Home | Resensi Film

Giant & Glory

Jalan Panjang Menuju "Buta Warna"

Saya menonton dua film ini secara bergantian, dan semula ingin mengulasnya satu per satu. Namun, saat memikir-mikirkan judul ulasan (hehe, begitulah, judul tak jarang meletik dulu), saya tertumbuk pada satu istilah: "buta warna". Bukan dalam arti denotatif, melainkan arti konotatifnya. Barulah saya tersadar bahwa kedua film itu mengusung gagasan yang sama: rasialisme. Dua film dengan latar belakang yang berlainan, dengan caranya masing-masing, memaparkan perjalanan panjang yang ditempuh tokoh-tokohnya untuk mengalami pelunturan prasangka rasial, untuk menjadi "buta warna" dalam arti yang positif.

Mengingat persamaan dan perbedaan itu, saya akan mengupas kedua film itu sekali jalan sebagai perbandingan.

***

Giant menampilkan rasialisme di tengah perubahan sosial-ekonomi yang melanda Texas tahun 1920-an. Bick Benedict (Rock Hudson), tuan tanah kaya raya dengan peternakan seluas 595.000 acre bernama Benedict Reata, menikahi Leslie Lynnton (Elizabeth Taylor), wanita menawan dan terpelajar dari Maryland.

Isu rasialisme telah muncul sebagai prabayang pada adegan-adegan awal. Ingin mengetahui lebih banyak tentang tempat asal Bick, Leslie membaca buku sejarah yang menjelaskan pencaplokan Texas dari tangan Meksiko dalam pertempuran di Alamo. Inilah tampaknya yang memantik kebencian penduduk Texas pada umumnya terhadap warga keturunan Meksiko. Namun, isu ini tidak dieksplorasi lebih jauh dalam film berdurasi 201 menit ini, dibiarkan berada di latar belakang, dan baru diletupkan sebagai pemicu konflik menjelang klimaks cerita.

Sepanjang dua per tiga bagian awal film, rasialisme tampil dalam wajah yang lain. Bukan sekadar pembedaan berdasarkan warna kulit atau keturunan, namun juga berdasarkan jenis kelamin serta status sosial, ekonomi dan pendidikan. Sosok rasialis di bagian ini tidak lain adalah Bick. Ia sangat mencintai Leslie, namun berpandangan tradisional dengan menempatkan sang isteri hanya sebagai konco wingking yang tidak layak terlibat dalam pembicaraan kaum pria tentang bisnis dan politik. Ia tidak peduli pada warga kampung kumuh di dekat peternakannya. Ia sinis terhadap Jett Rink (James Dean), pemuda penggerutu yang diam-diam mencintai Leslie. Saat Rink mendadak kaya raya gara-gara terdapat kandungan minyak di tanah miliknya, Bick menganggapnya tak lebih sebagai kere munggah bale, orang kaya baru yang tidak setaraf dengan dirinya yang memang dari sononya sudah kaya. Sebagai ayah, Bick juga bermasalah: Ia berniat mengatur jalan hidup anak-anaknya menurut kemauannya.

Barangkali Bick terkesan sebagai sosok yang bengis. Tidak seburuk itu. Yang membuatnya picik tidak lain karena ia cuma punya satu obsesi: Reata. Reata adalah hidupnya, Reata adalah kebanggaannya, dan ia ingin mewariskan kebanggaan itu kepada anak-cucunya. Ironisnya, anak-anaknya adalah sebuah generasi baru dengan cara pandang mereka sendiri.

Perubahan watak Bick berlangsung dalam proses yang amat panjang. Ada sejumlah titik balik yang diperlihatkan dalam film ini. Pertama, ketika mereka menghadiri pernikahan adik Leslie. Menyimak ikrar pernikahan kedua mempelai, mereka diingatkan akan komitmen yang diperlukan untuk melumerkan ketegangan hubungan mereka. Sekian tahun kemudian, saat anak-anak mereka beranjak dewasa, dalam sebuah percakapan di tempat tidur dengan Leslie, Bick menyadari bahwa ia tak bisa memaksakan kehendak pada anaknya. Putra sulungnya tidak berminat melanjutkan bisnis peternakan, dan memilih menjadi dokter.

Film yang diangkat dari novel Edna Ferber ini merentangkan riwayat Peternakan Reata sepanjang seperempat abad. Meskipun make-up yang menunjukkan penuaan para tokoh cukup meyakinkan, alur penceritaannya terasa berlarat-larat, tidak segera jelas ke mana maunya. Baru pada sepertiga bagian terakhir konflik mengerucut secara tajam menuju klimaks yang mendorong perubahan watak signifikan dalam diri Bick.

