23/12
| Membalas email Sidik. Kutulis antara lain:
"Hal pokok dalam penerjemahan adalah penguasaan bahasa sumber (misalnya Inggris) dan bahasa sasaran (misalnya Indonesia). Kalau hanya salah satu, jelas repot. Bahkan, penguasaan bahasa sasaran kurasa lebih penting, karena yang terutama kita terjemahkan adalah "pengertian", bukan terjemahan harfiah. Misalnya,
"When God doesn't make sense" itu. Kita bisa buka kamus untuk memastikan artinya, namun persoalannya adalah, bagaimana sih hal itu diungkapkan dalam bahasa Indonesia secara wajar?
Silakan baca buku-buku penuntun yang banyak beredar di pasaran. Yang kuanggap
basic: Seni Menerjemahkan terbitan Kanisius (lupa pengarangnya, bukuku sedang dipinjam
teman)....
Yang ketiga (tentang Forrest Gump), kotak coklat itu mengacu pada kotak coklat di Amerika, yang konon isinya memang berbagai rasa. Jadi, saat kau mengambilnya secara acak, kau tidak bisa menebak, kali ini kau
mendapatkan coklat rasa apa.
Aku membacanya begini. Life is unpredictable. Kau tidak tahu apa yang akan kauhadapi di depan.
Ada benarnya, namun teologinya Mamanya Forrest Gump ini kurang lengkap.
Pertama, hidup ini justru tidak seindah kotak coklat. Jauh lebih kompleks. Saya yakin, tidak ada coklat rasa bratawali dalam kamus percoklatan di Amrik. Ya, 'kan?
Kedua, dia hanya memandang dari satu perspektif. Sebaliknya, di dalam Kristus, kita mendapatkan
The Big Picture. Meskipun hidup ini unpredictable, kita berada di Tangan yang Baik, dan kita anggota
The Winning Team (Rm. 8:28).
Aku suka dengan kesimpulan ayah mertua Philip Yancey: "Kehidupan itu sukar. Tuhan itu penuh kemurahan. Surga adalah kepastian."
20/12 | Membalas email Hadi Susanto. Kutulis antara
lain: "Melihat-lihat situs Mas
Hadi, saya jadi tersanjung dan sekaligus tersipu.
Tersanjung, karena ternyata yang kangen pada karya saya adalah orang yang melek sastra. Selama ini, kebanyakan orang malah mengerutkan kening, dan bertanya-tanya apa maksud puisi saya. Jawaban standar saya: Kalau bisa saya tulis dalam bentuk lain, tak akan saya buat puisi. Hehe....
Pernah dulu waktu masih mahasiswanya Pak Minto (Suminto A. Sayuti), puisi saya dikomentari sebagai "pastoral". Saya juga rajin minta ulasan dari Mbak Endang Susanti Rustamaji (dia adik angkatan). Sayang, sekarang saya kehilangan kontak dengannya - meski sekali-kali masih mengikuti karyanya yang melang-lang ke mana-mana itu.
Lalu tersipunya, ya - kalau melihat pengalaman dan karya Mas
Hadi, wah, saya masih harus belajar banyak, nih. Mas Hadi memang suka puisi-puisi pendek, ya? Puisi-puisi Anda formatnya mirip, namun "suhu"-nya terbentang mulai dari yang "dingin luruh" hingga "panas menggelegak."
Tentang "hilang"-nya puisi pendek saya akhir-akhir ini, ya karena saya memang kurang setia pada bentuk. Saya ini masih suka mencoba-coba dan terpengaruh. Kalau lagi terpikat pada Dorothea, lalu meniru-niru gaya dan kosa katanya. Begitu juga kalau ketemu penyair lain yang memukau. Isyarat apa ini,
ya?"
