Menantikan Akhir Pemilu 2004Bagi
para politikus, tahun 2004 merupakan sebuah mementum yang dinanti-nantikan,
sebab pada tahun itu dilangsungkan perhelatan akbar Pemilu. Semua potensi
akan dikerahkan, all out, baik tenaga, fikiran, material, demikian
juga strategi dan taktik. Ajang Pemilu menjadi penentu, apakah mereka akan
mengeduk hasil dari “investasi” yang telah ditanam selama ini. Namun
dari sisi ekonomi, perhelatan Pemilu tentu identik dengan ketidakpastian
dan high risk,
terutama bila dilihat dari kacamata investor. Apalagi pengalaman sejarah,
telah meninggalkan banyak catatan buram, bahwa pemilu identik dengan
instabilitas, chaos antar masa partai. Belum lagi Pemilu di tahun
ini, adalah Pemilu perdana di mana presiden akan dipilih secara langsung.
Kita dapat membayangkan, bagaimana ribetnya. Tak ada garansi Pemilu
2004 bisa terlaksana dengan sukses. Dengan
demikian, 2004 ini dapat dipastikan akan menjadi tahun wait and see,
artinya geliat ekonomi akan kembali lesu, dari sisi ivestasi, praktis
telah mengganjal program BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), yang
gencar mengkampanyekan 2003, sebagai tahun investasi Indonesia. Tahun
investasi jelas hanya pepesan kosong, jangankan untuk mendongkrak target
kenaikan investasi sebesar 30%, untuk melewati 10% tidak tercapai. Fakta
kegagalan tahun investasi lebih jauh dipertegas dengan fakta bahwa
sepanjang tahun 2003, ternyata tingkat pencairan kredit baru 34%. Sudah
saatnya membuang tabiat jelek yang suka mengumbar janji-janji palsu.
Khususnya janji-janji yang dilontarkan dari elit politik pada saat
kampanye Pemilu. Menurut
Bank Indonesia, rendahnya tingkat pencairan kredit (credit disbursement rate) dibandingkan dengan
pinjaman yang telah disepakati (credit approval rate) menunjukkan
sektor riil masih ragu melakukan investasi. Bisa jadi, prilaku ini akan
terus berlanjut melampaui tahun 2004. Karena para investor juga memerlukan
waktu untuk melihat implikasi dari hasil Pemilu. Di
sisi lain tahun 2004 ini, bisa jadi akan kembali menjadi bumerang bagi
perekonomian Indonesia. Sebab biasanya begitu terjadi instabilitas politik,
cepat atau lambat virus ini akan meyerang nilai tukar rupiah. Sungguh
mengerikan, bila di saat perekonomian yang belum pulih sepenuhnya akibat galodo
krisis nilai tukar 1998, kembali diguncang prahara yang sama. Lagi-lagi,
hal ini akan semakin dipercepat bila, pada saat yang bersamaan, para
pemilik uang domestik, mentransfer uangnya ke negara jiran (capital
flight) sebagai langkah berjaga-jaga (precautionary motive). Sekali lagi, kendali “permainan” kini sedang dipegang oleh para politikus. Di tangan mereka akan ditentukan hitam putihnya nasib Indonesia ke depan, termasuk nasib ekonomi (kemaslahatan masyarakat) di dalamnya. Tentu kita semua tak ingin politik kembali men-zhalimi negeri ini, menjadi negeri carut-marut, dan semakin terperosok ke dalam kemiskinan dan sikap bar-bar.*** |