Di bagian inilah rasialisme tampil tanpa tedeng aling-aling, namun pelaku utamanya bukan lagi Bick. Adalah Jett Rink, di tengah kemegahan acara peresmian hotel dan lapangan terbang miliknya, yang memperolok salah seorang menantu Benedict, seorang keturunan Meksiko. Konflik lama segera merebak menjadi konfrontasi di depan publik, yang sekaligus menyadarkan Bick bahwa ada perkara lain yang lebih perlu dibela ketimbang Reata. Adegan penutup film ini lalu terasa segar, "menebus" keboyakan bagian-bagian sebelumnya. Setelah menanti sekian lama, akhirnya Leslie mendapatkan Bick sebagai "pahlawanku."

Giant memang salah satu contoh produk khas Hollywood tempo doeloe yang sudah jarang diproduksi lagi: kisah epik dengan penggarapan berpanjang-panjang ala opera sabun (kalau mau contoh kiwari: Cold Mountain). Ini mengundang perbandingan dengan kisah epik serupa, Gone with the Wind. Film berlatar Atlanta saat perang sipil ini berkembang menjadi epik kolosal lengkap dengan isu-isu sosial yang melatarinya. Sedangkan Giant, sekalipun ditampilkan dengan sinematografi megah, tetap terasa hanya sebagai kisah keluarga, bukan kisah perubahan yang melanda Texas -- meskipun ada petunjuk ke arah itu. Berbeda dengan Tara yang terkesan monumental, Reata tidak berhasil muncul sebagai karakter tersendiri. Mungkin karena Tara mesti diperjuangkan habis-habisan oleh Scarlett, sedangkan Reata tidak pernah direnggut dari diri Bick, hanya diemohi oleh anak-anaknya. Tara menjadi sumber vitalitas; Reata menjadi artefak masa lalu yang segera terlupakan.

Film garapan George Stevens (Shane) ini juga gagal tampil kolosal karena sekalipun para pemain pendukung berperan bagus, keseluruhan film terasa hanya diisi oleh ketiga bintang besar pemain utamanya. Hudson memikat sebagai sosok berkepribadian paling kompleks dalam kisah ini. Dean -- yang tewas dalam kecelakaan mobil sebelum penggarapan film ini rampung -- membawakan Rink sebagai pria yang kesepian, tersiksa oleh kecemburuan dan kasih tak sampai. Taylor tajam sebagai isteri yang cerdas dan setia, percaya akan potensi kebaikan dalam diri suaminya. Bayangkan betapa lama dia mesti menanti perubahan sikap Bick! Pernikahan rupanya masih dihargai sebagai lembaga suci yang dikukuhkan di hadapan Tuhan, dan perselingkuhan atau perceraian belum marak sebagai trend saat itu. Hm, indahnya….

***

Glory lebih to the point dalam menyodorkan isu rasialisme, dan mengemasnya secara ringkas padat dalam 128 menit. Seperti Gone with the Wind, film ini juga berlatar Perang Saudara di AS. Skenarionya yang dikerjakan Kevin Jarre berhasil menguakkan sejumlah sisi lain peperangan tersebut, khususnya keterlibatan warga kulit hitam.

Film ini berdasarkan kisah nyata suka-duka 54th Regiment of Massachusetts Volunteer Infantry. Dikomandani oleh Kolonel Robert Gould Shaw (Matthew Broderick) dari Boston, resimen ini hampir seluruhnya terdiri atas orang Afrika-Amerika -- sebagian warga bebas, sebagian bekas budak -- yang bersedia bertempur bagi pihak Utara. Pemerintahan AS semula tampak tidak yakin dengan pasukan ini. Meskipun mereka langsung menjalani pelatihan militer yang keras, namun mereka tidak segera diperlengkapi dengan sepatu dan seragam. Tadinya mereka juga hanya akan dimanfaatkan dalam kerja kasar, dan baru kemudian betul-betul dilibatkan dalam pertempuran.

Kisah dituturkan dari sudut pandang Shaw, lengkap dari selingan narasi yang mengutip surat-suratnya. Awalnya Shaw berjarak dengan pasukannya. Ia merasa asing dengan lagu, percakapan dan perkawanan di antara mereka. Ia juga bersikukuh menggunakan disiplin keras untuk "menundukkan" mereka. Bawahannya, Cabot Forbes (Cary Elwes), mencoba mengingatkannya bahwa itu bukan cara yang efektif.

Dari pasukan kulit hitam itu, empat tokoh ditonjolkan secara khusus: Tamtama Trip (Denzel Washington), yang pemarah dan penuh kebencian; Tamtama Jupiter Sharts (Jhimi Kennedy), jagoan menembak yang gagap; Kopral Thomas Searles (Andre Braugher), pria terpelajar teman sebaya Shaw; dan Sersan John Rawlins (Morgan Freeman), bekas budak yang arif dan semula bertugas sebagai penggali kubur. Mereka terkumpul dalam satu tenda. Melalui interaksi dengan mereka inilah Shaw secara bertahap mengalami pencerahan.

