Home | Renungan

Bapak yang di Gereja

Jikalau seorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus Jemaat Allah? (I Tim. 3:5)

Seorang pendeta tengah berkhotbah dengan penuh semangat. Menjelang akhir khotbah, isteri dan dua orang anaknya memasuki ruangan. Betapa kagetnya ia melihat mereka membawa kopor-kopor besar, seolah-olah siap hendak bepergian. Begitu turun dari mimbar, ia pun bergegas menemui mereka.

"Ada apa ini, Bu?" tanyanya kebingungan.

"Begini, Pak," jawab isterinya tenang. "Kami baru saja rapat. Kami memutuskan untuk pindah ke gereja saja. Selama ini kami melihat perilaku Bapak di rumah dan di gereja berbeda. Dan kami lebih suka Bapak yang di gereja."

Humor ironis ini, dalam taraf tertentu, dapat kita jumpai di sekeliling kita. Bisa jadi kita pun bergumul dengan sindrom "kepribadian ganda" ini.

Dengan terlibat di dalam pelayanan, paling tidak kita memang akan memiliki dua ruang kehidupan: kehidupan pribadi/keluarga dan kehidupan publik/pelayanan. Fungsi dan tanggung jawab kita jelas berbeda di masing-masing ruang tersebut. Namun, sikap dan kepribadian kita seharusnya tetap sama di mana pun kita berada.

Nas malam ini mengingatkan kita untuk menata kehidupan kita mulai dari ruang lingkup yang lebih kecil. Penampilan kita di muka umum sebenarnya hanyalah perpanjangan dari kehidupan pribadi kita. Bisa saja kita mengenakan "topeng pelayanan" untuk menutupi kehidupan pribadi yang ringkih. Namun, pelayanan yang sungguh-sungguh dan mampu bertahan hanya dapat dikembangkan bila kita memiliki kehidupan pribadi yang mantap. ***

Dimuat: Renungan Malam, Oktober 2003

© 2003 Denmas Marto