran digambarkan taat melakukan puja. Namun, ia juga dengan leluasa berdoa di sebuah gereja, dan mengakhirinya dengan membentuk tanda salib di dada. Ini mengingatkan saya pada Kisah Pi-nya Yann Martel, yang tokoh utamanya memeluk tiga agama sekaligus: Hindu, Katholik, Islam. Wah!

Seperti saya katakan tadi, DDLJ adalah pengantar bagus bagi mereka yang ingin mengenal Bollywood. Kalau Anda tidak tahan dengan film ini, sungguh sayang -- Anda sedang menutup diri terhadap khasanah sinema nan fantastis penuh gerak, penuh nada, penuh warna.

Sebagai informasi tambahan, DDLJ tercatat sebagai film yang paling lama diputar dalam sejarah sinema India. Pada 28 Mei 2004 film ini mencapai minggu ke-450 pemutaran terus-menerus (kau dengar, Titanic?) di Maratha Mandir Theatre, dan kemungkinan masih berlanjut sampai sekarang.

Oh, kisah cinta memang tak ada matinya! *** (17/02/2005)

DILWALE DULHANIA LE JAYENGE. Sutradara: Aditya Chopra. Skenario: Aditya Chopra dan Javed Siddiqui. Pemain: Shahrukh Khan, Kajol, Anupam Kher, Farida Jalal and Amrish Puri. Asal/Tahun: India, 1995.

Home | Film Favorit | Email

© 2005 Denmas Marto