20/12 | Membalas email Slamat
P. Sinambela. Kutulis antara lain:
"Kalau memikirkan "nasib" saya belakangan ini, saya merasa agak geli. Kok bisa-bisanya sejumlah teman "menahbiskan" saya menjadi tukang komentar karya mereka. Lha saya sendiri 'ngirim ke Kompas saja belum tembus-tembus (alasannya selalu menyejukkan hati: Kami kesulitan ruang untuk memuat tulisan Anda!). Kalau perlu komentar yang komprehensif 'kan mestinya meminta pada mereka yang pakar. Okelah, saya terima "nasib" itu, siapa tahu ini bagian dari panggilan, hehe....
Membaca "Namaku Mery", saya langsung tercenung. Kok bisa-bisanya sih Bung Sinambela bikin cerpen seperti ini? Dapat bahan dari mana dia? Gambaran isi kamar si pelacur itu, misalnya: itu dari bacaan, cerita orang "dalam", atau jangan-jangan.... dari pengalaman sendiri! (Hahaha!) Maksud saya, Anda menguasai bahan mentahnya. Ini jelas modal yang berharga: penguasaan materi yang kita ceritakan.
PR berikutnya, bagaimana penggarapan bahan mentah ini. Bung memilih plot linier. Setelah satu paragraf pembuka berisi latar singkat si Mery, kita diseret ke dalam krisis (moral) demi krisis (moral) yang dialami sosok ini. Saya menangkap setidaknya ada tiga tahap degradasi di sini: dari gadis biasa-biasa saja tertelan oleh ketamakan, ketamakan menyeret ke pelacuran, pelacuran dibungkus oleh kemunafikan. Kisah diakhiri dengan guncangan: Kemunafikan bertemu dengan kemunafikan. Rangkaian ini tak ayal memang "menyeret" pembaca untuk melahapnya sampai akhir.
Namun, saat habis membacanya, saya seperti habis menonton trailer sebuah film, atau ringkasan novel yang biasanya dipajang di sampul belakang itu.
Bahan yang Anda miliki jelas heboh dan amat padat konflik (batin) sebenarnya. Sayang, Anda memaparkannya lebih menyerupai berita, atau kesaksian yang berjarak (seandainya ini kisah nyata, saya rasa cocok dikirim ke "O Mama, O Papa" di Kartini... hehe!).
Dari segi bahasa, gaya bahasa Anda masih terasa terlalu "maskulin" untuk sebuah cerita berprotagonis perempuan yang diceritakan dalam gaya bertutur orang pertama. Perhatikan saja bagaimana gadis-gadis kalau curhat, detil-detil yang tak diperhatikan oleh kaum pria keluar semua. Untuk karya sastra, sejauh pengalaman membaca saya, gaya paling feminin saya jumpai dalam
Jhumpa Lahiri, penulis "Penafsir Kepedihan" (diterbitkan Aku Baca). Beda sekali dengan pengarang pria.
Nah, Mery ini, seperti saya katakan tadi, mengalami tiga tahap degradasi. Tapi seolah-olah dia begitu at ease menuruni tangga demi tangga kemerosotan moral. Pembaca nyaris hanya disodori apa yang terjadi, namun tidak diajak menukik lebih dalam ke BAGAIMANA dan MENGAPA hal itu terjadi. Dengan kata lain, konflik batin Mery tidak tergarap dengan baik. Kalau saya ungkapkan dengan cara lain, masalah APA yang terjadi pada diri Mery sebenarnya sudah tidak terlalu shocking (oh, dunia!); nah, masalah BAGAIMANA dan, lebih-lebih, MENGAPA ini rasanya yang bisa menawarkan sisi baru.
Terpikir oleh saya, salah satu tahap degradasinya saja sebenarnya sudah bisa digarap jadi satu cerpen tersendiri. Tetap dengan ending yang shocking. Bagaimana sih seorang gadis yang biasa-biasa tiba-tiba silau oleh lingkungannya yang glamour dan ingin mencicipi pula gaya hidup itu? (Pernah nonton
The Talented Mr. Ripley?) Apa yang paling menggiurkannya? Apa saja usahanya untuk menikmati taraf hidup yang melampaui kemampuannya itu? Bagaimana Vinka merayunya, dan bagaimana dia "bergumul" mempertimbangkan tawaran itu? Saya bayangkan cerpen ini kira-kira berakhir dengan: Akhirnya aku menekan nomor telepon seluler Vinka....
