Home | Film Favorit

The House of Flying Daggers

Sutradara: Zhang Yimou
Pemain: Andy Lau, Takeshi Kaneshiro, Zhang Ziyi
Produksi: RRC, 2004

Kembali, setelah Hero (2002), Zhang Yimou menyuguhkan sebuah puisi visual, The House of Flying Daggers. Keduanya mengikuti jejak Crouching Tiger, Hidden Dragon -- yang mampu menyedot perhatian kelompok penonton yang kurang berselera terhadap genre kungfu.

The House of Flying Daggers memamerkan kecantikan Zhang Ziyi, koreografi adegan laga dan tarian yang menawan, kostum kaya warna, serta berbagai latar tempat serba elok (termasuk hutan bambu ala Crouching Tiger). Dari sisi ini, VCD original yang diedarkan oleh Blockbuster mengandung plus minusnya sendiri. Pilihan format widescreen sungguh melegakan karena memungkinkan gambar tersaji utuh. Namun, kualitas transfer yang kurang jernih membuat kita mengelus dada -- dan mengingatkan bahwa film ini mestinya memang dinikmati di gedung bioskop yang memadai.

Kalau Hero mengingatkan penonton kepada Rashomon, The House of Flying Dagger mengundang perbandingan dengan sejumlah film. Sebagai drama romantis bernuansa politis, film ini sejajar dengan Dr. Zhivago (juga sebuah puisi visual), yang antara lain mempertanyakan nasib kehidupan pribadi di tengah arus komunisme. Adapun ending-nya dapat disebut kebalikan dari Casablanca. Namun sebagai thriller, dengan motif penyamaran dan identitas palsu, film ini mirip dengan Vertigo -- tokoh perempuannya sama-sama menanggung nasib tragis. Sedangkan Andy Lau, bisa dibilang dia mengulangi perannya di Infernal Affairs.

Untuk membahas lebih jauh film ini, tak ayal kita harus membongkar berbagai kejutan menarik di sepanjang plotnya. Karenanya, kalau Anda belum menontonnya, lebih baik nonton dulu, baru membaca kembali bahasan ini. (Namun, kalau Anda sudah membaca resensi di Kompas Minggu, 15 Agustus lalu, ya apa boleh buat, seluruh rangkaian plot sudah dipaparkan oleh si peresensi.)

Jadi, untuk sinopsisnya (dan penulisan nama tokohnya), tak perlu repot-repot, aku akan mengutip Kompas saja:

"Ceritanya terjadi pada zaman Dinasti Tang, tahun 859 Masehi. Saat dalam pemerintahan Dinasti Tang muncul banyak kasus korupsi, keresahan, perlawanan, pemberontakan, timbul di berbagai tempat. Salah satu kelompok perlawanan yang terorganisasi rapi dan berhasil meraih simpati masyarakat adalah kelompok yang menamakan diri Pondok Pisau Terbang (House of Flying Daggers).

Petugas keamanan distrik setempat, Leo (Andy Lau) dan Jin (Takeshi Kaneshiro), mendapat tugas untuk membekuk siapa sebetulnya pemimpin gerakan misterius itu dalam sepuluh hari. Penyidikan dimulai dari rumah bordil terkemuka, Paviliun Peony, di mana di situ seorang anggota Pisau Terbang menyamar sebagai gadis buta yang pandai menari. Siapa lagi dia kalau bukan Zhang Ziyi (Mei), yang sebelum mengorbit sebagai bintang film memang berlatih tari dan senam sejak usia 11 tahun.

Di 'pondok bunga' itu Mei terlibat perkelahian dengan Leo beserta para anak buahnya. Mei ditangkap untuk dikorek keterangannya mengenai kelompok Pisau Terbangnya. Gadis ini bungkam. Oleh karena itu, dilancarkanlah suatu siasat, Jin berpura-pura menjadi penolong Mei untuk kabur dari penjara. Tujuannya, agar Jin yang kali ini menyamar dengan sebutan Angin bisa di bawa ke markas Pisau Terbang. Untuk menambah serunya cerita, soal penyamaran ini dibikin berlapis-lapis, karena tanpa diketahui Jin, atasannya, yaitu Leo, sebenarnya adalah anggota pisau terbang yang diselundupkan ke pihak pemerintah." (Catatan: Leo pernah menjalin hubungan asmara dengan Mei, dan sampai saat itu tetap mencintainya.)

