Penyebab
Banjir itu adalah Keserakahan
Ya!
Penyebab banjir itu bernama “keserakahan”. Kalau tidak karena
keserakahan mana mungkin hutan-hutan lindung gundul dalam sekejab. Sebuah
catatan mengungkapkan, kerusakan hutan di Indonesia
mencapai 1,6 juta hektare per tahun. Atau terjadi penurunan seluas tiga
hektare dalam satu menit atau sama dengan enam kali luas lapangan bola. Dalam
catatan yang berbeda, pada
periode 1950-2000 atau selama 50 tahun, tutupan hutan di Indonesia
berkurang dari 162 juta hektare menjadi 98 juta hektare. Setengah dari
luas tutupan hutan yang tersisa sudah mengalami degradasi, dan telah
terfragmentasi oleh jaringan jalan, jalur dan akses lain. Kawasan
TNGL (Taman Nasional Gunung Lauser) pun tak luput dari aksi keserakahan.
Hutan Sekundur, Sapo Padang dan Besitang adalah bukti perusakan eksosistem
secara terorganisir. Belum lagi pengaruh proyek Ladia Galaska yang semakin
mengepung sempitnya hutang lindung. ANTARA
pernah melaporakan tentang semakin intensifnya perambahan hutan di kawasan
TNGL, terutama wilayah Aceh Tenggara. Yang terlibat antara lain pengusaha,
aparat dan masyarakat. Masyarakat memperoleh upah harian, sedangkan kayu
hasil tebangan liar itu dikelola oknum tertentu yang setiap malam diangkut
ke wilayah Sumut dengan armada darat. Kayu-kayu ilegal itu diangkut di
depan mata aparat keamanan. Namun mereka terpaksa `menutup mata` karena
para sopir truk memiliki surat `keramat` dari oknum pejabat. Itu
masih di Aceh Tenggara, hal yang sama pasti berlaku di daerah lain. Toh
semua sepakat, menariknya bisnis perkayuan, membuat sisi legalitas
formalnya terabaikan. Sehingga kasus-kasus yang muncul bisa dihitung
dengan jari. Di balik itu ilegal lodging justru lebih mirip
paradigma “gunung es”. Hukum
kausalitas pun berlaku. Siapa yang menanam akan menuai. Persoalannya alam
sangat generalis dalam melakukan justifikasi. Bencana memang tidak selalu
langsung menimpa para palaku. Alam menghakimi untuk memunculkan iktibar
dan instrospeksi. Seperti misalnya ketika banjir bandang datang menepati
janji, meluluhlantakkan kawasan wisata di kaki TNGL. Dalam
hitungan menit, Bukit Lawang tinggal kenangan, menjadi bagian masa lalu
yang hanya ada di dokumentasi para potografer dan album-album para
pelancong. Semua
hati pasti bergetar melihat lokasi banjir bandang yang menimpa Bukit
Lawang. Kanan kiri tebing sungai longsor, aneka jenis pohon tumbang, badan
sungai yang tadinya sekitar 15 meter berubah menjadi puluhan meter. Yang
paling menggenaskan rumah-rumah penduduk dan penginapan disepanjang sungai
menjadi rata dengan tanah. Jalan, jembatan, tanggul, cotage,
restoran, motel, warung di sepanjang sungai kini digantikan kayu-kayu
glondongan bercampur sampah. Mungkin masih banyak mayat yang belum sempat
ditemukan dibalik timbunan kayu gelondongan, sampah dan lumpur itu. Musibah
ini harus dipahami sebagai sebuah “pesan,” dari alam semesta dan sang
pencipta. Persoalan sekarang adalah sejauh mana kesadaran masyarakat bahwa
musibah bencana alam merupakan akibat perbuatan mereka. Pengalaman selalu
menunjukkan kesadaran itu biasanya baru muncul setelah sudah merasakan
pahitnya penderitaan akibat musibah. Satu hal yang selalu aneh adalah langkah antisipasi pemerintah yang cenderung tidak menuntaskan akar persoalan. Sudah berkali-kali bencana ini menimpa, tapi yang ditangani cuma tambal sulam bersifat sesaat. Toh reboisasi, atau rehabilitasi hutan yang merupakan hal yang sangat esensial dalam penyelesaian masalah tidak digalakkan. Bahkan, menjadi wacana pun nyaris tak terdengar baik dalam sidang kabinet, diskusi kaum intelektual, pemerhati ekonomi, maupun masyarakat luas. Inilah yang aneh tetapi nyata.*** |