PNS
Mubajir Lagi-lagi
kita mendapati bahwa good governance
memang masih jauh panggang dari api. Masih sebatas angan-angan yang
tidak membumi. Masih sebatas dongeng-dongeng yang dituturkan untuk
pengantar tidur. Agar publik terlena, tertidur dan bermimpi, tentang
indahnya pemerintahan di negeri antah berantah. Faktanya
good governance memang masih lips
service, abstrak dan tidak riil. Yang riil adalah penyelenggaraan
pemerintahan masih terkontaminasi dengan vested
interest, KKN, dan inefisiensi. Pemerintah masih lebih suka berdebat
memikirkan soal mobil dinas baru, penambahan dana rutin dalam APBD untuk
perjalanan dinas, shoping, roadshow dan lain-lain. Semua
urusan mesti ada uang tunai (Sumut), kalau bisa dipersulit
kenapa harus dipermudah, masih melekat sebagai image
negatif birokrasi di Sumut. Semakin mempertegas panjangnya rentang
birokrasi dan high cost economy dalam berurusan dengan pemerintah.Kiranya terus
melengkapi daftar hitam penyelenggaraan pemerintahan di Sumut. Di
media lokal Medan, kemarin dipublikasikan, di unit kerja Pemprovsu hingga Oktober
2003 ada kelebihan sekitar 7.647 PNS. Hal yang sama juga terjadi di
beberapa kabupaten/kota di Sumut. Bila ditotalkan untuk Sumut angka
kelebihan PNS mungkin mencapai dua kali lipatnya. Ini adalah bukti
inefisiensi, bahwa tenaga-tenaga PNS masih berlebih dan mubajir. Lebih
jauh mereka hanya memperberat struktur organisasi yang sudah gemuk. Yang
mengherankan, kendati telah terdeteksi bahwa jumlah PNS berlebih, namun
perekrutan tetap saja dilakukan. Jumlah PNS terus ditambah, dengan jalur
yang berbeda-beda. Baik jalur resmi, jalur famili, jalur khusus, jalur VIP
dan jalur setan belang lainnya. Konsekwensinya
adalah posisi menjadi diada-adakan, dari tidak ada menjadi ada. Yang
penting pegawai baru terakomodir. Tidak perduli apakah akibat penambahan
tersebut rentang birokrasi terpaksa diperpanjang. Tadinya urusan bisa
tuntas dengan melewati satu meja kini harus melalui tiga atau empat meja. Sebagian
ada yang mengatakan, penambahan PNS baru untuk mereduksi angka
pengangguran dan pemerataan distribusi pendapatan. Jelas ini keliru. Sebab
yang terjadi adalah pembentukan parasit. Bayangkan untuk lingkungan
Pemprovsu saja ada 7.647 kelebihan PNS, mungkin untuk seluruh Sumut
angkanya menjadi dua kali lipat. Katakanlah jumlahnya 14.000 PNS, jika
gaji rata-rata PNS adalah Rp 1 juta/bulan, maka untuk 14.000 PNS dana yang
harus dikeluarkan mencapai Rp 14 miliar per bulan, atau Rp 168 miliar per
tahun. Seandainya
dana tersebut bisa dihemat tentu pemerintah bisa melakukan improvisasi
untuk membangunan daerah ini. Sehingga panitia anggaran DPRD dalam
penyusunan APBD tidak lagi
perlu “mencoret” dana usulan untuk pembangunan gedung sekolah
dasar (SD) misalnya, yang justru merupakan investasi penting dalam
peningkatan kualitas SDM. Selain
persoalan kelebihan PNS, optimalisasi kinerja PNS juga masih jauh dari
standar pelayanan yang baik. Kita sering mendapati instansi-instansi
pelayanan publik, yang lowong pada jam-jam kerja. Bagaimana mungkin
meja-meja kosong bisa melayani keperluan publik. Para top
manajemen di pemerintahan harus memikirkan bagaimana cara menarik para
bawahannya yang nongkrong di warung kopi pada saat jam dinas, bagaimana
agar mereka bisa betah dan suka cita melayani kepentingan publik, tanpa
harus terus-terusan mengeluh soal rendahnya gaji, dan bagaimana agar kualitas dan pelayanan prima benar-benar
bisa dirasakan publik. Artinya
beberapa kondisi ini semakin menyadarkan kita bahwa implementasi good
governance masih dihadapkan pada banyak tantangan besar. Kita tidak
bisa berpangku tangan lagi untuk sekedar menunggu momentum kapan waktu
yang tepat. Pembenahan harus disegerakan. Hentikan bicara, dan mulailah
berbuat!.*** |