Kisah mata-mata dan penyamaran ini berkembang menjadi tragedi cinta di tengah sebuah perjuangan politik, katakanlah begitu. Tragedi itu dibesut dalam kisah cinta segitiga antara Jin - Mei - Leo, yang bisa ditarik lebih jauh sebagai sebuah pertarungan antar-ideologi.

Jin, sesuai dengan nama samarannya, adalah Angin, sosok yang mengedepankan individualitas dan kemandirian pribadi. Meskipun seorang pejabat pemerintah, ia kemudian memilih untuk tidak ditelikung oleh kepentingan kelompok mana pun. Leo mewakili idealisme perjuangan melawan korupsi. Itulah, sebenarnya, dua pilihan yang diperhadapkan kepada Mei.

Di markas Pisau Terbang, saat kedok masing-masing telah dibuka, mereka pun berdiri sebagai sosok asli mereka. Dan tibalah waktu bagi Mei untuk memilih.

Dengan Leo, Mei telah dipisahkan oleh tugas selama tiga tahun. Saat bertemu kembali di Paviliun Peony, entah mereka memang pangling atau cuma berpura-pura tidak saling mengenal. Sebaliknya, tugaslah yang mempertemukan Jin dengan Mei, meski semula masing-masing dalam identitas palsunya. Sepanjang perjalanan dari hutan, padang bunga hingga hutan bambu, cinta bersemi dan bertumbuh di antara mereka. Hati sang gadis terbelah, namun toh ia akhirnya menjatuhkan pilihan, kepada siapa hatinya berpaling.

Leo bisa menerima kenyataan bahwa Mei tidak mencintainya lagi, namun ia tidak bisa tinggal diam saat Mei bertekad mengikuti Jin, mengejar kebebasan pribadi. Ia mengakhiri nyawa Mei bukan karena kecemburuan, namun karena menilainya mengkhianati perjuangan Pondok Pisau Terbang. Di sini, ideologi menjadi diktator.

Sikap Leo itulah yang mendorongku membandingkannya dengan ending Casablanca. Pilihan Rick untuk melepaskan Ilsa menyertai Victor patut dipuji karena dua hal. Pertama, ia meletakkan ambisi pribadinya demi kepentingan yang lebih luhur. Kedua, ia memutuskan untuk tidak merusak pernikahan orang lain.

Dalam Flying Daggers, karena belum ada ikatan pernikahan antara Leo dan Mei, maka pilihannya adalah antara cinta sejati (baca: individualitas dan kebebasan pribadi) dan kesetiaan pada tugas (baca: perjuangan dan ideologi kelompok). Pertanyaannya: Adakah pilihan Mei, bila dibandingkan dengan pilihan Rick tadi, misalnya, adalah pilihan yang cengeng, sehingga Leo "berhak" menewaskannya?

Konflik antara pengakuan terhadap individualitas dan pemujaan terhadap ideologi ini mengantarkan aku untuk membuka kembali paparan C.S. Lewis dalam Mere Christianity tentang moralitas. "... Christianity asserts that every individual human being is going to live for ever, and this must be either true or false.... And immortality makes this other difference, which, by the by, has a connection with the difference between totalitarianism and democracy. If individual live only seventy years, then a state, or a nation, or a civilisation, which may last for a thousand years, is more important than an individual. But if Christianity is true, then the individual is not only more important but incomparably more important, for he is everlasting and the life of a state or a civilisation, compared with his, is only a moment." Di tengah kepentingan politis sebuah kelompok, individualitas punya ruang tersendiri yang patut dihormati -- dan mestinya malah bisa berdampingan secara harmonis dan saling mendukung.

Tampaknya Zhang memenangkan kesetiaan pada ideologi, namun dengan menampilkan Leo terseok-seok meninggalkan padang bersalju itu, kemungkinan ia justru tengah mengejeknya. Ia mengulang tema yang telah digarapnya dalam To Live, yang memotret bagaimana keluarga ditepiskan oleh ideologi. Kali ini, Jin akhirnya memang hanya bisa mendekap sosok Mei yang telah tewas berdarah-darah, dan melantunkan tembang duka. Bagaimanapun, ia tengah meratapi "seseorang." *** (21/11/2004)

Home | Film Favorit | Email

© 2004 Denmas Marto