Tahap-tahap degradasi berikutnya juga terbentur pada lubang dan pertanyaan serupa. Persoalannya bukan pada mungkin nggak sih gadis baik-baik berubah sedrastis itu. Persoalannya adalah bagaimana Anda sebagai pengarang MEYAKINKAN pembaca atas kemungkinan itu.
OK, Bung, kira-kira begitulah komentar saya. Cukup mengobok-obok, atau perlu lebih detail lagi? Hehe....
Sebagai penutup, akan saya kutipkan sebuah tulisan yang saya sambar dari web, yang saya rasa bisa kita jadikan masukan berharga dalam berkarya:
Francis Schaeffer rightly divides the Christian worldview into a major and minor theme. The minor theme is the abnormality of the world in revolt against God. This consists of the unregenerate who have revolted against God and who self-consciously convey the meaninglessness of their worldview in their art. There is, of course, another aspect of the minor theme, namely, the Christian's defeated and sinful side. Schaeffer explains:
The major theme is the opposite of the minor; it is the meaningfulness and purposefulness of life.... God is there. He exists. Therefore all is not absurd.... Man being made in the image of God gives man significance....The major theme is optimism in the area of being.... Man's dilemma is not just that he is finite and God is infinite, but that he is a sinner guilty before a holy God. But then he recognizes that God has given him a solution to this in the life, death and resurrection of Christ. Man is fallen and flawed, but he is redeemable on the basis of Christ's work. This is beautiful. This is optimism. And this optimism has a sufficient base.
There is certainly a place for both the minor and major themes in the Christian worldview. Good art must not leave out the defeated aspect to even the Christian life. If our art only emphasizes the major theme, then it is not true to the Christian worldview and is simply romantic art. On the other hand it is possible for a Christian to so major on the minor theme, emphasizing the lostness of man and the abnormality of the universe, that he is equally flawed in his communication of the Christian worldview. In general, good art must be dominated by the major theme. For music to be excellent and praiseworthy it must have this balance. It must major on the major theme and minor on the minor. Music which majors on the minor is not worthy of our praise and admiration. It is not in proper perspective. It does not have the proper balance...."
14/12 | What a strong story! Saat Natal, tim kreatif gerejaku
menampilkan drama tentang Kristus mulai dari penciptaan hingga
penyaliban (kelahiran-Nya hanya disebut sekilas dalam narasi!).
Aku tertegun, mataku memanas saat adegan Yesus dipukuli dan
kemudian disalibkan. Cerita yang sederhana, sering diulang-ulang,
namun toh terus menohok relung hati kita. Anehnya,
sejauh ini aku justru kurang tersentuh kalau melihat adegan serupa
di film-film Yesus. Terasa berjarak. Mungkin karena pemerannya
teman-teman dekat kita sendiri, ya?
2/12
| Onoy meneleponku dan memberitahukan bahwa komentarku atas
cerpennya dia kirim ke dan dimuat di “Galeri Esei” Cybersastra (Seekor
Anjing Menelan Logika dalam Cerpen Agustinus Wahyono). Tentu saja
aku tidak keberatan.
Namun, saat
membaca data diriku, ada yang perlu dikoreksi. Aku bukan
lulusan IKIP Negeri Yogyakarta (sekarang UNY). Aku memang sempat
kuliah di sana, namun tidak sampai lulus. Juga, yang membuatku
lumayan terperangah, sebutan “mantan penyair.” Ada toh penyair
yang sudah “mantan”? Hehe, “jelek-jelek” begini aku masih
menelurkan satu-dua karya secara berkala, jadi “masih” penyair,
bukan? (Awas tuh, Onoy, kasih data orang sembarangan!)
24-28/11
| To Ngadirejo and beyond... alias mudik!
