Bersiap-siap untuk Euro

Dunia kini kian yakin, sesunguhnya motif ekonomilah yang menjadi pemicu invasi militer AS terhadap Irak. Perang telah melampaui hari ketujuh, memupus target AS yang berkeinginan menjatuhkan Irak dalam tempo di bawah 100 jam.  Toh tudingan AS bahwa Irak memiliki senjata pemusnah masal tak juga terbukti. 

Di sisi lain jika AS menafikkan tuduhan bahwa AS ingin menguasai ladang minyak Irak, lantas mengapa sejak hari kedua air battle justru difokuskan untuk mengamankan ladang-ladang minyak Irak. Lalu percayakah kita, anggaran perang sebesar US$ 80 milliar atau sekitar Rp 720 trilliun dikeluarkan hanya untuk memerdekakan rakyat Irak dari rezim Sadam Hussein? Tidak! Pasti ada kepentingan, ada kalkulasi untung dan rugi,  yang mampu menggaransi bahwa dana yang telah dikeluarkan tersebut akan kembali dalam jumlah berkali-lipat.

Saat ini pertumbuhan ekonomi AS, berada pada kondisi buruk di level 1%-2%, jauh lebih buruk dari pertumbuhan ekonomi Indonesia , yang tumbuh sekitar 3,4%. Ekonomi yang begitu mapan telah menggiring stagnasi sektor-sektor makro ekonomi AS. Ini ancaman berat bagi AS. Problem pengangguran sudah di depan mata.  Di bawah Bush, AS memang mengalami tekanan luar biasa besar akibat defisit anggaran yang semakin membengkak. Bahkan, utang pemerintah AS termasuk yang paling tinggi dibanding pemerintah-pemerintah sekoleganya di Uni Eropa. Pertikaiannya dengan ekonomi Eropa di sektor perdagangan bebas juga menambah beban keuangan AS.

Persoalan yang beberapa waktu lalu dialami Eropa kini terjadi di AS. Para pemimpin negara Eropa menyelesaikan ancaman krisis dengan sebuah manuver hebat, menyatukan mata uang beberapa negara di bawah bendera Euro, sponsor utamanya Jerman dan Perancis, dan semakin mengusik Dolar AS. Gerakan-gerakan kampanye Euro sejak awal telah membuat pusing tim ekonomi gedung putih. Apalagi ketika publik bisnis, dan musuh-musuh AS mulai menyambut hangat kehadiran EURO, mata uang tunggal yang digunakan oleh sebagian besar negara Eropa, kecuali oleh Inggris yang tetap mempertahankan Poundsterling-nya.

Seperti diketahui, mata uang tunggal Euro pertama kali diberlakukan pada 7 Februari 1992 setelah sebelumnya pada 12 Januari 1992 European Monetary Institute (EMI) dibentuk terlebih dahulu sebagai cikal dari Bank Sentral Eropa. Peluncuran mata uang Euro sendiri baru dilakukan pada 1 Januari 2002. Sementara hingga 19 Maret 2003 mata uang Euro sudah mengalami kenaikan atau terapresiasi terhadap Dolar AS sebesar 22,5% di posisi 1,0632 per Dolar AS

Adalah Irak, yang sejak Rusia tumbang, menjadi musuh bebuyutan AS, begitu Euro hadir, Sadam Hussein langsung memproklamirkan bahwa Irak mengharamkan uang Dolar AS dalam perdagangan minyaknya. “Tidak ada tempat lagi untuk Dolar AS  dalam transaksi minyak Irak!” begitu ungkap Sadam ketika itu. Sebagai produsen penghasil minyak terbesar kedua, aksi Irak tersebut, tentu telah memukul eksistensi Dolar AS di timur tengah. 

Tidak tanggung-tanggung, Irak terus meneruskan kampanyenya ke negara-negara jiran seperti Iran, agar juga tidak menggunakan Dolar AS. Tidak sampai di situ, usul mengganti Dolar AS dengan Euro dalam transaksi minyak dibawa Sadam ke PBB, dan Iran mendukung berikut beberapa negara OPEC. Jika ini dibiarkan jelas ekonomi AS akan hancur, digilas krisis moneter, sebab transaksi perdagangan minyak nilainya terbesar di dunia.

Selain Irak, negara Cina juga telah melakukan transaksi pembayaran minyak dengan menggunakan Euro di samping tetap menggunakan Dolar AS. Sementara di dalam negeri pun beberapa perusahaan minyak seperti PT Medco Internasional Tbk lebih suka menerbitkan obligasi dengan mata uang Euro ketimbang Dolar AS karena menguatnya Euro, sedangkan Pertamina saat ini juga sedang mempertimbangkan kemungkinan untuk menggunakan Euro. Ini yang menyebabkan AS makin blingsatan.

AS jelas tidak ingin hancur begitu saja, upaya penyelamatan pun dilakukan. Berbagai langkah strategis dipersiapkan. Sejarah membuktikan perekonomian AS beberapa kali telah diganjal oleh persoalan minyak, bahkan sampai menyebabkan hiperinflasi. Meskipun Kuwait telah menjadi boneka AS namun persoalan minyak masih menjadi ancaman. Saat ini kebutuhan semua energi AS sebesar 42% masih disokong oleh minyak. Padahal disatu sisi cadangan minyak AS hanya mencapai 30 miliar barel atau kurang dari 3% dari seluruh cadangan minyak dunia. Sedangkan cadangan minyak dunia saat ini 80% masih berada di kawasan TimurTengah.  Jadi dalam rangka menciptakan American Century dibutuhkan penguasaan AS di sektor minyak, sehingga AS membutuhkan pemerintahan yang bisa dikontrol di TimurTengah. Dan yang pasti bersedia didikte untuk menendang Euro dari sana!

Langkah untuk ini pun ditelah dimatangkan AS di PBB, pasca perang, minyak Irak pengelolaannya akan berada di bawah program PBB ”minyak untuk pangan”. Berdasarkan program itu, minyak Irak dijual dengan harga yang ditentukan PBB, termasuk jumlah ton barel per harinya. Minyak murah yang berasal dari ladang-ladang Irak, jelas akan memacu usaha pemulihan ekonomi AS, sebagaimana dikemukakan pakar ekonomi Morgan Stanley beberapa waktu lalu.

Perang Teluk II saat ini masih terus berlangsung. Namun itu bukan perang sesungguhnya. Perang sesungguhnya adalah perang ideologi ekonomi. Irak hanya sasaran antara bagi AS untuk selamat dari jerat krisis. Oleh karenanya publik bisnis harus lebih cermat menerka, siapa pemenangnya. Bersiap-siap untuk suatu transformasi raksasa, melepaskan hegemoni ekonomi AS. Rontoknya Dolas AS pasca kehadiran Euro adalah sebuah indikator yang menarik disimak!****

 Kembali ke Indeks