Tim
Advokasi TKI? Adalah
suatu langkah maju, ketika enam menteri sepakat untuk membentuk tim
advokasi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di luar negeri. Kesepakatan ini
dituangkan dalam sebuah surat kesepakatan bersama (SKB) yang
ditandatangani Senin (17/11) di Jakarta. SKB ini lahir dengan pertimbangan,
bahwa tugas yang seharusnya dijalankan oleh PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga
Kerja Indonesia), dalam melindungi
TKI ternyata gagal atau sebatas ‘dongeng’ belaka. Sebagian
besar PJTKI tidak lagi memperdulikan nasib TKI yang sedang bekerja di luar
negeri. Jangankan berharap PJTKI turun tangan mengadvokasi (mendampingi)
para TKI, tidak “mencekik” sang TKI saja sudah bagus. Toh beberapa
kali dalam pemberitaan mass media disebutkan, selain mendapatkan perlakuan
tidak baik dari majikannya, para TKI juga dihadapkan pada hal yang sama
dari agen-agen penyalur TKI di luar negeri. Selama
ini PJTKI hanya perduli soal hitung-hitungan untung rugi, yang penting
setoran dari TKI lancar. Soal peran dan fungsinya sebagai perlindungan dan
pengayom, nanti dulu. Belum lagi banyak PJTKI yang suka menerabas aspek
legal formal dalam pengiriman TKI, yang justru membuat para TKI semakin
terjebak dalam dilema di perantauan. Dengan
hadirnya tim advokasi TKI di luar negeri, kita jadi berharap banyak,
berbagai persoalan yang melilit para TKI selama ini, dapat direduksi dan
pelan-pelan dihilangkan. Memang, sudah tidak masanya lagi, terus berpangku
tangan dalam mengurusi nasib para pahlawan pengumpul devisa ini. Kalau
tidak dimulai dari sekarang, kapan lagi perhatian
dan perlindungan terhadap para TKI ditingkatkan? Cukup
sudah kita mendengar saudara-saudara kita itu, di luar negeri diperlakukan
tidak manusiawi. Menjadi sasaran kemarahan, korban nafsu bejat majikan,
pelecehan seksual, penyiksaan fisik, korban penipuan dan lain-lain.
Sekaranglah saatnya menanggalkan lembaran-lembaran buram nasib para TKI. Bagi
para keluarga yang memiliki sanak keluarga yang menjadi TKI, tentu ini
merupakan kabar baik. Kecemasan tentang nasib sanak keluarga sudah bisa
diredam. Sebab sekarang sudah ada enam menteri yang memperhatikan para TKI.
Bukan tanggung enam menteri sekaligus di bawah koordinasi menteri
koordinator kesejahteraan rakyat terlibat secara kelembagaan. Mulai dari
menteri luar negeri, menteri kehakiman, menteri perhubungan, menteri
tenaga kerja dan transmigrasi, menteri agama dan menteri negara
pemberdayaan perempuan. Mudah-mudahan
tim ini dapat bekerja sekaliber namanya, bekerja cepat, tepat dan benar
dalam melindungi para TKI. Dan mudah-mudahan pemerintah telah berfikir
komperhensif dan punya alasan yang tepat, mengapa misalnya harus enam
menteri yang terlibat dalam mengadvokasi para TKI di luar negeri. Tentu
kita akan sangat kecewa, bila kelak tim ini bekerja lambat, saling tunggu,
saling mencari `kambing hitam`, atau buang badan. Toh kita sudah sangat
populer dengan rentang birokrasi yang sangat tidak efisien. Apalagi
melihat format pelayanan pada TKI yang telah direncakan, dengan mudah kita
masih bisa mendapati kelemahan. Misalnya terkait dengan proporsi antara
jumlah tim advokasi dengan jumlah TKI. Dengan perbandingan 1 : 10.000.
Apakah masuk akal seorang petugas melayani 10.000 TKI, bisa menghasilkan
pelayanan yang baik? Jelas ini sangat meragukan.
Jangan-jangan,
yang lebih banyak nanti justru debat kusir, seminar atau sekedar
cakap-cakap para badut-badut politik yang suka “caper” (cari perhatian)
di depan publik. Di satu sisi para TKI terus menderita, sementara para
menteri terus cari popularitas. *** |