Wah, puas berkumpul dengan segenap sanak keluarga setelah dua
tahun tidak pulang kampung. Rabu pagi, kesebelas cucu Bapak kumpul
semua. Bahagianya melihat Bapak berbinar-binar bangga! Sebagai
cucu dari anak bungsu, dan paling kecil pula, Lesra dan Tirza serba dimanja. Kami juga sempat berwisata ke Jumprit dan Curug Sewu. Pulangnya, mampir dari
kakak ke kakak, oleh-oleh pun kian bertambah.... (Kalau pengin,
silakan ambil sendiri di lemari dapur kami... selama persediaan masih ada!). 10/11
| Membalas email Slamat P. Sinambela. Kutulis antara lain:"To the point saja: Bung meminta saya berbagi tentang bagaimana menjadi penulis fiksi… hm, terus terang ini membuat saya garuk-garuk kepala. Bukan apa-apa. Saya ini tergolong penulis yang "jelek" - orang yang menulis berdasarkan "mood", berdasarkan "ilham". Susah bagi saya mengenali tata kerja diri saya sendiri dalam menulis. Jadi, kalau ditanya: Bagaimana sih caranya menulis - yah, paling banter saya mengacu pada buku-buku menulis yang beredar di pasar (sedang saya sendiri tidak konsisten mengikuti petunjuk-petunjuk yang dianjurkan! Hehe….)
Misalnya, pas
Mas Wawan
sharing soal pentingnya membuat outline itu, terus terang saya sendiri tersipu-sipu. Selama ini saya benar-benar "jagoan" - boleh dikata tidak pernah membuat
outline.
Kembali ke bagaimana proses kreatif saya sebagai penulis fiksi. Sebenarnya ini jenis andalan saya. Sejak awal kepenulisan - saya rajin menulis sejak SMP - saya terutama berkutat dengan fiksi dan puisi. Saya bermimpi bisa menjadi sastrawan top. Buku penuntun yang pernah saya baca antara
lain Mengarang Itu Gampang-nya Arswendo dan sebuah buku cerita anak-anak karya Soekanto S.A. Sayang, naskah-naskah awal ini tidak terdokumentasikan dengan baik karena ditulis dengan mesin tik.
Saat itu saya cenderung lebih "gampang" menuangkan gagasan dalam bentuk puisi. Untuk bentuk fiksi, saya paling sulit membuat dialog yang wajar dan hidup. Ini mungkin karena saya sendiri tergolong orang yang introvert, atau mungkin kurang cermat menangkap gaya percakapan orang-orang di sekeliling saya.
Kemudian, ketika mulai melayani di jemaat, menangani warta jemaat, penulisan fiksi saya macet. Hanya satu-dua yang lahir - itu pun satu sama lain berjarak sekian tahun. Saya lebih banyak melahirkan artikel dan renungan - kalau puisi, terus jalan, meskipun sempat pula mengalami periode "kering."
Bagi saya, "perampok" utama kreativitas penulisan adalah aktivitas penerjemahan (saya aktif menerjemahkan sejak sekitar 1993). Menerjemahkan memang memperluas wawasan, dan dari segi finansial lebih cepat menghasilkan uang, namun menguras energi dan fokus pikiran kita (kita mesti "menundukkan diri" pada pola pikir si penulis dan mengalihbahasakannya ke dalam bahasa sasaran/Indonesia). Belakangan saya juga lebih banyak melahirkan artikel pesanan (biasanya untuk laput
Bahana dan
Renungan Malam yang topiknya sudah digariskan). Untuk tulisan "kreatif" (fiksi, puisi dan artikel "bebas") benar-benar mesti meluangkan waktu khusus dan mendisiplinkan diri. Kalau tidak, ya itu tadi, menunggu "mood" atau "ilham". Saya sengaja membuat homepage pribadi, selain untuk mendokumentasikan tulisan-tulisan saya, juga untuk menantang diri melahirkan karya-karya kreatif ini.
Nah, di luar itu semua, "modal" atau bahan bakar kepenulisan saya adalah:
- Banyak membaca. Melalui membaca ini, kadang-kadang saya melewati periode "meniru-niru". Setelah membaca
Pulang-nya Toha Mohtar, misalnya, saya mencoba berlatih membuat latar tempat yang eksotis. Ketika terkesima pada puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany, saya pun menjajal menulis puisi bergaya seperti itu. Sampai sekarang kadang-kadang saya masih terkena "penyakit" ini.
