Home | Resensi Film |
Nowhere in AfricaMemoar tentang Keasingan, dan KecintaanFilm bisa membawa kita ke tempat-tempat yang belum pernah kita sambangi. Tak jarang ia mengundang kita menengok kehidupan lain, memperkenalkan suatu kultur asing. Kali ini, Nowhere in Africa mengajak kita menyimak sisi lain Holocaust. Peristiwa-peristiwa brutal di Jerman tahun 1938 menyebabkan sekian banyak orang Yahudi melarikan diri. Anschluss -- aneksasi Austria pada Maret; semakin sengitnya serangan pribadi terhadap orang Yahudi sepanjang musim semi dan musim panas; huru-hara Kristallnacht (arti harfiah: Malam Kaca Pecah) pada November; dan penjarahan atas aset-aset orang Yahudi membuat permohonan pembuatan visa melonjak. Sekitar 36.000 orang Yahudi meninggalkan Jerman dan Austria pada 1938, dan 77.000 pada 1939. Kalau Wladyslaw Szpilman (The Pianist) berjuang untuk bertahan hidup di tengah kebengisan ghetto Warsawa, beberapa orang Yahudi beruntung dapat lolos dari Eropa. Salah satu tempat perlindungan tak terduga bagi para pelarian ini adalah Kenya. Nowhere in Africa, diadaptasi dari fiksi-memoar Stefanie Zweig, merunut kisah Walter dan Jettel Redlich, seorang pengacara Yahudi-Jerman sukses dan isterinya yang terpaksa pindah ke Kenya pada tahun 1938 bersama puteri mereka, Regina (kecil, Lea Kurka; remaja, Karoline Eckertz). Walter sudah terlebih dahulu berada di Kenya karena ia membaca "tanda-tanda zaman" akan memburuknya kondisi Jerman dalam kekuasaan Nazi. Ia menjadi kepala sebuah pertanian milik Inggris, suatu pekerjaan yang tidak begitu dikuasainya. Ia kemudian menyurati isteri dan puterinya, meminta mereka segera menyusul, dan keduanya berhasil berangkat tepat sebelum perbatasan Jerman ditutup. Saat mereka berkumpul di pedalaman Kenya, kita mendapati ketiga anak-beranak itu berbeda sikap terhadap tempat baru tersebut. Walter menyadari keberuntungan keluarganya lolos dari ancaman Nazi. Jettel mencebik karena dibawa ke tempat yang berbeda seratus delapan puluh derajat dari kehidupannya di Frankfurt. Adapun si kecil Regina, ia serta-merta jatuh cinta dengan lingkungan dan penduduk setempat. Ia langsung akrab dengan Owuor (Sidede Onyulo), koki berpembawaan sumringah yang selama ini mendampingi ayahnya. Film ini, sebagian besar dituturkan dari sudut pandang Regina, selanjutnya memaparkan dinamika keasingan, dan juga kecintaan, yang berkembang di tengah keluarga itu sepanjang masa tinggal mereka di Africa. Keasingan itu berlangsung di antara mereka bertiga, dan sekaligus keasingan mereka terhadap lingkungan baru. Ya, keluarga Redlich bukanlah keluarga yang rekat. Kerenggangan mereka sudah terasa sejak awal. Walter memesan agar Jettel membawa kulkas dan tak perlu repot-repot membawa barang pecah-belah; Jettel justru membawa barang pecah-belah dan, astaga, gaun malam mewah! Kalau pasangan aktor-aktris biasanya dipuji karena kedekatan dan kecocokan membawakan perannya, Merab Ninidze dan Juliane Köhler boleh diacungi jempol karena berhasil menampilkan suami-isteri yang berjarak dan asing satu sama lain. Sedangkan keasingan mereka dengan lingkungan, seperti dicermati Roger Ebert, digarisbawahi oleh tiga hal: orang kulit putih, orang Jerman, orang Yahudi. Kegamangan-kegamangan akibat benturan budaya ini -- berbelit dengan masalah keluarga mereka -- dirajut dalam tempo lambat, namun justru menghanyutkan. Jettel, misalnya, mengukuhi superioritasnya sebagai orang kulit putih. Ia menganggap Owuor sebagai pembantu rumah tangga, sedangkan Owuor