Apa Untungnya
Punya Pemerintah?
Hubungan
dengan IMF memang sudah berakhir, tetapi hubungan dengan utang baru
sepertinya masih tetap ‘langgeng’. Pasca pemutusan hubungan dengan International
Monetary Fund (IMF), porsi pembayaran utang luar negeri terus
meningkat tajam. Kebutuhan pembiayaan untuk defisit anggaran, pembayaran
pokok utang dalam negeri dan
luar negeri, pembelian kembali obligasi naik dari Rp 66,7 triliun pada
tahun 2003 menjadi Rp 90,4 triliun pada APBN 2004. Kenaikan besaran
defisit antara lain disebabkan adanya tambahan pengeluaran rutin untuk sub
sektor kehutanan dan dana alokasi khusus. Faktor
lain yang memperparah defisit anggaran adalah akibat tidak diperolehnya
lagi rescheduling utang di Paris Club, plus hitung-hitungan cost
politik pelaksanaan pemilu 2004. Pemilu pertama dimana presiden akan
dipilih secara langsung oleh rakyat ini tentu akan berlangsung panas serta
memicu instabilitas ekonomi politik.
Defisit
APBN lebih jauh menggambarkan, ternyata pemerintah masih miskin strategi
dalam melakukan pembangunan ekonomi. Intensifikasi pajak dan pengurangan
subsidi sepertinya belum terlaksana dengan baik. Padahal ketika beberapa
waktu kita memutusakn untuk tidak melanjutkan kerjsama dengan IMF,
harusnya beberapa opsi telah disediakan untuk kesinambungan pembangunan
ekonomi. Toh
hingga RAPBN disetujui kemarin, RAPBN
masih menyiratkan strategi lama. Strategi
yang justru pernah memporak-porandakan perekonomian nasional. Ekstrimnya
kebijakan pemerintah masih
bersifat “tambal sulam.” Gali lobang tutup lobang. Bagaimana mungkin
utang-utang bisa diselesaikan dengan utang baru!. Untuk
tahun 2004 mendatang pemerintah telah bersiap-siap untuk ‘mengemis’ ke
CGI (Consultative Group on Indonesia) untuk mendapat pinjaman
sebesar US$ 3,28 miliar atau Rp 28,237 triliun. Pinjaman baru tersebut
akan digunakan untuk menutupi defisit APBN 2004 yang diasumsikan mencapai
Rp 24,417 triliun atau 1,2% dari PDB (Produk Domestik Bruto). Tidak
berhenti di situ pemerintah pun berencana akan menerbitkan obligasi
senilai Rp 32,5 triliun untuk menyedot dana dari masyarakat. Meskipun
menurut Badan Analisa Fiskal Departemen Keuangan nilai pinjaman telah
berhasil diturunkan sebesar 16% dibanding dengan tahun sebelumnya, tetapi
tetap saja ini bukan merupakan prestasi. Sebab di sisi lain, hutang
pemerintah di dalam negeri terus
melesat tajam. Jadi, jika sebelumnya konsentrasi utang pemerintah berasal
dari luar negeri, kini mulai dialihkan ke dalam negeri. Pengalihan ini pun
memiliki risiko yang tak kalah ganas. Skenario
APBN yang defisit ini, lebih jauh membuat pemerintah tak bisa berbuat
banyak untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Lihat saja beberapa sektor
pembiyaan APBN masih jalan di tempat. Sektor pendidikan, kebudayaan,
pemuda dan olahraga misalnya, kalau pada tahun 2003 memiliki budget sebesar
Rp 15,058 triliun, pada tahun 2004 hanya naik sekitar Rp 191 miliar.
Sektor kesejahteraan rakyat, kesehatan dan pemberdayaan perempuan serta
subsidi hanya naik dari Rp 6,594 trilun menjadi Rp 7,105 triliun. Kenaikan
paling tipis adalah subsidi baik BBM maupun non BBM, dari Rp 25,5 triliun
menjadi Rp 26,3 triliun. Sekali
lagi ini kembali menegaskan kepada kita semua, bahwa berharap kepada
pemerintah sama saja dengan ‘memahat air.’
Jangankan untuk memberikan kemakmuran melalui peningkatan pelayanan
publik, pendidikan, kesehatan ataupun subsidi. Untuk mengurangi beban
tanggungan masyarakat saja pemerintah tidak becus. Mendapati semua fakta
mengenai kebobrokan manajemen di negara ini, kita jadi semakin ingin
bertanya, “Apa untungnya punya pemerintah yang seperti ini?” *** |