Sibuk bagi Tuhan
Seperti rusa
yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau,
ya Allah. (Mzm. 42:2) Seorang ayah dan
anak perempuannya yang masih kecil bersahabat sangat akrab dan sering
meluangkan waktu bersama. Kemudian sang ayah memperhatikan terjadinya
suatu perubahan pada diri anaknya. Kalau ia pergi berjalan-jalan,
anaknya menolak untuk ikut pergi. Ia sedih dengan sikap anaknya ini,
namun tidak memahami mengapa anaknya bersikap demikian. Ketika hari
ulang tahunnya tiba, anaknya memberikan hadiah sepasang selop yang
dikerjakan dengan sangat cermat dan indah. Katanya, “Aku membuatnya
sendiri untuk Ayah.” Kemudian ia pun mengerti apa yang telah terjadi
dengan anaknya selama tiga bulan terakhir ini, dan ia berkata,
“Sayangku, Ayah sangat menyukai selop ini, namun lain kali beli saja
selopnya dan mari kita pergi bersama seharian. Ayah lebih senang
memilikimu, Anakku, daripada apapun yang dapat kaubuat.” Sebagian dari
kita begitu sibuk bagi Tuhan, sehingga Ia tidak mendapatkan banyak
kesempatan untuk bersama-sama kita secara pribadi. Kepada kita Ia akan
berkata, “Aku mengetahui pekerjaanmu, jerih payahmu, ketabahanmu,
namun Aku kehilangan kasih mula-mulamu.” Nah, sungguh baik kalau kita
menilik kembali hubungan pribadi kita dengan Tuhan. Seorang wanita,
beberapa abad yang lalu, berdoa, “Ya, Tuhanku! Kalau aku menyembah-Mu
karena takut akan neraka, biarlah aku terbakar dalam apinya; dan kalau
aku menyembah-Mu karena berharap untuk masuk ke Firdaus, singkirkanlah
aku dari sana; namun kalau aku menyembah-Mu semata-mata karena
merindukan Engkau, maka perkenankanlah aku memandangi Keindahan-Mu yang
kekal.” Doa Rabia al-Adawiyya,
seorang muslimah saleh penganut aliran sufi, itu kiranya dapat menggugah
perenungan kita. Ya, sejauh manakah kehausan kita untuk mengenal Tuhan
dan membina hubungan pribadi dengan-Nya? © 2003 Denmas Marto |