Home | Renungan

Menyelamatkan dengan Luka

Jika kami menderita, hal itu menjadi penghiburan dan keselamatan kamu; jika kami dihibur, maka hal itu adalah untuk penghiburan kamu, sehingga kamu beroleh kekuatan untuk dengan sabar menderita kesengsaraan yang sama seperti yang kami derita juga. (2 Kor. 1:6)

Bagi keluarga besar Verma, Tej Puri adalah sahabat dan penolong. Ketika keluarga ini dilanda krisis keuangan, Tej mengulurkan tangan. Kini, ketika Lalit Verma menikahkan puterinya, Tej dan isteri mengkhususkan diri terbang dari Amerika ke New Delhi. Tentu saja kedatangan mereka disambut dengan hangat. Namun, ada sepasang mata yang menatap Tej secara berbeda.

Sorot mata itu milik Ria, salah satu keponakan Lalit. Dengan tatapan yang menyiratkan kebencian dan kepedihan, ia mengikuti gerak-gerik Tej, terutama bila pria separuh baya itu memberikan perhatian khusus pada Aliya, saudarinya yang masih praremaja.

Di tengah kegembiraan malam sangeet (pertemuan keluarga kedua mempelai), Aliya melontarkan komentar bahwa ia jijik pada ciuman orang dewasa. Tentu saja Ria tersentak. Kecurigaannya selama ini ternyata benar! Ia pun memberanikan diri menghadapi Tej dan membongkar sebuah rahasia yang pahit: sewaktu masih kecil, ia sendiri pernah disentuh secara tidak senonoh oleh Tej.

Pengakuan ini selanjutnya mendorong Lalit untuk mengambil sebuah keputusan sulit: ia memilih untuk memutuskan tali silaturahmi dengan Tej. Sebuah keputusan yang mendatangkan kelegaan bagi keluarganya.

Menyimak bagian ini dalam Monsoon Wedding, film berplot jamak garapan Mira Nair, saya tertegun. Suatu pengalaman buruk nyatanya bisa menjadi kekuatan positif dalam kehidupan kita. Saat saudara-saudari lain sibuk dengan urusan masing-masing dan tidak waspada, Ria sendirilah yang mampu mencium bau busuk dalam perlakuan Tej terhadap Aliya. Kemalangan yang pernah dia alami membekalinya untuk "menyelamatkan" seorang gadis lain dari masalah serupa.

Kita masing-masing tentunya juga memiliki pengalaman buruk tertentu. Kita bisa memilih meratapinya dan mengasihani diri. Atau, kita bisa meminta anugerah Tuhan untuk mengubahnya menjadi sebuah kekuatan. Dengan demikian, seperti diungkapkan Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, peristiwa buruk itu dapat menambah kepekaan dan empati kita terhadap orang-orang yang bergumul dengan persoalan serupa.

Saya rasa, dengan pola semacam itu pula Yesus menyerahkan diri-Nya untuk dicambuk, dilukai dan disalibkan. Bilur-bilur-Nya, pada akhirnya, menyembuhkan kita. *** (17/11/2003)

© 2003 Denmas Marto