- Tatabahasa dan ejaan. Saya berusaha secermat mungkin dalam hal ini dengan terus mengikuti rubrik-rubrik kebahasaan di koran, misalnya. Kalau untuk
email pribadi semacam ini, ya bolehlah sedikit nyleneh-nyleneh.
- Pujian dan dorongan orang. Bener nih, Bung Sinambela, orang-orang dekat dan teman-teman baik seperti Bung yang sudi mengomentari karya-karya saya, turut menambah rasa percaya diri untuk terus merambah karier kepenulisan di tengah segala keterbatasan.
- Las but not least, menyadari bahwa talenta ini adalah karunia Tuhan. Saya rindu untuk memberikan persembahan yang harum bagi Sang Seniman Agung melalui karunia yang dipercayakan-Nya pada saya...."
27/10
| Menerima Kartu Pers dari Majalah INTRA sebagai koresponden
setelah artikel hasil wawancara
dimuat di edisi Agustus/September 2003.
22/10
| Yayasan ANDI bersedia menerbitkan buku keduaku, Alkitabiah
Satu Setengah (judul sementara). Menurut surat perjanjian,
karya itu selambat-lambatnya akan terbit 15 Maret 2004.
20/10
| Buku pertama "Seri Surat Seorang Sahabat" dengan
topik "Penciptaan" dan berjudul Engkau Istimewa!
rampung. Tinggal menawarkan ke penerbit, semoga ada yang tertarik.
Ini kutipannya: Diciptakan dalam
Sebuah Tarian Ilahi.
17/10
| Komplet sudah targetku untuk mencari film favorit yang huruf
depan judulnya urut abjad. Yang paling susah dicari adalah film
yang huruf depan judulnya "V". Akhirnya kutemukan secara
tak terduga. Cries and Whispers ternyata judul aslinya dalam
bahasa Swedia adalah Viskningar och Rop.
4-5/10|
Sobatku Sidik Nugroho, arek Malang itu, dolan ke Yogya. Wah, asyik,
bisa ngobrol langsung soal tulis-menulis, kording Pelita, buku,
film, visi-misi, dll. sambil memandangi gunung Merapi (kami
ngobrol di atap rumah!). Malamnya, sehabis menikmati gudeg Tugu,
kami nonton It's a Wonderful Life -- sayang, cuma sepertiga
karena aku keburu ngantuk. Esoknya, aku dikenalkan dengan adiknya
yang kuliah di STPN (aku keliru terus menyebutnya STPDN!). Sorenya,
kami bareng-bareng kebaktian di Auditorium RRI. Sayang, dia cuma
bisa sehari di Yogya. Selain oleh-oleh jajanan khas Semarang (neneknya
tinggal di kota bandeng itu, di sebuah rumah jati yang umurnya
sudah 200 tahun lebih!), Sidik menghadiahiku Mengasah Berlian
(Seri Pernikahan Tokoh Kristiani). Matur nuwun!
1/10
| Tampilan halaman muka dipoles. Salam pembuka diturunkan ke
bagian paling bawah, dijadikan ucapan terima kasih. Di bagian
paling atas langsung tampil artikel yang baru saja dipajang, sehingga setiap
kali ada penambahan artikel, perubahan "wajah" itu akan
langsung terlihat. Disusul "Fokus Bulan Ini",
topik-topik khusus sesuai dengan bulan bersangkutan (Oktober ini
kupilih "Reformasi"). Berikutnya, "Kronika Karya",
rentetan artikel lain yang terhitung masih baru, menurut urutan pemajangannya. Renungan terbaru
disatukan di "Renungan Bulan Ini." Kemudian, "Selisik
Arsip." Yang ini sebenarnya akal-akalan. Arsip yang dibongkar
adalah halaman-halaman yang, menurut Site Statistics di File
Manager Geocities, paling jarang atau malah belum pernah
dibuka orang... hahaha!
|