Pasar
Bersama Asean
Setelah
gagal di Cancun dalam mempertemukan kepentingan antara negara kaya dan
miskin beberapa waktu lalu, kini pertemuan dalam “bingkai” perdagangan
bebas memetik hasil di kawasan Asia. Para menteri ekonomi ASEAN
menyepakati percepatan pasar bersama ASEAN dari tahun 2020 menjadi
tahun 2010, terutama untuk 11 komoditi industri andalan. Dalam
perspektif WTO tentu saja kesepakatan ini merupakan sebuah prestasi.
Disepakatinya pasar bersama ASEAN adalah sebuah sinyal bahwa negara-negara
berkembang di kawasan Asia itu semakin siap “bermain-main” dalam
urusan bisnis dengan negara-negara yang men-design skenario
perdagangan bebas itu sendiri, seperti AS ataupun Eropa. Blundernya
kesepakatan-kesepakatan WTO adalah upaya “tarik nafas” negara-negara
berkembang. Karena setiap kesepakatan berorientasi pada percepatan
implementasi perdagangan global di seluruh sektor bisnis. Sebagian besar
kesepakatan-kesepakatan WTO justru menjadi bumerang, dan terus menggulung
perekonomian negara dunia ketiga. Perdagangan bebas justru menerbitkan
babak baru imperialisme modern yang tersamar. Dengan WTO, kekuatan
kapitalisme akan membuka seluruh pintu-pintu proteksi dan dengan mudah
dapat mengeksploitasi negara-negara dunia ketiga, yang masih merangkak
membangun perekonomiannya. Negara-negara
berkembang yakin, bila perdagangan bebas dipercepat diseluruh sektor, maka
mereka akan menjadi sapi perahan negara-negara maju, dieksploitasi
habis-habisan. Untuk bertarung dengan “gajah”, mustahil bila
“semut” berharap menang dengan adu otot. Harus menggunakan cara-cara
lain yang tidak konvensional serta brilian. Lantas
ketika terbetik berita bahwa, negara-negara berkembang yang tergabung
dalam ASEAN menyepakati untuk mempercepat pasar bersama, sepintas kita
heran? Kok lain, biasanya antipati, sekarang kok malah ingin dipercepat. Inilah
yang disebut “sedia payung sebelum hujan” untuk apa masuk ke dalam
permainan dimana kita akan menjadi pecundang. Siapapun yakin bahwa
datangnya globalisasi tak terbendung. Jadi sebelum masuk pada pertarungan
sesunguhnya, sebaiknya memang dilakukan prakondisi. Menjajal kemampuan
dengan para sparing partner.
Sekaligus mengevaluasi hasilnya, sejauh mana kekuatan, kelemahan, peluang
dan ancaman (SWOT). Selanjutnya hasil SWOT diformulasikan rangkaian
strategi-strategi yang memungkinkan untuk menjadi pemenang dalam pasar
bebas, atau paling tidak, sekedar bisa bertahan. Pasar
bersama ASEAN akan menguji apakah kita mampu meretas masalah asal-usul
barang, prosedur kepabeanan, menanisme penyelesaian perselisihan dan
standarisasi barang dan jasa yang masih belum jelas juntrungannya.
Pelaksanaan AFTA tentu bisa disimak, meski impelementasinya secara penuh
sudah dijalankan pada tahun 2003 ini, namun tidak terlihat ada pengaruh
yang signifikan. Di sana-sini masih banyak hambatan non tarif, yang
membuat volume arus barang antar negara ASEAN tidak tumbuh pesat kendati
tarif sudah 0%-5%. Lagi-lagi karena memang standar bea dan cukai masih
berbeda-beda di tiap negara. Dengan kata lain, pasar bersama ASEAN dapat diterima sebagai sebuah langkah tepat dan langsung memberikan manfaat bagi negara-negara sekawasan Asia untuk melakukan test case,. menjawab sejauh mana kekuatan ASEAN sesunguhnya. Bagi Indonesia, kesempatan ini juga harus dimaksimalkan. Siapa tahu momentum ini dapat menjadi titik balik bagi perbaikan ekonomi, politik dan pamor Indonesia, yang telah selama ini terpuruk.***
|