Reposisi Visi Perang Rakyat Irak?Lagi-lagi tidak ada garansi, tertangkapnya Saddam serta merta akan mereduksi perlawanan atas pendudukan AS di Irak. Hingga kemarin, gerakan perlawanan terhadap AS terus terjadi di beberapa kota di Irak. Lagi-lagi ini semakin mempertegas sikap sesungguhnya dari rakyat Irak. Memang, mereka tidak memiliki keinginan untuk kembali di bawah pimpinan Saddam, tetapi bukan berarti rakyat Irak merasa lebih nyaman di bawah kepemimpinan boneka-boneka AS. Rakyat
Irak tahu betul akal bulus AS dibalik penghancuran kedaulatan negara Irak,
dengan dalih senjata pemusnah massal, yang masih belum terbukti. AS
mengintai suburnya ladang-ladang minyak Irak, yang justeru sering menjadi
permasalahan bagi ekonomi AS. Sejarah
telah mencatat, beberapa kali ekonomi AS menjadi morat-marit ketika harga
minyak berfluktuasi. Seperti pada dekade 70-an, kesepakatan OPEC dalam
kebijakan harga minyak telah menghempaskan perekonomian AS. Dan akan
sangat sulit mendikte OPEC bila Saddam masih bercokol sebagai presiden
Irak yang selalu membangkang terhadap kepentingan AS. Puncaknya
ketika Irak mengusulkan agar negara-negara OPEC hijrah meninggalkan mata
uang dolar AS ke Euro, dalam seluruh transaksi minyak. Tentu ini sangat
berpengaruh signifikan bagi perekonomian AS, kita sama-sama tahu bahwa
transaksi terbesar di dunia ini adalah transaksi pada perdagangan minyak.
Bayangkan bila semua dolar di lepas dan digantikan dengan Euro, pasti
ekonomi AS akan mengalami kesuraman yang mengerikan. Saddam
sendiri kemudian nekat untuk “mengharamkan” pemakaian mata uang dolar
AS di Irak, termasuk segala transaksi yang berkaitan dengan Irak. Serangan
ekonomi negara penghasil minyak terbesar kedua di dunia inilah yang
kemudian diyakini telah membuat tim ekonomi gedung putih buru-buru
menghadap Goerge W Bush. Tim
perekonomian AS pun presentasi, bahwa kondisi perekonomian AS terus
memburuk dengan tingkat pertumbuhan berkisar 1%-2%. Sementara mata uang
Euro diam-diam menggunting dolar AS, dan di Timur Tengah Saddam malah
“mengipasi” dengan gerakan anti dolar AS dan kampanye pro Euro. Di
lain hal, secara periodik perekonomian AS juga selalu gonjang-ganjing
karena harga minyak yang tidak bisa di-remote dari gedung putih.
Hingga akhirnya diputuskan, bahwa solusi dari dilema tersebut adalah
perang. Secara
teori, perang memang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Setidaknya
demikian hasil riset ekonom AS seperti Robert Solow. Dengan perang, AS
juga akan menjadi penguasa dari ladang-ladang minyak Irak, sehingga dalam
jangka pendek maupun panjang AS tak perlu repot mencemasi persediaan
minyak. Selanjutnya bila kampanye Saddam tentang penggunaan Euro di bisnis
minyak bisa dibungkam,
gerakan ekspansi Euro bisa diperlambat. Sialnya semuanya semakin matang
tatkala Saddam memang menjadi musuh bebuyutan bagi George W Bush. Gelagat
ini sudah tercium rakyat Irak sejak lama, apalagi permusuhan antara Saddam
dengan AS pelan-pelan terinternalisasi secara mendalam ke rakyat Irak. Di
hati mereka terpatri, meski
dalam kepemimpinan Saddam yang tiran, mereka tertekan, tetapi AS lebih
diposisikan sebagai common enemy rakyat Irak. Karenanya perlawanan
terus berlangsung meski Saddam berhasil ditangkap. Rakyat Irak berpretensi,
untuk apa selamat dari mulut harimau, kalau setelah itu masuk mulut AS
yang lebih buaya. Jadi perlawanan tersebut bukan lagi dalam konteks
membela Saddam, tetapi sudah dalam konteks yang lebih mulia, yakni ingin
melepaskan diri dari imprerialisme modern kekuatan asing. Seperti yang diteriakkan seorang mahasiswa Irak di Fallujah, Ahmed Jassim dan Safa Hamad Hasan, kemarin dalam kutipan Washington Post, “Kami tidak berjuang demi Saddam. Kami berjuang demi negara, demi kehormatan bangsa Irak dan demi Islam!” Ini berarti perang sesungguhnya baru saja dimulai, sebuah perang demi kehormatan dan harga diri yang tercabik-cabik dari rakyat Irak.*** |