memandang dirinya sebagai pekerja profesional. Ketika Jettel memintanya menggali tanah, dengan tangkas Owuor menjawab, "Saya seorang koki. Koki tidak menggali tanah." Ini dilanjutkan dengan adegan menggelikan tentang menimba air. Keberadaan mereka sebagai orang Jerman membawa ironi sendiri. Saat perang merebak, mereka dianggap sekutu musuh oleh Inggris, seteru Jerman, yang berkuasa di Kenya. Padahal, bukankah mereka pelarian perang yang mencari perlindungan? Mereka sempat diangkut ke Nairobi sebagai tahanan, dan kaum wanita dan anak-anak ditempatkan di sebuah... hotel! Hotel bagus, sih, tapi tetap saja mereka tidak bebas berkeliaran ke luar. Kegagapan sebagai orang Yahudi menimpa Regina. Saat bersekolah, ia dan anak-anak Yahudi lainnya mesti berdiri menunggu di sisi kelas, sementara murid-murid lainnya duduk mendaraskan Doa Bapa Kami. Holocaust, dengan demikian, memang hanya tampil di latar belakang. Namun, krisis dan perubahan yang melanda keluarga Redlich bisa dibaca sebagai kilasan dampaknya. Film ini berhasil memotret dampak itu dalam tataran emosional, dan aku curiga hal ini karena sutradaranya seorang wanita. Seperti novel-novel bagus yang ditulis oleh wanita, film ini terasa halus, namun sekaligus menyimpan lapisan-lapisan emosi yang rumit. Tokoh-tokohnya sulit ditebak, justru karena sosok mereka terasa amat manusiawi. Jettel semula terkesan sebagai femme fatale. Namun, tunggu dulu, lihat saja bagaimana pengaruh terik matahari Afrika membuatnya mengalami semacam metamorfosis kejiwaan. Walter tak kalah pelik. Bagaimana frustasinya terhadap kedinginan sikap sang isteri, bagaimana ia nekat berburu antelop untuk memberi daging dalam menu isterinya, responnya terhadap perselingkuhan Jettel, lalu upayanya mencari dukungan Regina untuk sebuah keputusan yang kemungkinan besar tidak disetujui Jettel. Di tengah kemelut ini, Regina mendapatkan dukungan emosional dari Owuor dan sahabat-sahabatnya, penduduk setempat. Dan kisah itu dibentangkan pada latar Afrika yang tampak ganjil: gersang, namun sungguh menawan. Regina menyebut sebuah daerah sebagai "tempat terindah di dunia". Kultur dan ritual penduduk setempat tampil sebagai pelengkap yang menghidupkan cerita, bukannya malah menenggelamkan seperti dalam Surat untuk Bidadari. Tak ketinggalan, flora dan fauna khas padang Afrika. Sebuah adegan yang mencekam adalah serbuan belalang, yang mirip dengan adegan dalam Days of Heaven. Bedanya, Days of Heaven mengolahnya secara puitis, sedangkan film ini lebih lugas: serbuan belalang adalah sebuah bencana. Ketika film ini terpilih mewakili Jerman untuk Oscar 2002, Caroline Link menyatakan, "Saya sangat sadar bahwa pokok persoalan film ini -- dislokasi dan relokasi sebuah keluarga Yahudi akibat kebodohan perang dan seluruh ramifikasi politis, sosial dan emosionalnya -- masih tetap relevan saat ini seperti 60 tahun lalu, saat kisah itu berlangsung." Film yang bertutur tentang toleransi ini akhirnya terpilih sebagai Film Asing Terbaik. Nowhere in Africa juga menggarisbawahi bagaimana cinta dan komitmen membawa sebuah keluarga menempuh suatu krisis. Dalam sebuah adegan indah menjelang akhir, Walter tercenung, "Orang-orang yang kucintai terbaring di ranjang ini, di depanku." *** (23/01/2005) NOWHERE IN AFRICA. Sutradara & Skenario: Caroline Link, berdasarkan novel Stefanie Zweig. Pemeran: Juliane Köhler, Merab Ninidze, Sidede Onyulo, Lea Kurka, Karoline Eckertz. Asal/Tahun: Jerman, 2001. . |
Home | Film Favorit | Email |
© 2005 Denmas Marto