Para Pahlawan Devisa...Syukurlah
pemerintah tidak meneruskan kepongahnnya untuk menghentikan penempatan TKI
(Tenaga Kerja Indonesia) non formal. Rencana kebijakan tersebut kemarin
dibatalkan oleh Menaker Jacob Nuwa Wea. Ini penting, sebab rencana
menghentikan penempatan TKI non formal memang emosional dan mengabaikan
aspek-aspek strategis dan kemanusiaan. Penghentian
memang tidak akan menyelesaikan masalah,
bahkan mungkin justru akan menambah permasalahan. Jumlah TKI ilegal
akan akan semakin banyak. Dus selain itu, kebijakan tersebut juga
akan semakin membengkakkan angka pengangguran yang sudah cukup tinggi,
yakni sekitar 40 juta jiwa lebih. Jauh di atas ambang normal tingkat
pengangguran di suatu negara, yakni sekitar 8%. Artinya kebijakan tersebut
jauh lebih banyak efek negatifnya bagi perekonomian Indonesia. Memang,
siapapun prihatin mendengar getirnya perjuangan para TKI di perantauan,
terutama para TKW (Tenaga Kerja Wanita). Mereka kerap menjadi objek
pelecehan seksual, kekerasan majikan, dan harus bekerja ekstra keras di
luar jam kerja tanpa mendapat perhatian yang memadai dari pemerintah
Indonesia. Pembelaan tak kunjung didapat, malah penderitaan
yang bertambah. Tak jarang perwakilan tenaga kerja di luar negeri
juga mengambil kesempatan dalam kesempitan. Ada
banyak kasus pahit seperti ini, tetapi bukan berarti semua TKI bernasib
sama. Banyak juga yang berhasil merealisasikan impian yang diukir dari
kampung halaman. Tetapi kita memang harus lebih prihatin ketika mereka
kelaparan, terpaksa menjadi pelacur, ataupun
kriminal di negeri sendiri. Tak
perlu berprilaku konyol, dengan
mencari kambing hitam, seperti pribahasa rupa buruk cermin dibelah.
Bukan TKI yang harus “dipasung” tetapi pemerintah harus men-design
sistem yang lebih kondusif dalam menempatkan TKI non formal. Bagaimanapun
mereka adalah pahlawan-pahlawan Indonesia, dalam menghimpun devisa. Ya
kalau sekarang rupiah bisa stabil berkat cadangan devisa yang aman,
rata-rata sekitar US$ 400 juta per bulan, tentu ada kontribusi para TKI di
sana. Toh surplus ekspor kita juga belum mampu meng-cover seluruh
kebutuhan cadangan devisa. Regulasi
berkaitan dengan penempatan TKI non formal ini tentu harus direkonstruksi
secara komperhensif. Pertama, pemerintah harus merumuskan standar
kualifikasi TKI yang boleh dipekerjakan. Kedua, ketika menempatkan mereka
di luar negeri pemerintah harus mempertimbangkan aspek keamanan dan
keselamatan TKI, aspek ekonomis, kesinambungan,
kebutuhan advokasi dan lain-lain. Selanjutnya
yang tak kalah penting, pemerintah harus menertibkan penempatan-penempatan
TKI secara ilegal. Justru di sinilah sebenarnya cikal bakal berbagai
permasalahan TKI di luar
negeri. Masalah legalitas membuat mereka senantiasa was-was, terancam, dan
mudah dimanfaatkan, tanpa berani melakukan perlawanan. Pemerintah
harus memahami mimpi-mimpi para TKI. Mimpi yang di bawa dari kampung
halaman ke negeri perantauan. Jauh dari pangkuan ayah bunda tercinta
maupun sanak saudara. Jika dapat memilih tentu tak ada di antara mereka
yang sudi meninggalkan kampung halam tercinta. Namun karena belenggu
kemiskinan, demi sesuap nasi dan sebungkah harapan di hari esok, mereka
rela pergi jauh, kendati terkadang justru bahaya dan maut yang menanti.
Mereka tak akan menjadi TKI bila pemerintah antisipatif menyediakan
lapangan pekerjaan. Jadi kepada pemerintah, berhentilah mencari kambing hitam. Mulailah menyelesaikan persoalan dari akarnya. Medongkrak kualitas SDM dengan memberi porsi lebih kepada sektor pendidikan, menghentikan korupsi dan memperkuat pembangunan ekonomi berdasarkan base resources seperti agribisnis. *** |