Siapa
Menanggung Rp 32 Triliun Utang 52 BBO/BBKU?
Pekan lalu Presiden Megawati Soekarnoputri secara resmi
mengakhiri tugas BPPN, kecuali untuk empat tugas tertentu yakni, likuidasi
BBO (Bank Beku Operasi) dan BBKU (Bank Beku Kegiatan Usaha), penyelesaian
kewajiban pemegang saham, audit, dan dokumentasi transaksi. Untuk ini, meski sudah dibubarkan BPPN masih diberi
tambahan waktu hingga 30 April 2004, untuk menyelesaikan keempat tugas itu.
Kepala BPPN, Syafruddin Temenggung, bahkan menyebutkan akan membentuk tim
inti yang terdiri 100-150 mantan karyawan BPPN. Dari keempat tugas tersebut, penyelesaian kewajiban 52
BBO dan BBKU, kini semakin menjadi sorotan publik. Hal ini karena tidak
jelasnya finalisasi kewajiban BBO dan BBKU terhadap Bank Indonesia (BI)
sebesar Rp 32 triliun. Kewajiban kepada BI sebesar Rp 32 triliun itu,
antara lain berasal dari Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI), pinjaman
subordinasi, bunga fasilitas saldo debet, dan tambahan Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI). Masalahnya sikap BPPN terkesan ambivalen, di satu sisi
BPPN menyatakan kewajiban 52 BBO dan BBKU sebesar Rp 32 triliun tersebut
dianggap telah selesai. Artinya, terdapat utang kepada BI yang tidak
terbayar dan dianggap sebagai biaya krisis dan telah dibebankan kepada
rakyat. Namun dalam kesempatan lain BPPN justru berencana untuk
melikuidasi 52 BBO dan BBKU dalam tenggang waktu tambahan yang diberikan
pemerintah. BPPN beranggapan bank-bank itu merupakan perusahaan yang
bangkrut, yang asetnya harus dilelang dan hasil lelangnya harus
dibagi-bagi sesuai formula yang ditentukan oleh hukum. BI sendiri yang merupakan salah satu pihak kreditur ke-52
bank, sepertinya enggan jika bank-bank BBO dan BBKU dilikuidasi. Tetapi BI
masih terus mendesak kejelasan dari BPPN terkait dengan penyelesaian
kewajiban bank-bank tersebut kepada BI. Begitulah perdebatan antara BPPN dan BI terus bergulir, sementara para bankir bermasalah tenang-tenang saja, menikmati kebebasan dari jerat-jerat hukum. Melihat gelagat yang ada, dan pengalaman yang sudah-sudah, pasti masyarakat lagi yang kena getahnya. Pada akhirnya, tetap rakyat yang dibebani melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dipantulkan lewat intensifikasi pajak. Sejak awal, bahkan hingga detik ini, BPPN hanya mampu melahirkan kontroversi yang tak berkesudahan. BPPN mencatat sederet kegagalan seperti kegagalan dalam merestrukturisasi utang yang hanya di bawah 10% dari seluruh utang debitor. BPPN juga tidak mampu melakukan recovery rate secara optimal, sehingga kemudian kerjanya lebih bernuansa “menguber setoran” dengan menjual aset-aset secara obral. Dengan harga obral hampir mencapai 16% membuat BPPN hanya bisa mengamankan sekitar Rp 200 triliun dari total aset sekitar Rp 650 triliun yang dikelola. Sementara sisanya tidak jelas juntrungannya. Begitupun, untuk kegagalan yang dicapainya, BPPN masih dibayar Rp 500 miliar sebagai pesangon. Mudah-mudahan PPAN (Perusahaan Pengelola Aset Negara) yang akan mengantikan BPPN, bisa bekerja lebih baik dan tidak sekedar menguras aset negara. Amin.*** |