Titik balik sikap Shaw berlangsung dalam sebuah adegan paling menyengat di film ini. Suatu saat Trip mesti menjalani pencambukan karena didakwa desersi. Saat pakaiannya dibuka, terlihat jaringan parut bekas cambukan telah memenuhi punggungnya. Namun, hukum mesti ditegakkan, dan pencambukan tetap dijalankan. Selama pencambukan, kamera meng-close-up wajah Trip, dan kita menyaksikan kegeraman, kesengsaraan, kehinaan, kesendirian. Kemudian, air matanya meleleh. Dengan adegan ini saja, Denzel layak membawa pulang Oscarnya.

Sesudahnya Shaw baru tahu kalau Trip melarikan diri untuk mencari sepatu. Selain Trip, banyak prajurit lain yang kakinya melepuh parah. Shaw pun tergerak, dan ia mendesak dinas perbekalan untuk memberikan jatah sepatu dan kaus kaki yang selama ini mereka tahan.

Solidaritas lainnya ditunjukkan dalam adegan yang mengingatkan pada adegan "I am Spartacus" dalam Spartacus-nya Kubrick. Saat pembagian gaji, ternyata prajurit kulit hitam hanya dibayar 10 dolar sebulan, sedangkan prajurit kulit putih 13 dolar. Menanggapi protes mereka, Shaw memutuskan untuk ikut menolak gajinya. Kepercayaan pun bertumbuh di antara mereka.

Ketika pasukannya ternyata hanya dipakai untuk mengerjakan tugas yang patut dipertanyakan secara moral -- membakari kota yang telah suwung -- dan tugas-tugas kasar lainnya, Shaw pula yang memperjuangkan agar mereka diutus ke dalam pertempuran. Saat diberi kesempatan, mereka pun menunjukkan kelasnya. Sampai akhirnya mereka menjadi ujung tombak penyerbuat ke Fort Wagner. Saat itu, Shaw telah benar-benar menyatu dengan pasukannya -- perbedaan warna tak lagi berarti.

Menyaksikan film ini, saya paling terhenyak dengan penampilan Matthew Broderick. Setelah sebelumnya bermain sebagai pemuda tengil dalam Ferris Bueller's Day Off, ia tampak matang sebagai perwira muda yang mengalami pendewasaan bersama pasukannya.

Pemain lainnya juga mantap. Washington, seperti disinggung tadi, merebut Oscar sebagai Pemeran Pendukung Pria Terbaik. Toh aktingnya tidak menenggelamkan Kennedy, Braugher, dan apalagi Freeman. Masing-masing berhasil muncul sebagai sosok yang unik. Kedekatan mereka amat terasa khususnya dalam adegan hangat pada malam menjelang penyerbuan ke Fort Wagner -- sebuah adegan yang sayangnya tidak melibatkan prajurit kulit putih. Mereka bernyanyi, berdoa, dan menyampaikan kata-kata inspirasional di seputar api unggun.

Adegan-adegan pertempuran terasa sengit dan realistis, yang nantinya baru ditandingi oleh Saving Private Ryan. Di tangan Freddy Francis, penanggung jawab sinematografi, adegan-adegan yang sebagian berlangsung pada malam hari atau di tengah kepulan asap mesiu tampil mencekam.

***

Dengan Glory, Edward Zwick mampu berbicara lebih banyak tentang rasialisme ketimbang Giant. Namun, dua film dari genre dan era yang berbeda menuturkan fenomena yang setali tiga uang: bahwa rasialisme adalah penyakit yang susah matinya.

Itu di Amerika sono. Bagaimana di Indonesia sini? *** (16/02/2005)

GIANTS. Sutradara: George Stevens. Skenario: Fred Guiol dan Ivan Moffat, berdasarkan novel Edna Ferber. Pemain: Elizabeth Taylor, Rock Hudson, James Dean, Mercedes McCambridge, Dennis Hopper, Carroll Baker, Fran Bennett. Asal/Tahun: AS, 1956.

GLORY. Sutradara: Edward Zwick. Skenario: Kevin Jarre, berdasarkan buku Lay This Laurel oleh Lincoln Kirstein dan One Gallant Rush oleh Peter Burchard serta surat-surat Robert Gould Shaw. Pemain: Matthew Broderick, Denzel Washington, Cary Elwes, Morgan Freeman, Jihmi Kennedy, Andre Braugher, John Finn. Asal/Tahun: AS, 1989.

Home | Film Favorit | Email

© 2005 Denmas Marto